8 - Asam atau Manis

Tamu yang datang hari ini lumayan ramai. Nisa juga sudah melayani beberapa meja. Lama kelamaan, Nisa jadi terbiasa dengan pekerjaan ini. Tanpa ditunggui oleh seniornya, dia sudah bisa mandiri. Awalnya, Nisa hanya melayani satu sampai lima orang saja. Kalau lebih dari itu dia masih minder.

Sekumpulan anak muda datang beramai-ramai memasuki Starla Resto. Mereka berjumlah sepuluh orang. Sepertinya mereka mahasiswa, terlihat dari pakaian yang santai, membawa tas, serta buku tebal.

"Selamat datang di Starla Resto." Septi menyapa dengan senyum manisnya. Dia sudah siap dengan buku catatan, pulpen, dan daftar menu di tangan.

"Ih, Mbaknya loli, Guys!" seru salah seorang cowok sipit berkacamata.

"Iya. Imut banget," imbuh cowok yang bertopi.

"Diajak kenalan, gih! Lo kan masih jomlo." Cewek dengan tas ransel kecil menyenggol lengan kiri cowok berkacamata.

"Lo kan lebih suka sama yang lebih tua. Mumpung ada di depan mata," ledek laki-laki yang membawa buku tebal.

Septi kesal melihat tingkah mereka. Ekspresinya berubah drastis. "Kalian mau makan atau mau godain saya?"

"Ih, galak amat Mbaknya!" seru cowok berambut pirang.

"Huuu!" sorak semua cowok.

"Maafin kita, Mbak. Teman saya ini emang cacing semua," kata cewek kurus berbaju biru mulai berjalan ke arah ruang Bugenvil. Ruangan ini dipenuhi dengan meja dan kursi.

"Lo juga cacingan!" seloroh cowok bertopi.

Septi mengikuti mereka dari belakang. Perempuan itu terlihat masih kesal. Melihat Nisa yang kebetulan sedang tidak melayani tamu, Septi menyerahkan menu kepadanya.

"Kamu aja, Nis. Aku males ngelayanin bocah-bocah rese kayak mereka," gerutu Septi.

"Tapi, banyak banget orangnya, Mbak." Nisa agak minder.

"Awas, ntar didemo sama bocah-bocah itu!" Ali memperingati.

"Hei, jangan samakan aku dengan gedung DPR, ya!" Septi hampir menjitak kepala Ali. Namun, Ali pandai menghindar. Septi kembali ke meja kasir.

"Nggak apa-apa, nanti aku bantu." Sena yang baru saja melayani tamu kebetulan lewat. Ia memberikan daftar menu kepada Nisa. Eh, Mas ganteng mau bantuin aku, apa nggak salah nih? Nisa selalu gugup kalau didekati orang ini. Padahal hatinya kegirangan bukan main.

"I-iya, Mas Sena." Nisa gugup.

"Nggak usah panggil mas, panggil Sena aja."

"I-iya, Mas Sena, eh, Mas Sena!" Nisa malah makin deg-degan tidak karuan.

Sena yang menyadari kegugupan Nisa akhirnya mengalah. Dia mendesah pelan. Terserah, deh!

Para anak muda itu terus saja memanggil pelayan yang bernama Septi. Namun, Septi tak mengacuhkannya. Mereka sedikit terkejut dengan kehadiran Nisa.

"Mbaknya yang tadi mana?" tanya cowok berkacamata.

"Maaf, tadi mbaknya lagi dipanggil sama pimpinan," jawab Nisa.

Mereka semua tengah sibuk memperhatikan menu. Hingga pendengaran Nisa menangkap suara usil yang dilontarkan cukup lirih, tetapi masih bisa didengar.

"Eh, mending dilayani Mbaknya yang ini. Kayaknya dia masih ABG," kata cowok berambut pirang.

"Iya. Pasti dia seumuran sama kita," kata cowok bermata sipit.

