5 - Dukungan

"Nisa diterima kerja, Pak!" teriak Nisa setelah memarkir sepeda motor di bengkel bapaknya.

"Oh, baguslah!" sahut Bapak yang masih melanjutkan pekerjaan.

"Bapak senang, 'kan?" Nisa ingin tahu reaksi Bapak.

"Bapak hanya bisa mendoakan yang terbaik buat kamu," jawab Bapak dengan ekspresi yang masih sama.

Semangat Nisa luruh seketika. Bapaknya seolah tak peduli, lalu Nisa menghampiri ibunya.

"Bu, aku diterima kerja," ujar Nisa melihat ibunya yang sedang menyetrika.

"Oh, baguslah!" kata Ibu singkat.

Setelah melihat reaksi ibunya, Nisa tak mampu berucap lagi. Sepertinya jawabannya akan sama dengan Bapak. Seolah mereka tak acuh dengan keadaan Nisa saat ini. Padahal dia juga butuh dukungan dari orang tuanya.

"Kang, gue diterima kerja, tapi tempatnya di Jatingaleh," Kata Nisa saat berada di kamar Fikar.

"Wah, bagus, dong! Kalau libur kerja bisa mampir keliling kota Semarang," sahut Fikar.

"Tapi, kan, jauh," keluh Nisa.

"Daripada ditempatkan di luar pulau Jawa, lo mau?" tanya Fikar iseng.

"Nggak mau." Nisa menggeleng.

"Berangkatnya kapan?" tanya Fikar.

"Besok."

"Besok, ya." Fikar tampak berpikir sejenak. "Kalau begitu, jalan-jalan, yuk!"

"Ke mana?" Nisa jadi bersemangat lagi, mengingat sudah lama sejak try out ujian SMA Nisa tidak pernah jalan-jalan keluar dengan kakaknya.

"Udah, ayo ikut aja!" ajak Fikar memaksa.

Nisa hanya mengangguk menuruti ajakan Fikar.

***

Malam itu, Fikar mengajak jalan-jalan Nisa keluar, sekadar ingin mengatasi kebosanan hidup selagi Fikar masih libur kerja. Nisa memang sudah biasa boncengan berdua dengan kakaknya. Ke mana-mana selalu berdua. Makan di luar pun selalu berdua. Mereka bagaikan sepasang kekasih.

"Mau makan apa?" Tanya Fikar ketika sampai di parkiran alun-alun kota.

"Bakso," jawab Nisa tanpa pikir panjang.

"Bakso lagi bakso lagi, yang lain ajalah."

"Kan, tadi Kang Fikar tanya mau makan apa, ya udah, gue jawab bakso."

"Emang lo nggak bosen sama bakso?"

"Nggak." Nisa menggeleng cepat.

"Pantesan," kata Fikar Sinis.

"Maksudnya?"

"Badan lo bulet kayak bakso," ejeknya sambil terkekeh.

"Langsing begini dibilang bulet? Kayaknya, kacamata lo perlu diservis, deh, Kang," balas Nisa dengan menyentil bagian tengah kacamata Fikar.

Ternyata kalau dilihat-lihat, kakak Nisa ini tak kalah tampan dengan para idol Korea maupun idol Jepang. Tinggi badan kakak beradik itu juga sama.

"Malam ini gue nggak mau traktir bakso," kata Fikar ketus.

"Kenapa?"

"Bosen aja tiap kali lo diajak keluar makan, selalu minta bakso dan bakso."

"Ya udah. Kalau nggak mau beliin bakso, ngapain ngajak gue?" geram Nisa.

"Terus kalau bukan lo siapa lagi?" bentak Fikar.

"Makanya cari istri, dong, biar nggak direpotin gue mulu," sindir Nisa.

"Eh, lo kira gampang apa cari istri? Udah, deh, nggak usah bawel!" Fikar menoyor dahi Nisa dengan telunjuknya.

Kalau disinggung soal jodoh, Fikar selalu mengalihkan pembicaraan, seolah tak mau membahas itu dengan adiknya. Bukannya trauma dengan masa lalu, tetapi memang dari dulu tidak pernah punya pacar. Bisa dibilang, jomlo sejak lahir. Fikar memang dikenal sebagai cowok perfeksionis dan sangat peduli dengan hal-hal kecil. Segala sesuatu selalu ingin terlihat sempurna. Makanya, sampai sekarang pun dia pilih-pilih soal wanita.

Alun-alun kota memang selalu ramai pada malam hari. Banyak pedagang kaki lima menjajakan dagangan mereka di tempat yang sudah disediakan. Pengunjungnya juga ramai. Ada banyak anak muda yang sekadar nongkrong, ada juga yang mengajak keluarga, ada pula yang sekadar mampir untuk istirahat karena perjalanan jauh. Bukan hanya pedagang kaki lima, tapi juga ada wahana becak hias dengan lampu LED berwarna-warni, odong-odong, dan lain sebagainya.

