6 - Tempat Baru

Salah satu hari paling bersejarah dalam hidup Nisa adalah berstatus sebagai karyawan Starla Resto. Restoran itu punya tagline "Fresh from the Kitchen" dengan menu andalannya, gurami bakar. Sudah tampak dari papan namanya yang sangat besar.

Halaman parkir cukup luas. Sepertinya bisa untuk parkir sekitar 20 mobil dan 52 sepeda motor. Pintu masuk bentuknya juga sangat khas, bentuk rumah joglo seperti bangunan keraton dengan ukiran corak daun dan bunga. Tersedia tempat duduk lesehan maupun kursi. Jadi, pelanggan bisa pilih sendiri mau duduk di mana.

Bagian dalam restoran ini beda lagi. Konsepnya bukan tradisional khas jawa, melainkan modern. Semua yang ada di ruangan sepenuhnya kursi dan meja. Cat dindingnya berwarna moka dengan lukisan-lukisan batik berukuran 100x60 sentimeter. Ada juga ruangan yang dapat digunakan khusus untuk pertemuan berfasilitas AC. Selain tempat wajib untuk makan, di sini juga ada taman dan playground untuk pelanggan yang membawa anak-anak.

Halaman belakang lain lagi. Ternyata di belakang restoran ini ada mes untuk karyawan-karyawan Starla Resto. Nisa mengira mes di sini juga sama seperti yang ada di kotanya—mes berbentuk rumah joglo dengan empat tiang. Di sini malah lebih mirip rumah susun, tetapi bolehlah, tempatnya bagus dan nyaman. Konsep bangunannya lebih modern. Atapnya juga datar. Pasti ada rooftop-nya.

Lantai 1 untuk karyawan laki-laki, sedangkan lantai 2 untuk karyawan perempuan. Lantai 3 dan 4 digunakan sebagai ruang penyimpanan. Nisa menuju lantai 2, kamar nomor 3. Dia diantar oleh seorang perempuan yang disapa Aya.

"Nanti malam kamu tidurnya bareng aku, ya. Aku udah seminggu sendirian," kata Aya.

"I-ya, Mbak." Nisa masih gerogi bila berhadapan dengan orang yang baru dikenal. Gadis itu mulai membuka tas, hendak membereskan dulu barang-barangnya ke dalam lemari. Namun, Aya mencegah. Dia memberikan seragam berwarna mocca, kerudung segiempat warna mocca, serta apron warna oranye. Sepertinya pemilik restoran ini menyukai warna mocca, dari dinding sampai seragam pun berwarna sama.

"Nanti malam aja beres-beresnya. Kamu ganti baju dulu sekarang. Karyawan perempuan di sini wajib memakai jilbab karena Bu Bos tidak mau ada rambut yang tertinggal di makanan," terang Aya.

Nisa manggut-manggut mendengar penjelasan singkat dari Aya.

"Setelah ini kita briefing bareng Pak Manager. Aku tunggu di bawah, ya," tambah Aya.

"Temenin, dong, Mbak."

"Nisa takut ya?" Aya menggodanya.

"Tungguin bentar, dong!" pinta Nisa.

"Ya, deh, aku temenin. Tapi jangan lama-lama, ya."

"Siap!" Nisa mengangguk.

***

Semua karyawan sudah berkumpul di depan. Tempat lesehan digunakan untuk briefing hari ini. Nisa melihat Wildan dan adiknya, Atwa, masih di sini. Wildan membawa mikrofon. Mungkin, Pak Manajer yang dimaksud Aya adalah Wildan ̶  anak sulung Pak Bos.

Sebelum briefing dimulai, terlebih dahulu mereka berdoa. Setelah itu menyanyikan Mars Starla Resto. Lagu ini selalu dinyanyikan setiap hari sebagai penyemangat karyawan agar selalu bekerja secara konsisten dan profesional. Nisa yang belum hafal lirik lagunya hanya ikut-ikutan bertepuk tangan.

