Tiga
Happy new year 2023 ... lama nggak update nih masih ada yang di sini nggak, ya?
Ini adalah update pertama di tahun 2023.
Jangan lupa vote dan komentar ya ...
"Arah jam sembilan."
Aku melirik. Sebenarnya aku tahu siapa yang dimaksud. Dari arah pintu masuk food court pun aku menyadari kedatangannya. Bahkan aku tahu banyak pasang mata laki-laki di sini tertuju padanya. Bagaimana tidak, kemeja putih ketat dan celana panjang berwarna khaki melekat pas di kakinya yang jenjang. Menunjukkan proporsi tubuh yang terbentuk sempurna. Jelas terlihat dia rutin berlatih dengan gerakan olah tubuh terstruktur.
Mataku ikut mengikuti setiap langkah wanita itu hingga ia berhenti di lapak sate ayam. Tak henti aku mengamatinya sampai mengabaikan obrolan teman-temanku. Mungkin merasa diperhatikan, wanita itu menoleh ke arahku. Dia melempar senyum sekilas kemudian kembali fokus kepada antrean.
"Gitu amat ngelihatinnya, Bang. Gue panggil diem aja," colek Ando sambil tertawa.
"Refleks, Put," sahutku.
"Lo udah punya Shylla, Bang. Tuh cewek buat gue lah," tukas Putra.
"Shylla? Ambil aja."
"Bukan Shylla yaelah. Gue sih mau sama Shylla, tapi dia maunya sama lo." Putra tertawa lagi lantas matanya kembali berkeliling. Mencari mangsa. Kebiasaannya saat jam istirahat selain mencari asupan gizi pengisi perut juga mencari asupan penjernih mata.
Ngomong-ngomong Mama sudah mendesakku segera menikah dengan Shylla. Padahal kami belum lama saling kenal apa lagi Shylla masih punya pacar. Sudah sering Mama mendesakku, tapi aku tidak pernah serius menanggapi. Sebenarnya aku tidak bersungguh-sungguh. Aku hanya pura-pura menunjukkan kebersamaan yang mesra supaya tidak mengecewakan Mama.
Aku sedang mempersiapkan momentum yang pas untuk menggagalkan perjodohan aneh ini. Namun, tampaknya aku harus berusaha lebih keras. Belakangan ini Shylla agak susah diajak kompromi meskipun dia mendukung sepenuhnya. Wanita itu semakin bertingkah setiap harinya.
"Bang, cewek tadi ngelihatin lo mulu. Gas lah," bisik Putra.
Aku bisa melihat wanita yang tadi melempariku senyuman tipis kini duduk di seberang kami. Mata kami sempat beradu, tapi dia langsung menunduk sambil menyantap makanan. Aku tersenyum miring. Padahal cuma gitu doang. Terlalu mudah dan tidak menarik. Pasti membosankan.
"Buat lo aja. Lo pengin dapetin tuh cewek, kan?" Aku beranjak, melangkah ke arah wanita tersebut.
"Mbak, teman saya pengin kenalan. Namanya Putra. Tuh, yang baju biru," ucapku seraya menunjuk ke arah Putra yang mukanya memerah.
Samar-samar kudengan Putra mengumpat. Pria itu mendengus sedangkan aku terkekeh melanjutkan langkah ke kantor. Aku tidak bisa lama-lama bergosip di food court. Pak Bos sudah menungguku di ruangannya. Permintaan mendadak tanpa aku bisa mempersiapkan laporan progress. Hubungan percintaan urusan belakangan. Kini prioritasku adalah pekerjaan dan pekerjaan.
Shylla : Jemput gue, dong
Sebuah pesan sekaligus lima panggilan tak terjawab menyambut begitu aku membuka ponsel. Aku sengaja meninggalkan ponsel di ruangan saat menghadap Pak Bos. Selain lebih fokus, bosku tipe orang yang tidak senang kalau ada notifikasi di luar pekerjaan mengganggu ketika sedang diskusi.
Pesan itu hinggap empat puluh menit yang lalu. Memang bukan Shylla namanya kalau tidak semena-mena. Dia terlalu licin memanfaatkan situasi untuk mendapatkan kepuasan diri.
Dirga : Pacar lo suruh jemput.
Shylla : Gue udah putus
Kelopak mataku terangkat. Tanpa sadar aku tertawa kecil. Aku tidak yakin mereka benar-benar putus. Paling tidak lama lagi bakal kembali, seperti yang sudah-sudah. Shylla tidak bakal serius meninggalkan pacarnya.
Dirga : Gue males jemput lo
Shylla : Kalau gitu gue aja yang jemput lo. Wait, 500 meter lagi sampai. Macet
Aku mendengus. Sudah bisa ditebak apa yang akan dia lakukan. Mendrama sambil memaki lantas beberapa hari kemudian balikan lagi. Belum lama mengenalnya, tapi terhitung sudah dua kali Shylla melakukan itu di depanku. Dari awal saja sudah tidak benar. Aku membayangkan seandainya beneran menikah dengan Shylla, tampaknya susah bertahan.