Nisa dan Fikar masih berjalan di sekitar alun-alun menikmati pemandangan. Mereka belum mau makan. Fikar bilang nanti saja kalau sudah lelah berjalan.

"Dek, fotoin dong!" ajak Fikar ke salah satu ikon di sana. "Yang bagus ya!"

"Oke." Nisa mengacungkan jempol.

Nisa mulai memotret berkali-kali ke arah Fikar yang sedang berpose ria. Fikar memang sulit sekali difoto. Maklumlah, cowok perfeksionis. Dari 28 foto, paling yang diambil cuma satu, yang lain dihapus. Nisa tak heran dengan kelakuan kakaknya itu. Untunglah dia adik paling sabar di dunia.

Ketika baru selesai memotret, Fikar mendekat ke arah Nisa untuk menyeleksi foto yang sudah diambil tadi. Tiba-tiba ada orang yang mengagetkan mereka.

"Hai, Nisa!" sapa Asih.

"Asih!" seru Nisa kaget.

"Sama siapa?" tanya Nisa menunjuk seorang laki-laki di sebelah Asih.

"Mas pacar," bisiknya. "Kenalin, ini Mas Reno. Mas Reno, ini teman SMA-ku, Nisa, yang aku ceritain itu, loh."

"Nisa." Nisa dan Reno saling bersalaman.

"Oh, jadi ini si profesor itu, ya?" tanya Reno memastikan.

"Iya, Mas Reno. Nisa ini dulu pinter banget di jurusanku, sampai bisa ikut olimpiade," tambah Asih.

"Iya, makanya lo sering nyontek gue, 'kan?" tukas Nisa.

"Hehehe, iya." Asih meringis.

"Nisa kuliah di mana?" tanya Reno tiba-tiba, membuat jantung Nisa berdegup kencang.

Nisa diam sejenak lalu melirik Fikar, berharap lelaki itu tidak mendengar percakapan mereka. Fikar masih sibuk memilah foto di ponselnya.

"Aku nggak kuliah, Mas." Ekspresi Nisa berubah datar.

"Kerja?" tebak Reno.

"Iya."

"Di mana?" tanya Reno lagi.

"Starla Resto."

"Oh, restoran yang dulu tempat kerjanya Asih, ya?" tanya Reno lagi.

"Iya, tapi bukan di sini. Aku ditempatkan di Jatingaleh, Semarang."

"Wah, jauh tuh!" kata Asih.

"Kapan-kapan kita mampir makan ke sana, yuk!" ajak Reno pada Asih.

"Boleh boleh boleh," sahut Asih menirukan Upin-Ipin. "Itu ganteng banget, siapa? Pacarmu, ya?" Asih menunjuk ke arah Fikar.

"Bukan. Dia kakakku, Kang Fikar."

"Ah, masa? Pacar kali." Asih masih tak percaya.

"Kakak kandung," tegas Nisa.

"Tapi gue kok nggak pernah lihat, ya?"

"Dia, kan, kerja," jawab Nisa.

"Kakak adik, tapi kok nggak mirip?" Asih bertanya lagi.

"Apa perlu tes DNA?" Nisa mulai kesal dengan pertanyaan Asih yang sepertinya tidak percaya bahwa Fikar kakak kandungnya.

"Jawabnya biasa aja, dong! Dasar anak IPA!" Asih sedikit tertawa.

"Kita mau makan siomay, nih. Mau ikut?" ajak Reno.

"Nggak, ah. Kalian duluan aja. Lagi pula aku nggak mau ganggu keromantisan kalian," goda Nisa.

"Cie ... yang masih jomlo!" sindir Asih.

"Cie ... yang pengin diperhatiin!" balas Nisa.

Dua sejoli itu berlalu meninggalkan Nisa dan Fikar setelah mereka bersalaman dan mengucapkan salam. Kebetulan Nisa juga sudah mulai lapar. Lalu dia mengajak kakaknya untuk makan. Warung yang ditujunya adalah warung nasi goreng.

"Kang, pulangnya jangan kemaleman, ya! Besok pagi gue udah berangkat."

"Hmm ...." Fikar hanya bersuara tanpa memperhatikan Nisa. Cowok itu masih sibuk dengan ponselnya.

"Ini gue lagi ngomong sama lo," geram Nisa.

"Iya, tahu."

"Jangan main ponsel melulu!" gerutu Nisa.

"Tumben lo ngelarang gue." Fikar yang masih tak berpaling. "Bentar, ini lagi ngurusin kerja."

"Oh." Nisa manggut-manggut.

"Di sana gajinya bagus nggak?" Fikar bertanya.

"Bagus. Ada bonusnya. Segala kebutuhan terpenuhi, ada uang transportnya juga. Jadi, nanti gajiku bisa utuh. Lumayan bisa nabung buat kuliah."