"Iya, Bro!" Cowok berkulit putih berbaju hitam sedikit tertawa menutup mulut.

"Saya pesan ayam goreng kremes, Mbak!" seru cewek berjilbab merah marun. "Plus nasi, ya, Mbak."

"Nasinya sebakul aja. Kita kan ramai," anjur cewek berambut panjang.

"Nggak mau. Gue lagi butuh banyak asupan karbohidrat."

"Nyaelah, bahasa lo nggak kayak biasanya, Sis!" dengkus cewek berbaju biru.

"Paket lele bakar satu."

"Nila asam manis sekilo."

"Bawal goreng satu."

"Nasi dua bakul."

"Katanya nggak mau nasi bakul?" tanya cewek berambut panjang.

"Porsi cowok sama cewek beda, dong, Sis!" celetuk cowok bertopi.

"Eh, nggak jadi bawal goreng deh, Mbak!" kata cowok berambut pirang.

Saking banyaknya pesanan, Nisa jadi bingung menulisnya. Apalagi ada yang minta ganti pesanan. Sampai harus coret dan tulis ulang. Bikin pusing saja.

"Maaf, bisa diulang lagi pesanannya?" pinta Nisa kepada mereka.

"Gimana sih, Mbak? Belum dicatetkah?" geram cowok berambut pirang.

"Jangan dimarahin mbaknya! Nanti nangis, loh!" goda cewek berambut panjang.

"Mbaknya grogi sama lo kali," sindir cewek berbaju biru menunjuk cowok sipit berkacamata. Semua cowok tertawa geli. Wajah cowok sipit berkacamata berubah merah.

Nisa mengepalkan tangan, menahan perasaan kesal yang muncul tiba-tiba.

"Sini Mbak, saya bantuin nyatet." Cewek berjilbab meminta pulpen dan kertas dari Nisa. Gadis mahasiswi itu mencatat satu per satu pesanan teman-temannya.

Seraya menunggu selesai memesan, cowok sipit berkacamata tiba-tiba membetulkan name tag milik Nisa yang terbalik. "Oh, namanya Fadhilatun Nisa!"

"Wah, nggak sopan lo, Bro!" cerca cowok berambut cepak.

"Hayo, nanti dimarahin mbaknya, loh!" goda cowok bertopi.

"Mbaknya nggak marah kok. Ya kan, Mbak?" tanya cowok sipit berkacamata itu. Nisa menggeleng sambil tersenyum. Padahal ingin dia melempar mereka ke wajan penggorengan. Digoreng sampai kering kerontang sekalian.

"Mbak Nisa udah punya pacar belum?" tanya cowok bertopi.

"Wuih, sadis pertanyaan lo, Bro!" desis cowok berambut cepak.

Nisa hanya menggeleng. Dia masih tidak ingin mengeluarkan kata-kata secara lisan. Nisa masih kuat mengendalikan diri.

Tak seperti biasanya, kali ini Nisa berjalan sangat cepat menuju dapur. Bahkan kelajuannya melebihi langkah kaki Aya. Kali ini dia juga tidak menabrak pintu maupun jendela. Sebenarnya Nisa masih menyimpan rasa marah di dada. Namun, apa boleh buat, ini merupakan bagian dari pekerjaannya. Mau tak mau, suka tak suka, Nisa harus menjalaninya dengan ikhlas.

"Tumben Nisa cemberut," ucap Mbak Fifi yang sedang membuatkan pesanan untuk Nisa dan Sena.

"Maklum, Ma, Nisa habis didemo sama mahasiswa resek aneh bin ajaib," jawab Sena spontan. Kata-katanya membuat Amel dan Dena tertawa. Nisa cuma bisa meringis.

"Ngeri, ya, demonya mahasiswa," seloroh Amel.

"Iya ya. Gayanya sok-sokan banget. Selalu bikin ricuh," imbuh Dena.

