Menunggu Reda [Yaya n Ichiro]
BoBoiBoy Fanfiction Indonesia
Hypnosis Microphone Fanfiction Indonesia
Finally, You Find Me! [OPEN REQUEST]
Cerita milik Cuzhae
BoBoiBoy milik Monsta
Hypmic milik KING RECORD
•Rate: T || Friendship, Drama (maybe) || Crossover! BBB x Hypmic •
Please don't be siders, okay?!
RnR?
DON'T LIKE, DON'T READ!
.
.
.
Menunggu Reda - Yaya n Ichiro
.
Cuaca pancaroba telah memasuki musimnya. Terkadang hujan tak bisa diprediksi, pagi cerah, entah-entah nanti siang turun hujan. Sialnya, Yaya kelupaan membawa payung, ia tak sempat mengecek barang bawaannya karena buru-buru berangkat sekolah.
Tungkainya berlari menuju halte, memilih berteduh daripada harus basah kuyup. Yaya harap hujan kali ini tak berlangsung lama. Masih ada pekerjaan yang menantinya di rumah.
Beberapa pelajar sepertinya lebih memilih menerobos hujan melintas di depan sang gadis.
Kenapa ia enggan pulang? Jawabannya adalah … sebab Yaya tahu, begitu sampai di rumah memang tiada siapapun yang menyambut. Begitu membuka pintu, hanya rumah dalam keadaan sepi dan gelap.
Terlalu larut dalam renungan hingga tak sadar bahwa ada seorang lagi yang duduk di sebelahnya.
“Tidak pulang?” tanya orang itu, seorang laki-laki berjaket merah dengan mata dwiwarna.
Yaya mengerjap. “Kakak bertanya pada saya?”
Pemuda itu tersenyum simpul. “Iya, masa' sama air hujan.”
“Saya tidak bawa payung.” Yaya agak menggeser duduknya, almarhum ayahnya pernah bilang, jangan berbicara dengan orang asing.
Dari penampilannya, jika diperhatikan lamat-lamat sepertinya pernah Yaya lihat. “Maaf, kalau tidak salah, Kakak ini kakaknya Jiro, ‘kan? Saya kadang lihat Kakak ataupun dengan seorang pelajar SMP menjemput pulang Jiro di sekolah.”
“Benar, perkenalkan Yamada Ichiro dan anak SMP itu juga adikku, namanya Yamada Saburo. Salam kenal emm …”
“Yaya. Nama saya Yaya. Salam kenal juga, Kak Ichiro.”
Setelah itu hanya suara rintikan hujan sayup-sayup menyapa telinga. Tak ada percakapan berarti antara Ichiro dan Yaya. Bukan maksud gadis itu tak berlaku sopan, tapi memang ia sedang tidak ingin berbicara, hatinya dalam mood kurang baik.
Ponsel Yaya berbunyi. Sebuah notifikasi muncul di bagian bar atas, cerita daring yang selama ditunggu kelanjutannya akhirnya update. Membuat seulas senyuman bahagia terlukis di gadis remaja tersebut. Segera dibacanya dengan hati menggebu-gebu, setidaknya dengan ini ada kegiatan sampai rintikan hujan berhenti, toh tidak ada petir.
Melihat gadis seumuran adik pertamanya tersenyum berseri membuat benaknya bertanya-tanya. Apakah sebuah pesan romantis dari pacar sang gadis? Kabar gembira diskonan action figure, eh ralat, itu sih untuk Ichiro. Kira-kira apa, ya, isinya? Kakak brocon yang satu ini malah jadi kepo dibuatnya.
Dengan jahilnya Ichiro mendekat (berusaha) mengintip isi dari ponsel Yaya. Agak lama pemuda itu pahami, ternyata teman satu sekolah dengan Jiro itu tengah membaca sebuah fanfiction. Tak aneh sih anak perempuan menyukai hal-hal seperti itu. Daripada adik bungsunya, Saburo, bacaannya buku teori semua. Padahal masih SMP juga. Haah, membayangkannya saja Ichiro sudah pusing duluan.
