Dua
Lama nggak nyentuh nih lapak masih ada orang di sini nggak ya? 😁
Jangan lupa vote, komentar dan ajak teman2 mampir ke sini ya ...
Aku menepati janji untuk mengantar Teya ke bandara hari ini. Yang kutahu, dia bakal lama bertugas ke Palu. Bisa memakan waktu lebih dari satu bulan. Selama itu pula aku tidak akan bertemu dengannya.
"Jam segini biasanya macet. Lo nggak buru-buru, kan?" tanyaku seraya membanting kemudi ke kanan, mengindari mobil yang mendesak mendahului.
"Hm, masih keburu, kok. Lagian gue flight sore. Sekarang baru masuk jam makan siang," jawab Teya saat melirik arloji yang melingkari tangannya.
"Kita makan siang di bandara aja. Lo belum laper, kan?"
"Sebenarnya belum, tapi gara-gara macet gue jadi laper. Masih lama, kan? Gue tidur dulu, ya."
Teya mengatur tempat duduknya lantas memejamkan mata. Aku membiarkannya dan tetap mengawasi jalanan.
"Tumben sepi. Shylla nggak telepon?" cetus Teya dengan mata terpejam.
Aku terkekeh. "Shylla tahu gue lagi nganter lo ke bandara. Dia nggak bakal bawel."
Di luar dugaan, Teya tertawa kencang. Dia menoleh padaku, memukul pundakku berkali-kali. Sepertinya dia tidak jadi melanjutkan tidur. Aku heran kenapa Teya selalu terpingkal saat membicarakan Shylla.
"Gue nggak ngerti sama kalian, deh. Kalian ini kan dijodohin, tapi kayak jalan sendiri-sendiri gitu. Sebenarnya lo serius sama Shylla nggak, sih? Kalau emang nggak niat dari awal mending jujur aja sama orang tua kalian. Daripada begini malah aneh," tawa Teya.
"Anggap aja semacam seleksi," sahutku.
"Kesannya lo kayak main-main. Sadar dong, Dir. Lo itu udah tua. Kalau udah ngerasa cocok kenapa nggak langsung nikah aja? Gue malah kasihan lihat lo sama Shylla terombang-ambing nggak jelas gini," lanjut Teya menggeleng-gelengkan kepala.
Aku membuang napas kasar. Lagi-lagi seseorang mengajakku berdebat soal pernikahan. Usia yang matang selalu menjadi acuan seseorang untuk segera melaksanakan pernikahan. Padahal aku laki-laki, tapi tetap ikut dipermasalahkan kalau seumuran begini belum menikah, ya.
"Lo nggak kasihan sama diri lo sendiri yang juga terombang-ambing nggak jelas sama gue?" sambarku membuat Teya tercenung. Namun, dia segera menguasai diri. Tertawa lirih kemudian mengalihkan tatapan ke depan.
Aku tidak bermaksud menyinggung perasaannya. Tidak ada yang tahu bisa jadi Teya sedang merasa kacau atau aku yang sebenarnya terlalu banyak pemikiran. Kata-kataku sudah jelas. Bahkan aku sering mengucapkannya dengan kalimat berbeda, tapi wanita itu tidak pernah berekspresi.
Selanjutnya tidak ada lagi percakapan berlangsung. Matanya terpejam saat aku melirik. Entah dia sungguhan tertidur atau hanya pengalihan daripada meneruskan obrolan.
"Lo langsung balik aja nggak usah nemenin gue. Parkirnya ribet," sahut Teya saat aku membantunya menurunkan koper.
"Kita udah sepakat makan siang bareng di bandara," ucapku menahan diri.
Untuk pertama kalinya aku menemukan sisi kekanakan seorang Teya. Saat aku menatap matanya, dia membuang pandang. Berusaha berpaling seperti tidak mau menghadapi permasalahan yang ia mulai sendiri. Sikapnya pasti ada hubungannya dengan momen beberapa saat lalu. Dia masih tersinggung dengan ucapanku.
"Bukan gue yang sepakat, tapi lo," ujar Teya seraya menarik koper dari tanganku. Dia menarik napas panjang lantas berujar, "gue nggak bermaksud ngusir, tapi ini akhir pekan. Lo bisa jalan-jalan dan cari makanan enak bareng Shylla daripada sama gue. Gue mau berangkat kerja. Iya, gue mau kerja. Berangkat kerja Minggu banget, ya? Ya gitulah, namanya juga hidup. Thank's lo udah repot-repot nganter gue, Dir."