"Padahal mereka belum pernah ngerasain dunia kerja kayak kita-kita. Belum pernah ngerasain gimana rasanya dibentak sama atasan, ngerasain gimana rasanya sistem kerja perusahaan, nggak digaji sebulan, atau dikomplain sama pelanggan menyebalkan," jelas Amel.

"Nah, betul itu!" Dena setuju dengan pernyataan Amel.

"Kalian, nih, kebanyakan nonton berita." Mbak Fifi sudah selesai membuatkan pesanan Nisa dan Sena.

Nisa dan Sena mengantar pesanan mereka masing-masing. Sena juga membantu Nisa mengantarkan pesanan. Meja di ruang Bugenvil nomor 05 dan 06 itu hampir penuh dengan makanan. Tak seheboh tadi, mereka malah banyak yang diam dan langsung menyantap makanan yang tersedia. Nisa ke meja kasir meletakkan kertas pesanan. Sena juga ikut-ikutan karena tadi lupa belum menaruhnya.

"Demonya udah kelar?" tanya Yayan tiba-tiba.

"Udah. Lihat, tuh! Nisa sampai tepar begitu," tukas Sena.

"Ya udah, sana temenin. Kasihan." Yayan menganjurkan.

Sena menghampiri bangku panjang tempat Nisa duduk yang berdekatan dengan kipas dinding. Sepertinya perempuan itu sedang kepanasan.

"Capek?" tanya Sena.

"Iya, Mas," jawab Nisa lelah.

"Eh, aku kan udah bilang jangan panggil mas!"

"Iya, Mas, eh, Sena!" Nisa masih canggung dengan panggilan itu. Pasalnya dia tahu kalau umur Sena dua tahun lebih tua dibanding dirinya. Tahun lahirnya tertulis dalam buku profil karyawan Starla Resto.

Nisa terus memandangi para mahasiswa itu. Pikirannya mulai menuju kepada keinginannya yang belum tercapai—kuliah. Sena heran dengan Nisa yang masih melamun, lantas melambaikan tangan di depan wajah gadis itu. Nisa agak tersentak..

"Kamu kenapa, sih, lihatin mereka terus?" tanya Sena.

"Enak, ya, kayaknya kalau jadi mahasiswa," celetuk Nisa.

"Enak gimana maksudnya?" tanya Sena penasaran.

"Enaknya ... apa, ya?" Nisa tampak sedang memikirkan sesuatu, tanpa menoleh ke arah Sena yang sedang mengajak bicara. Lelaki di sebelahnya itu terlalu tampan untuk dipandang.

"Enaknya bisa belajar bareng teman satu kampus, bisa baca buku di perpus, pulang kuliah bisa jalan-jalan bareng, main bareng, makan bareng ...." Nisa masih melanjutkan angannya yang tak jelas mengarah ke mana.

"Tapi, di sini juga enak, 'kan?" potong Sena.

Sontak hal itu membuat Nisa sedikit terkejut. Dia tadi kurang menyadari bahwa Sena duduk makin dekat dengan dirinya. Perlahan Nisa menjauh dari Sena, masih di bangku yang sama.

Di sini? Enak? Enak apanya? Kerja itu capek banget tahu! Tanganku rasanya mau copot gara-gara ngangkat tumpukan piring kotor berkali-kali. Kulitku kepanasan tiap kali masuk dapur. Gendang telingaku mau pecah tiap kali dengar suara blower, blender dan penggorengan. Kakiku juga mau copot gara-gara pesanan yang harus diantar cepat. Dia bilang di sini enak, hah? Entah rutukan apa lagi yang harus Nisa lontarkan dalam hati.

"Enaknya, bisa makan, minum, dan main bareng teman-teman. Apalagi kita juga tinggal di mes yang sama. Kita juga bisa ketemu sama orang-orang baru. Walaupun kita capek kerja, semua itu akan terbayar saat kita terima gajian," jelas Sena.