“Kayaknya ceritanya seru banget, ya? Sampai aku dicuekin gini,” celetuk Ichiro menghancurkan fokus Yaya pada ponselnya.
Ah, benar, Yaya keasyikan tenggelam pada dunianya sampai lupa kalau ada orang lain yang duduk tak jauh darinya. Ia hanya bergumam dan menganguk pelan.
Kekehan kecil lolos dari mulut Ichiro. Tak habis pikir, bagaimana bisa rangkaian kalimat itu bisa membuat pembacanya masuk ke dunia lain.
Sebaliknya, Yaya yang sudah ketahuan, tak meneruskan bacaannya. Menyimpan kembali ponselnya pada tas bagian paling dalam.
‘Agaknya Kak Ichiro jijik tidak, ya, setelah tahu hobiku ini?’ batin Yaya resah.
Mendadak atmosfir menjadi canggung kembali. Yaya mengalihkan pandingan dan Ichiro melakukan hal yang serupa.
Astaga, padahal Ichiro bermaksud bergurau saja. “Maaf, aku membuatmu tak nyaman. Silakan teruskan saja, jangan hiraukan aku.”
Yaya melemaskan pundaknya lalu menghela napas, sepertinya berbincang sedikit bisa meluapkan perasaan tak enak hatinya.
“Umm… Kakak tidak salah, kok.”
“Beneran?” tanya Ichiro memastikan. Yaya tersenyum simpul dan mengangguk.
“Syukurlah, aku kira tadi kau marah.” Ichiro mengela napas lega. “ngomong-ngomong fanfict-nya tentang apa sih?”
Sebenarnya Yaya asan tak asan dengan jawabannya, bisa jadi setelah mengetahuinya, kakak dari Jiro tersebut memandangnya jijik.
“Cerita isekai, umm … itu …”
.
.
*Isekai = masuk ke dunia lain
.
.
“Apa? Katakan saja, tak usah malu-malu.”
“Character x reader …,” gumam Yaya dengan suara pelan.
Ichiro mengangguk mafhum. “character x reader” memang sering digandrungi para pengemar tokoh fiksi. Mengkhayalkan bisa berbicara dengan mereka, berinteraksi, menjadi bagian terpenting mereka, teman, sahabat, atau pun keluarga. Semua itu ada di “character x reader”.
Berbicara tentang isekai, Ichiro jadi membayangkan bagaimana jika ia bertemu dengan waifu-nya langsung. Senangnya hati …
“Kamu terlihat menyukai genre semacam itu,” ucap Ichiro.
Yaya menunduk dan bergumam, “Tentu saja, punya teman 'kan impianku. Apalagi ini kalau ternyata itu adalah teman …khayalan. Lagipula … baca beginian juga 'tuk pelampiasan semata …”
Suara Yaya begitu dan hampir terkalahkan oleh suara hujan yang menyapa atap halte. Namun, untungnya telinga Ichiro peka, ia bisa menangkap beberapa kata dan memahaminya.
Maaf saja keingintahuan Ichiro yang berlebihan ini, tapi sungguh ia jadi penasaran. “Lagi punya masalah, ya? Nggak apa-apa cerita aja. Siapa tahu Kakak bisa bantu,” tawarnya.
“Baiklah, ceritanya panjang …”
.
.
.
Di sekolah aku disuruh— iya sebenarnya aku tidak mau —menjadi anggota dewan kesiswaan. Mengawasi setiap gerak-gerik siswa, bila ada yang melanggar tata tertib sekolah, aku akan bertindak cepat. Tak ayal jika diriku sedikitnya ada saja yang membenci. Ada pun yang enggan berdekatan. Jadilah aku yang tidak memiliki teman sepermainan yang tepat.
Selain itu, dikelas (lagi-lagi karena paksaan) aku menjadi bendahara. Kalau kalian pikir jadi bendahara itu enak? Pegang uang setiap saat?
Maaf, Anda salah besar.