Keningku mengerut tipis. Teya menolakku? Dia menyuruhku pergi dengan Shylla? Padahal aku hanya ingin makan siang dengannya sebelum dia pergi bertugas selama satu bulan atau bisa jadi lebih. Kalaupun tidak nyaman, tidak masalah jika memosisikan diri sebagai teman.
"Hari ini gue pergi sama lo, bukan Shylla."
"Nah, itu dia. Lo semacam nggilir gue dan Shylla secara bergantian. Lama-lama gue ngerasa aneh tahu nggak. Ini apaan, sih?"
"Gue udah cerita sama lo dan lo bilang nggak keberatan. Terus, apa masalahnya?"
Teya tercenung kemudian dia tertawa kecil. "Sorry, kayaknya gue yang terlalu overthingking. Nggak ada masalah, sih. Gue aja yang bego, kayaknya. Btw, sekali lagi thank's ya. Tim gue udah nungguin di dalam. Santai aja, lo bisa hubungi gue kapan aja. Oke, bye."
Rumit sekali. Suasana hati wanita memang susah ditelusuri. Perubahan mood-nya terlalu drastis. Barangkali pengaruh tuntutan pekerjaan yang tinggi membuat Teya lebih cepat emosi. Terang-terangan dia menolakku bersamanya lebih lama. Jadi, aku cukup mengantarnya sampai di sini. Namun, bukan berarti perjalananku juga berhenti sampai di sini.
Dari bandara, tidak ada tujuan selain pulang. Tidak apa-apa Teya tidak mengizinkanku makan siang bersama. Tetapi kabar baiknya, melewatkan hari tanpa kehadiran Shylla ternyata lumayan bermanfaat bagi kesehatan. Dunia terasa damai tanpa terdengar teriakan serta ocehannya yang membual. Tak sabar ingin cepat sampai rumah. Aku memiliki banyak waktu untuk bersantai seharian penuh.
Sayangnya begitu aku tiba di rumah, suasana di sana terdengar ramai. Setahuku hari ini di rumah tidak diadakan acara apa pun.
"Nah, ini Dirga udah pulang. Kamu dicariin Shylla, lho." Mama langsung menarik tanganku.
Aku tidak habis pikir kenapa wanita berisik ini bisa ada di sini. Dia bilang tidak akan mengusikku hari ini. Rencanaku buyar, hariku mendadak suram.
"Eh, nggak Tante. Biarin Dirga istirahat kayaknya dia capek banget habis nganter ayang. Aku kan cuma mampir bentar mau nganterin oleh-oleh batik dari Bunda buat Tante sama Om, bukan pengin ketemu Dirga," elak Shylla dengan nada tertawa dibuat sumbang, lalu dia memandangku sok imut, "gue nggak bawain oleh-oleh buat lo, Dir. Entar lo beli sendiri aja."
Aku melepas cekalan tangan Mama, memilih melangkah menuju kamar. Namun, Mama kembali menarik taanganku menyuruhku duduk di sebelahnya. Kulihat Shylla menahan senyum.
"Mau ke mana? Ini ada Shylla masa mau ditinggal," tukas Mama.
"Nggak apa-apa, Tante. Aku pulang ya, Tante. Kapan-kapan aku ke sini lagi," ujar Shylla sambil beranjak.
"Lho, kok cepet. Ya udah dianter Dirga, ya."
"Nggak usah, Tante. Malah ngerepotin. Aku naik taksi aja. Kayaknya Dirga capek banget. Dia butuh istirahat. Iya kan, Dir?" Shylla melempar senyum ke arahku.
Aku diam saja. Justru memalingkan muka. Terpaksa aku duduk di ruang tamu sembari mendengarkan Mama dan Shylla mengobrol. Tak lama kemudian taksi yang dipesan Shylla tiba. Dia berpamitan dan melambaikan tangan padaku.
Begitu Shylla meninggalkan ruang tamu, aku bergegas masuk kamar. Tidak tertarik mengantarnya sampai depan. Tak berselang lama, notifikasi pesan singgah di ponsel.
Shylla : Tenang aja, gue gak bakal ganggu me time lo. Kan gue udah janji. See you tomorrow and happy weekend, Darling. 😘
02062022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top