"Mbak Aya, nanti ajari aku lagu itu, ya!" Nisa berbisik ke arah Aya.

"Oke," jawab Aya singkat.

"Oh iya, kita kedatangan teman baru!" Suara Atwa mengagetkan lamunan Nisa. Gadis itu hanya tersenyum. Memang Atwa yang gemuk lebih humble daripada kakaknya yang bertubuh kurus dan berwajah dingin. Wildan juga lebih pendiam, tapi tegas dalam berkata-kata.

Nisa ingat ketika tadi dia diantar dua orang kakak-beradik itu. Wildan menyetir dan banyak diam. Sedangkan Atwa, sang adik, banyak berbicara dengan Nisa. Bahkan dia tidak segan menanyakan status Nisa yang masih single.

"Perkenalkan dirimu, Mbak!" perintah Wildan.

Nisa agak gugup menerima mikrofon dari salah seorang karyawan yang dari tadi tersenyum padanya hingga Nisa tidak berani memperhatikan. Dulu waktu masih SMA, Nisa memang pandai menyelesaikan soal, tetapi tidak pandai berbicara. Bicara memang bukan keahliannya.

"Se-selamat pagi semua!" Nisa tampak gugup sekali.

"Pagi!" jawab mereka serempak.

"Nama saya Fadhilatun Nisa. Panggilan Nisa. Umur saya 19 tahun dan baru lulus SMA. Tempat tinggal saya masih satu domisili dengan restoran pusat."

"Status?" tanya laki-laki yang sejak tadi memperhatikannya.

"Masih single, Mas. Kalo Masnya?" Nisa balas bertanya malu-malu.

"Saya sudah punya tunangan, Mbak." jawab laki-laki itu.

Nisa bernapas lega. Dia memang selalu gugup kalau dilihat terus. Apalagi dilihat oleh laki-laki. "Ada yang ingin bertanya lagi?"

Semua diam, tidak ada yang menjawab. Hening sejenak. Kemudian salah seorang baru menjawab, "Cukup, Mbak Nisa."

Nisa cukup terpana melihat orang itu. Orang ini seperti sudah berumur mendekati 40-an, tetapi wajahnya tampan sekali. Pria tinggi dengan kulit putih dan mata agak sipit.

Nisa memandang sekelilingnya. Memang benar kata Bapak H. Sugiarto. Karyawan di sini banyak laki-laki. Jumlahnya ada sepuluh, sedangkan yang perempuan ada 6 orang termasuk dirinya. Jadi, total seluruh karyawan ada enam belas orang.

"Terima kasih kepada Mbak Nisa yang sudah memperkenalkan diri. Selanjutnya, saya serahkan ke Pak Arif." Wildan menyerahkan mikrofon kepada Pak Arif.

"Baiklah, terima kasih, Mas Wildan. Untuk Mbak Nisa, selamat bergabung di keluarga besar Starla Resto Cabang Semarang. Oke, teman-teman! Kita mulai saja pembagian tugasnya."

Sang pimpinan itu bernama Pak Arif. Beliau dipercaya sebagai pimpinan di Starla Resto Cabang Semarang. Seharusnya Wildan yang harus menjadi pimpinan di restoran ini. Namun, karena statusnya yang masih mahasiswa di Mesir, adiknya juga sama masih berstatus mahasiswa di Iran, ayah mereka pun menyerahkan tugas itu kepada Pak Arif yang sudah 15 tahun bekerja di sini.

Aan memberikan beberapa catatan kepada Pak Arif. Aan adalah orang yang sedari tadi memperhatikan Nisa dan sudah punya tunangan. Pak Arif mencatat booking-an hari ini di papan tulis putih besar serta menunjuk beberapa karyawan untuk menjalankan tugas.