Aku tersiksa. Kadang ada saja anak yang ditagih uang kas selalu menolak membayar. Dan berakhir dengan aku yang dimarahi wali kelas karena tak mampu menjalankan roda keuangan kelas.
Mulai saat itu, aku membawa sebotol air minum setiap hari ke sekolah. Karena apa? Karena uang sakuku habis untuk menutupi kolom yang bolong-bolong dari anak yang suka nunggak. Uhh… aku tidak mau seperti ini terus! Apa salahnya menyisihkan uang kalian sedikit?! Nunggak boleh, tapi kalau keseringan, yang ada aku yang jatuh miskin.
Tolong tahu dirilah sedikit.
Sama sekali tidak ada spesialnya saat di sekolah.
☔☔☔
Bel sekolah berbunyi, menandakan jam pelajaran di sekolah telah berakhir. Hampir keseluruhan siswa bersorak riang, kecuali mungkin aku. Aku masih ada tugas menumpung di ruangan OSIS, mendata pelanggaran anak yang tidak mematuhi tata tertib, dan memberikan poin sesuai apa yang dilanggarnya.
Bisa kulihat dari kaca jendela ruang ini banyaknya siswa berhamburan, entah pulang atau mengikuti ekstrakurikuler. Pemandangan biasa, tapi menyesakkan bagiku.
Enaknya ada yang menunggu kepulanganmu. Kalau aku … sepertinya tak ada. Ayah pupus pada usiaku baru menduduki bangku SMP, sebuah kecelakaan mengakibatkan nyawanya melayang. Sebenarnya aku masih memiliki seorang ibu, beliau adalah pekerja keras. Saking giatnya kerja, Ibu sampai lupa menanyakan kabarku. Berangkat saat matahari belum terbit, lalu pulang dalam keadaan larut malam— tentu saat itu aku sudah terlelap.
Sarapan dan makan bisa dipastikan Ibu memakannya di luar, jadi tak payahlah aku masak untuk dua porsi. Beda lagi untuk makan malam. Akan kusisakan lauk, takutnya jika Ibu pulang belum sempat makan.
Ibu hanya meninggalkan baju kotor. Dia sama sekali tak menyisihkan waktunya semenit pun untuk sekadar menyapa anaknya. Ada pun hari libur, Ibu akan di dalam kamar seharian dengan alasan mau istirahat.
Kalau seperti ini terus, aku seakan tak punya keluarga. Aku hidup sendirian.
Oleh karena itu aku mencari pelampiasan. Untung saja akal sehatku masih berjalan, entah bagaimana jadinya kalau tidak ada itu. Pelampiasannya kuputuskan untuk mendalami dunia fanfiction. Di sana seakan aku bertemu mereka— para tokoh dunia fiksi, aku merasa hidup, hatiku menghangat.
Semakin kuselami, aku menemukan “character x reader” dan tenggelam di dalamnya. Sebuah cerita yang melibatkan langsung pembaca untuk masuk ke dalam konfliknya. Namun, lama-kelamaan beberapa anak di kelas mengetahui hobiku ini.
“Heh, chara x reader? Sadar dirilah, Yaya. Mereka hanya tokoh fiksi, makhluk tak nyata.”
“Kamu terlalu banyak menghalu.”
“Menjijikan.”
Ejekan, cemoohan begitu mudahnya mereka lontarkan padaku. Apa salahnya aku mengkhayalkan mereka?! Hanya dengan merekalah aku bisa berekspresi bebas. Aku benar-benar merasa hidup bila membaca cerita tentangku di antara mereka.
Aku tahu, aku banyak berkhayal. Aku tahu …
Mana ada isekai di dunia ini. Mana ada portal masuk dimensi lain. Mana ada …
Mereka tak nyata. Fana. Sebuah karakter 2D.
Tapi …
Tapi …
Tapi …
.
.
.
Tes… tes… tes…
“E-eh? Kenapa kau menangis, Yaya?!”