"Oh my God! Belum nyerah lo ternyata." Fikar heran.

"Ya belumlah. Kan, masih ada kesempatan dua kali lagi."

"Gue nggak yakin," kata Fikar sinis.

"Ish!" Nisa berdecak sebal.

"Lo bakal kerja di sana berapa tahun?" tanya Fikar yang sudah melahap nasi gorengnya.

"Nggak tahu. Nggak mau lama-lama juga. Kalau kelamaan, nanti aku nikahnya kapan?"

"Mana gue tahu?" Fikar melahap makanannya lagi. Ponselnya sudah diletakkan di meja. "Dasar jomlo!"

"Lo juga jomlo!" Nisa membalas.

"Sesama jomlo jangan saling menghina," sahut Fikar

"Siapa yang mulai duluan?"

"Lo, Dek!" Fikar menunjuk dengan garpunya.

"Makanya cari istri dong biar nggak jomlo," balas Nisa tak mau kalah.

"Please, deh! Jangan bahas itu lagi! Kita pernah bahas ini sebelumnya," singgung Fikar.

"Gue malu Kang sama teman gue yang tadi. Dikira lo itu pacar gue."

Mendengar perkataan Nisa barusan, Fikar malah tertawa. "Terus lo bilang apa?"

"Gue bilang kalau lo itu kakak kandung gue," jawab Nisa jujur apa adanya.

"Oh ...." Fikar meminum teh hangatnya. Maklum, malam ini agak dingin karena agak mendung. Nisa bahkan makin merapatkan jaket merahnya untuk menghalau udara dingin.

"Kenapa, ya, Tuhan menciptakan kakak laki-laki seganteng lo?" gumam Nisa.

"Emang kenapa? Lo jatuh cinta sama gue?" goda Fikar.

"Ih, nanyanya kok gitu!" Pipi Nisa mulai merah menahan malu.

"Alhamdulillah, baru kali ini adik gue bilang gue ganteng."

"Wajarlah. Lo, kan, cowok. Kalau cewek, ya, cantik," jelas Nisa mulai menghabiskan makanannya. Minumannya juga tinggal sedikit. "Kang Fikar, tuh, aneh. Masa jauh-jauh datang ke sini cuma beli nasi goreng sama teh hangat. Masak sendiri di rumah, kan, bisa."

"Justru yang aneh itu yang berkesan." Senyum di bibir Fikar mulai mengembang.

"Maksudnya?" Nisa tidak mengerti.

"Satu bulan ke depan kan kita udah nggak ketemu lagi. Gue ajak lo ke sini bukan sekadar jalan-jalan, tapi biar lo kangen sama kakak gantengmu ini."

Nisa tertawa terbahak-bahak. "Jangan terlalu berharap!"

"Jangan bilang begitu! Nanti kangen beneran, loh!" Fikar mengukir senyum ke arah Nisa. Adik perempuannya itu kalau cemberut tampak menggemaskan. Fikar mengambil ponsel, ingin memotret ekspresi aneh Nisa. Namun, yang dia lihat adalah ekspresi yang sebaliknya.

"Kok nangis?"

"Siapa yang nangis?" Nisa mengambil sehelai tisu di meja lalu ditempelkan di kedua mata.

"Tuh, kan, apa gue bilang? Pasti lo bakal kangen sama gue." Fikar terus menggoda adiknya, mengingat ini bagaikan jalan-jalan terakhir yang dia lakukan berdua dengan Nisa.

"Iya iya." Kini giliran bawah lubang hidung Nisa yang dilap. Ada sedikit air yang keluar dari sana. "Makasih, ya, Kang! Udah mau jadi es jeruk buat gue."

"Iya, Dek." Fikar mengangguk. "Di luar sana masih banyak orang-orang yang akan menjadi es jeruk buat lo. Ketika keluar dari zona nyaman, lo akan memasuki dunia luar yang lo nggak tahu bakal seperti apa. Justru, saat itulah lo akan belajar dari orang-orang baru dan orang-orang yang luar biasa. Gue yakin, lo pasti bisa menghadapinya."

"Iya, Kang. Doain aja, ya!"

"Pasti." Fikar meminum habis minumannya.

"Tapi jangan cemburu, ya!" Nisa memperingati.

"Cemburu?" Fikar tampak bingung.

"Di sana, kan, banyak cowoknya. Kayaknya aku bakal pilih salah satu, deh." Nisa mulai berangan tak jelas sambil menyeringai.

"Huh, mulai lagi, nih anak!" Fikar kesal. "Awas lo, ya! Gue belum rela kalau lo pacaran."

"Tuh, kan, Kang Fikar cemburu." Nisa mulai tertawa. Kali ini tertawanya lebih keras dari yang tadi.

"Dasar jomlo!"

"Lo juga jomlo!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top