"Kok saya ditempatkan di belakang, Pak? Mas Yayan malah ditempatkan di depan. Saya tengah ajalah, Pak." Seorang perempuan bernama Septi protes kepada pimpinan. Septi punya wajah yang imut dan bertubuh kecil. Orang-orang mengira dia masih kecil. Padahal umurnya sudah 23 tahun.

"Cie, mau deket sama bebeb, nih, ye!" ledek seorang berkulit sawo matang bernama Nanang.

"Septi, jangan protes! Saya beri kamu tugas yang paling ringan," tegas Pak Arif.

Septi mengerucutkan bibir, tampak kesal. Lantas dia memelintir ujung jilbabnya.

"Udahlah, Beb. Nggak apa-apa," ujar Yayan menenangkan Septi.

"Yang tengah bagiannya Sena," tunjuk Pak Arif.

"Oke, Bos!" sahut lelaki yang mencatat di buku kecilnya.

Ternyata, cowok jangkung yang rambutnya dikuncir itu bernama Sena.Nisa tidak berkedip melihat lelaki itu. Masyaallah, kenapa lelaki setampan aktor Korea ada di sini?

"Tugasnya Aya ngajarin Nisa," lanjut Pak Arif.

"Oke, Pak!" Aya mengacungkan jempol.

Menyadari sedari tadi terus diperhatikan, Sena mengerling ke arah Nisa. Wajah Nisa langsung merah padam. Waduh, ketahuan! Nisa membuang pandangan ke arah lain. Aya yang memperhatikannya hampir tertawa.

"Kenapa kamu cekikikan?" Sena heran memandangi Aya.

"Nggak apa-apa, cuma heran aja ada orang baru lihat muka orang terlalu tampan," ringis Aya. Nisa merasa bahwa orang baru yang dimaksud Aya adalah dirinya. Hal itu membuat jantungnya makin berdebar.

"Aku emang udah terlalu tampan dari lahir, Dul," kata Sena yang tak mau mengalah dengan seniornya itu. "Dasar kucing betina!" ejek Sena

"Dasar tempe penyet!" balas Aya.

Semua yang mendengar pertikaian mereka mulai tertawa. Dua orang yang dijuluki kucing jantan dan kucing betina oleh rekan-rekannya itu kalau sudah bertemu tidak akan bisa diam. Untungnya, anak-anak Pak Bos sudah pulang. Kalau masih di sini, pasti Aya dan Sena merasa malu sekali.

"Jangan kaget, ya, Mbak Nisa! Orang-orang di sini semuanya agak gila." Pak Arif tersenyum kepada Nisa. Nisa cuma mengangguk pelan. 

"Nanang dan Sae seperti biasa bantu saya di belakang. Hari ini kita banyak agenda."

Ternyata yang namanya Saefudin alias Sae punya tampang yang agak imut. Sepertinya dia laki-laki yang paling muda di sini.

"Siap, Komandan!" Nanang dan Sae hormat sekilas kepada Pak Arif.

"Bagian perairan bagaimana kabarnya?" tanya Pak Arif yang menyebut pembuat minuman di restoran ini bagian 'perairan' karena mereka yang paling banyak menggunakan air.

"Aman, Bos," jawab Baim.

"Nggak aman, Bos," jawab Anas.

"Lho, mana yang bener?" sahut Pak Arif dibuat bingung.

"Air aman. Hanya saja ada beberapa bahan yang perlu kita beli lagi. Seperti buah-buahan untuk membuat jus. Terutama jeruk peras." Dena yang bukan seorang pembuat minuman menjelaskan.

"Eh, kamu kan bukan bagian perairan!" sanggah Yono yang selalu sinis dengan sikap Dena. Gadis berambut pendek itu memang dikenal perempuan yang teliti dalam menghitung stok barang, walaupun bukan bagian dari tugasnya yang sebagai tukang masak.

"Kalian bertiga terlalu lama jawabnya," keluhnya kesal.

"Bagian dapur bagaimana, istriku tercinta?" tanya Pak Arif lagi.