Ichiro panik begitu mata hazel milik Yaya mengeluarkan liquid bening. Awalnya gadis itu bercerita (baca: curhat) wajahnya lurus-lurus saja, tapi semakin lama semakin tidak terkontrol.
“Hiks… hiks… Apakah … hiks… salah dengan hiks… hobi sa-saya.. hiks… Kak Ichiro?”
Kakak beradik dua itu mengelus kepala Yaya pelan, ia berusaha menenangkannya. “Hobimu tak salah, kok. Hanya perspektif orang saja berbeda-beda. Jadi … belum tentu mereka mengerti dengan perasaanmu, Yaya.”
“Be-benarkah?”
Untuk kesekian kalinya Ichiro mengangguk.
Perasaan Yaya terasa plong, lega, setelah curhat kepada Ichiro. Unek-unek yang selama ini ia pendam telah keluar, badannya jadi ringan. Aura seorang kakak dari pemuda bermata belang di sampingnya itu begitu hangat di antara dinginnya hujan.
“Oh, lalu bagaimana saja perilaku Jiro di sekolah?”
“Dia cukup baik?” Suara Yaya malah terdengar seperti bertanya. “Beberapa kali terlambat masuk, tidur di kelas, lupa mengerjakan PR.”
Ingatkan Ichiro untuk menceramahi Jiro sepulang nanti.
Tangan Ichiro menadah ke depan, tak ada tetesan air di sana. “Tampaknya hujan sudah berhenti. Yaya, kamu pulang, gih. Nanti kemalaman lagi.”
Benar yang dikatakan Ichiro, hujan sudah reda. Waktunya Yaya pulang.
“Makasih, Kak Ichiro sudah mau mendengarkan cuthatan Yaya. Kalau begitu Yaya pamit duluan,” ucap Yaya seraya membenarkan tali tasnya.
“Sama-sama. Hati-hati di jalan. Kapan-kapan kamu bisa kok main ke rumah kami.”
Yaya berbalik sebentar lalu berkata sedikit keras. “Oh, iya. Bilang ke Jiro, bayar uang kas, ya!”
Ingatkan Ichiro untuk menceramahi Jiro sepulang nanti. (2)
.
.
• Omake •
Setelah Ichiro cerita obrolannya tadi dengan Yaya di halte ke adik-adiknya.
Ichiro: “Jiro, cobalah berteman dengan Yaya. Kasihan dia selalu sendirian.”
Jiro: “Mau bertemannya gimana, Nii-chan? Asal tahu saja, ya. Dia itu punya teman masa kecil, namanya BoBoiBoy— satu klub (sepak bola) denganku, anak itu selalu ngawasin dia setiap saat. Childhood-nya itu protektif banget, didekati sedikiiiit saja, matanya sudah macam laser. Pokoknya nyeremin.”
Saburo: “Jiro lebay.”
Jiro: “Ya ampun, sungguhan, Saburo.”
Saburo: “Oh, aku tahu, Ichi-nii. Pasti Jiro yang suka nunggak uang kasnya.”
Ichiro: “Benarkah itu, Jiro? Nii-chan sedih sekali bagaimana bisa uang hasil jerih payah kakakmu tak kau gunakan dengan baik.”
Jiro: “Bu-bukan aku orangnya, Nii-chan. Saburo fitnah mulu, tuh”
Saburo: 😝
Plak! Plak!
Sfx: suara geplakan.
Ichiro: “Nah, 'kan gitu diam. Suasana jadi damai kalau begini.”
Jiro, Saburo: “Nii-chan! / Ichi-nii!”
FIN
A/N:
Ya gini kalau lagi galau, isi chapter-nya curhatan semua, nggak ada yang bener :')
Publish: 21 Juni 2020
——————————
K O L O M N U T R I S I
——————————
1. Kamu suka nunggak uang kas, ya? Cepat bayar!
2. Kamu suka fanfict karena apa?
3. Apa pendapatmu terhadap Menunggu Reda di Finally, You Find Me?
***
Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.
***
Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?
Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari Finally, You Find Me!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top