Di saat pikiranku berkelana, tiba-tiba saja pintu diketuk dan terbuka perlahan. Sebuah kepala menyembul, terlihat senyuman lebar di wajah. Katanya macet,tapi sampainya cepat sekali.
"Hai, Darling. Kamu jam segini masih kerja? Ya ampun, kasian banget. Anak buah kamu udah pada pulang, loh," seru Shylla seraya mengangkat bungkusan di tangannya.
Padahal masih sore dan aku tahu orang-orang belum meninggalkan kubikel. Shylla hanya sok akting. Kadang-kadang dia memang berlebihan. Aku tersenyum berpura-pura girang menyambutnya sembari mengawasi pergerakan wanita di hadapanku ini. Tidak mungkin orang barusan putus menampilkan aura kebahagiaan sejelas ini. Matanya berkeliling, memindai ruang kerjaku. Aku masih awas memerhatikannya hingga pandangan kami bertemu.
"Gue bosen, Dir," cetus Shylla tiba-tiba. Dia membenamkan wajah di atas meja.
"Makanya lo putus," balasku.
"Bener. Makanya gue takut kalau kita jadi nikah terus gue bosen, entar lo gue ceraiin."
Aku tertawa. "Emang gue mau nikah sama lo?"
Shylla mengangkat wajah, menatapku lekat. "Harus. Soalnya Papa nggak mau bagi warisan kalau gue nggak nikah sama lo."
Tawaku kali ini meledak. "Jadi lo nganggep gue seharga warisan bokap lo?"
"Yaelah nggak asyik banget lo. Kan gue cuma bercanda," tukas Shylla sambil melempar pena yang tergeletak di atas meja ke arahku.
Perlahan tawaku mereda. Kukira Shylla bakal membalas dan mengajakku berdebat. Tetapi dia malah termenung memandang jendela yang tirainya sengaja kubiarkan terbuka. Tidak tahu kenapa, perhatianku terpusat padanya. Wanita itu tidak lagi melihat pemandangan. Dia sibuk menggulir layar telepon genggam. Mengamati gelagatnya, sepertinya dia sedang terlibat masalah. Namun, dia selalu menutup setiap bersamaku.
"Lo bawa apa?' tanyaku meraih bungkusan yang dia bawa.
"Udah makan aja," jawab Shylla cuek.
Sekotak asinan sayur lengkap dengan bumbu dan krupuk kuningnya. Tumben banget dia memberiku makanan beginian. Aku menatapnya, setengah melotot tidak percaya sedangkan Shylla terkekeh.
"Lo kebanyakan makan makanan sampah. Mulai deh makan sayur biar kelakuan lo nggak ikutan kayak sampah. Inget umur lo berapa. Udah tua nggak hidup sehat entar sakit-sakitan lo."
"Bangsat. Gue mana kenyang makan beginian."
"Kalau masih lapar makan lagi lah. Bawel banget."
Aku memang jarang makan sayuran. Olahraga juga sekadarnya. Namun, melihat penampakan sayuran yang dikemas berbagai warna membuatku tertarik mencicipi. Mencoba satu suapan asinan ini ternyata lumayan enak juga. Aku jadi punya gagasan seandainya kafe milikku mengubah konsep menjadi kedai menu sehat kira-kira ada yang minat tidak, ya?
"Laper apa doyan?" tanya Shylla sambal bertopang dagu di depanku.
"Laper."
"Hm, lo balik jam berapa? Gue pengin shopping, nih. Pengin makan yang manis-manis. Suntuk banget gue."
"Nggak usah galau. Bentar lagi lo juga balikan."
"Nggak sudi."
"Lihat aja nanti."
"Nggak bakal. Taruhan sama gue, ya. Kalau gue nggak balikan, lo harus nikah sama gue. Tapi kalau gue balikan, lo boleh nikah sama Teya atau siapa pun terserah lo suka-suka, dah. Gue akuin gue emang bego, tapi gue nggak bisa dibegoin lebih dari sekali."
Ekspresi wajah Shylla menyala saat berucap, tapi sorot matanya tampak redup. Ada pancaran sinar berbeda yang selama ini tidak pernah kulihat darinya. Pasti ada yang tidak beres dengannya.
"Tapi lo emang bego, sih," cetusku membuat Shylla menoleh cepat. Kukira dia mau protes, tapi sesaat kemudian tawanya menguasai ruangan.
Shylla tertawa terbahak-bahak. Aku tidak tahu apa yang dia tertawakan. Mungkin Shylla sadar dirinya memang bego dan sekarang sedang menertawai dirinya sendiri.
03012023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top