Mata Nisa terbelalak seketika mendengar panggilan Pak Arif barusan. Pak Arif melihat ke arah Mbak Fifi. Oh, ternyata istrinya Pak Arif juga kerja di sini, batin Nisa. Mbak Fifi punya tubuh yang agak gemuk dan berkulit hitam manis.

"Dapur aman, Ayah. Tadi pagi Mbak Wati sudah antar stok sayur," sahut Mbak Fifi.

"Cie cie .... pagi-pagi udah romantis!" ledek Nanang.

"Cie cie ...yang pengin diperhatiin!" balas Mbak Fifi.

"Ih Mbak Fifi, nih! Mentang-mentang aku LDR sama pacar, malah diledekin begitu," decak Nanang. Semua orang tertawa memperhatikan celoteh pagi mereka berdua.

"Siapa yang belum dapat tugas?" Pak Arif mencoba mengingat sesuatu.

"Saya, Pak!" Ali mengangkat tangan.

"Hari ini jadwal Ali belanja barang, ya?" tanya Pak Arif.

"Betul, Pak." Aan menunjukkan catatannya.

"Belanja di pasar Jatingaleh atau Peterongan?" tanya Ali.

"Terserah kamu, yang penting ada barangnya. Nanti minta list belanja ke Anas atau Dena," imbuh Pak Arif.

"Siap, Pak!" seru Ali.

"Setelah belanja, kamu temenin Aya dan Nisa kerja di depan."

"Ya, Pak." Ali adalah seorang waiter di sini, sama seperti Sena.

"Semua tugas hari ini sudah saya bagi. Sebelum saya akhiri, ada pertanyaan?" tanya Pak Arif memperhatikan semua orang.

"Siapa hari ini yang tugas jaga parkir, Pak?" tanya Sae yang sejak tadi diam.

Pak Arif diam sejenak. Lalu dia langsung menunjuk seseorang. "Yono hari ini jadi tukang parkir, ya!"

"Kok saya, sih, Pak?" luah Yono.

"Dilarang protes!" Septi menimpali karena dia tadi juga tidak boleh protes.

"Iya iya." Yono mengalah.

"Pesanan minuman tidak terlalu banyak hari ini. Jadi, saya menunjuk kamu," sambung Pak Arif.

"Kalau takut terbakar sinar matahari, ntar aku kasih sunblock," bisik Sena.

"Thanks, Bro!" sahut Yono.

"Nanti saya bantu parkir juga," ujar Pak Arif.

"Pak Arif mau jadi tukang parkir?" Ali heran dengan pimpinannya itu.

"Hei, jangan remehkan suamiku! Beliau itu multitalenta." Mbak Fifi penuh semangat. Pak Arif tersenyum dan mengedipkan sebelah mata kepada istri tercintanya.

"Terima kasih, istriku tercinta."

"Sama-sama, suamiku tercinta."

Semua orang tampak kegirangan lalu bertepuk tangan. Tepuk tangan paling meriah dipersembahkan oleh Aan dan Nanang. Sebelum mengakhiri hari ini, Pak Arif memimpin doa penutup agar seluruh karyawan diberikan kelancaran dalam bekerja.

Nisa mendesah pelan dan perlahan. Ia masih tak percaya dengan dirinya sendiri bisa berada di tempat seperti ini setelah lulus SMA. Di pikirannya masih terngiang tentang impian berada di universitas negeri. Sayangnya, Tuhan tak mengizinkannya kuliah tahun ini.

Waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB. Beberapa pelanggan telah berdatangan. Kebanyakan dari mereka telah mengambil tempat yang sudah di-booking pada hari sebelumnya. Sena, Septi dan Yayan sudah bersiap di tempat mereka bertugas. Ali, Aya dan Nisa berada di tempat yang free table atau yang belum dipesan.

Di tempat baru ini, Nisa akan bertemu banyak pelanggan. Dia bertekad harus mampu menghadapinya. Selama ada kemauan, pasti ada jalan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top