"Kamu pikir begitu?" tanya Nisa. Dirinya jadi teringat dengan kata-kata Fikar yang kurang lebih sama dengan Sena kali ini.

"Ya, walau sesulit apa pun memang harus dijalani. Toh, keuntungannya juga buat kita sendiri. Ya, 'kan?" jelas Sena. "Kamu pengin kuliah, ya?"

Nisa diam sejenak. Sebenarnya malu untuk berkata jujur bahwa Nisa lebih suka belajar di universitas ketimbang bekerja.

"Ya," jawab Nisa singkat.

"Aku juga," balas Sena.

"Serius?" Nisa malah makin penasaran dengan jawaban Sena barusan.

"Iya, tapi itu dulu," kata Sena.

"Kenapa?" tanya Nisa lagi.

Sena tak kunjung menjawab pertanyaan Nisa. Tak lama kemudian, Aan datang membawa beberapa gelas berisi es jeruk hingga membuat Aya kegirangan. Semua orang yang berada di bagian depan mendapatkan satu gelas es jeruk, termasuk Nisa dan Sena.

"Es jeruk itu ...." Sena terlihat sedang berpikir sejenak sambil mengaduk aduk-aduk minumannya dengan sedotan.

"Hmm ...." Nisa melirik ke Sena, sedangkan yang lain masih asyik menatap lalu lalang kendaraan yang lewat. Kebetulan resto juga sudah mulai sepi pengunjung.

"Nggak peduli rasanya asam atau manis, yang penting berpikir positif," ungkap Sena.

"Maksudnya?" Nisa masih tak bisa memaknai kalimat barusan.

"Nggak peduli kehidupan kita asam atau manis, yang penting kita tetap berpikir positif. Seperti es jeruk. Kita nggak tahu es jeruk yang kita buat itu asam atau manis, tapi kita tetap harus meminumnya, 'kan?"

"Aku masih nggak ngerti," ringis Nisa.

"Jadi, begini ...." Sena menyeruput es jeruknya. Ekspresinya terlihat manis sekali. Nisa pasti betah jika harus menatap lelaki itu berlama-lama dari samping.

"Terkadang, sesuatu yang kita inginkan saat ini tidak sesuai harapan. Contohnya, kamu pengin kuliah, tapi kamu gagal dan kamu malah ditakdirkan untuk bekerja, yang sebenarnya hal itu adalah sesuatu yang nggak kamu sukai," terang Sena.

Nisa mulai meratapi diri sendiri. Ada benarnya juga anggapan Sena tentang filosofi es jeruk yang diucapkannya. Apakah mungkin Sena sedang menyindir Nisa, mengingat sejak tadi Nisa hanya memperhatikan para mahasiswa yang sedang menikmati makanan mereka?

"Kalau dihadapkan pada satu pilihan, kamu akan pilih asam atau manis?" Sena bertanya kepada Nisa.

"Tentu aja pilih manis," jawab Nisa cepat tanggap.

"Tapi, kenapa kamu tetep minum es jeruk, walau rasanya sedikit asam?" tanya Sena lagi.

Nisa meminum es jeruknya sambil berpikir. "Karena es jeruk nggak akan terasa nikmat kalau nggak ada rasa asamnya."

"Ya, betul sekali." Sena mengacungkan jempol. "Jadi, pekerjaan terasa membosankan kalau kita belum pernah merasakan permasalahan. Apalagi kita harus tetap menjalaninya. Ya, 'kan?"

"Ya, kamu benar," sahut Nisa.

Seperti apa pun rasanya, seperti apa pun kehidupanyang dijalani, keinginan Nisa untuk kuliah masih kuat. Sungguh, bertemu Senayang berparas tampan dan punya kata-kata bijak membuat Nisa berpikir sejenakmengurungkan keinginannya untuk kuliah. Nisa bagaikan terkena sihir kalau diaharus lebih lama berada di sini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top