4 - Interviu

Nisa duduk di samping seorang perempuan berperawakan kecil. Sebelahnya lagi seorang laki-laki berkulit sawo matang. Mereka tampak mirip. Jangan-jangan kembar! Nisa hanya bisa menduga.

"Selamat pagi, Saudara-Saudara!" sapa sang Bos yang diketahui bernama H. Sugiarto itu.

"Selamat pagi, Pak!" jawab tiga orang yang duduk di depan beliau.

"Sebelum saya mulai interviu pada hari ini, saya ingin bertanya. Apakah kalian tahu tentang Starla Resto?"

Tiga orang itu diam tidak ada yang menjawab, sampai beberapa detik kemudian Nisa memberanikan diri untuk berkata, "Resto ikan bakar, Pak!"

"Jawaban kamu benar, tapi kurang lengkap," sanggah Pak Bos yang membuat Nisa sedikit menunduk kepala.

Sang pemilik resto menyampaikan tentang profil perusahaannya sambil membagikan kertas dan pulpen kepada mereka bertiga.

"Kami adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kuliner dan persewaan, antara lain restoran ikan bakar dengan beberapa cabang di Jawa Tengah, pabrik roti, katering, persewaan tratak serta sound system untuk acara apa pun serta sewa gedung." 

 Nisa sempat panik karena dikira akan ada tes kemampuan dasar, tes potensi akademik, atau tes kemampuan lainnya. Nisa belum belajar tapi sudah diberi kertas ujian. Ternyata itu bagian dari interviu. Setiap butir pertanyaan menanyakan identitas diri, kemampuan yang dimiliki, pengalaman bekerja, tujuan bekerja, dan lain-lain. Tidak semengerikan ketika menjawab soal ulangan maupun ujian nasional.

Setelah selesai mengerjakan, mereka mengumpulkan kertas interviu. Pemilik resto itu mulai memeriksa satu per satu, juga memeriksa berkas-berkas lamaran yang pada hari sebelumnya sudah mereka ajukan. Dimulai dari laki-laki dulu.

"Mas Mukti, baru lulus SMA, ya?" tanya sang pemilik.

"I-iya, Pak!" jawab Mukti gugup.

"Loh, jawabnya kok gugup? Nggak usah takut sama saya, Mas. Saya nggak gigit kok," ujar Pak Bos dengan candaan yang membuat Nisa ingin tertawa.

"Kalau mau ketawa, ya, ketawa aja, Mbak." Pak Bos melirik ke arah Nisa.

"Belum pernah kerja?" lanjut Pak Bos.

"Belum, Pak!" jawab Mukti cepat.

"Yakin mau kerja di sini? Saya lagi butuh laki-laki buat bantu bakar-bakar sama nangkap ikan."

Mukti tersentak. Sepertinya dia masih ada keraguan untuk bekerja di tempat ini. "Kalau begitu saya minta izin ibu saya dulu ya, Pak," kata Mukti ragu.

"Emangnya dari rumah tadi belum minta izin sama ibu?" tanya Pak Bos lagi.

"Belum, Pak. Maaf kalau saya agak ragu dan penakut. Maklum kalau saya belum pernah kerja sama sekali," kata Mukti yang kurang percaya diri.

"Mas, saya kasih tahu, ya. Lain kali kalau mau pergi izin awal-awal sama ibu. Apalagi mau cari kerja seperti ini. Jadi laki-laki nggak boleh takut dan pemalu. Anak perempuan saya aja yang SMA di Turki saya tinggal sendirian nggak takut, malah mandiri. Padahal masih SMA. Kalau bisa diri sendiri diberanikan, ya, Mas. Jangan sampai jadi penakut seperti ini! Kalian kalau kerja di tempat mana pun kalau meragukan seperti ini juga peluang diterimanya kecil." Pak Bos memberi nasihat. "Yang semangat, ya, Mas Mukti!"

Nisa dan kedua orang itu mengangguk mendengar penjelasan dari Pak Bos. Sekarang giliran perempuan berperawakan kecil.

"Mbak Rima, sudah izin suami?" tanya Pak Bos.

"Sudah, Pak!" jawab Rima mantap.

Nisa mengira perempuan ini seumuran dengannya. Ternyata sudah punya suami dan satu orang anak. Umurnya sudah 25 tahun.

"Pengalaman kerja di katering. Katering mana, Mbak?"

"Katering di Kalimantan Selatan, Pak. Sebelumnya, saya ikut kerja sama suami dan bapak saya ke Kalimantan. Bapak dan suami saya kerja di pertambangan, saya kerja di katering," sambung Rima.

Kali ini jawabannya lebih mantap dari Mukti. Peluang diterima kerja makin besar, terlebih pengalaman kerja sebelumnya bidang kuliner juga.

"Kenapa keluar dari katering dan pindah ke sini?"

"Karena biar dekat dari rumah, Pak. Juga biar bisa kumpul sama anak saya. Kasihan yang ngurus neneknya terus. Saya sebagai ibunya merasa bertanggung jawab penuh."

"Kebetulan saya butuh satu orang di bagian dapur. Sepertinya Mbak Rima cocok. Apakah Mbak Rima siap untuk menempati posisi tersebut?" tanya Pak Bos.

"Siap, Pak!" jawab Mbak Rima mantap.

Wah, kalau ini sih sudah pasti diterima! pikir Nisa. Terus, Nisa diterima di posisi apa?

"Mbak Nisa juga baru lulus SMA, ya?" tanya Pak Bos tiba-tiba.

"Y-ya, Pak!" jawab Nisa agak kaget karena terlalu lama menunggu ditanya oleh Pak Bos.

"Tahu informasi lowongan kerja di sini dari mana?"

"Teman saya yang namanya Asih, Pak. Dia kerja di sini," jawab Nisa sambil membayangkan bahwa sebentar lagi temannya itu tidak akan bekerja di sini lagi.

"Oh, pelayan yang badannya kecil itu, ya?"

Nisa mengangguk.

"Wah, nilai ijazah kamu luar biasa! Baru kali ini saya lihat ada yang ngelamar kerja di sini dengan nilai ijazah terbaik. Pasti dulu kamu sekolahnya pinter." Pak Bos tampak tertegun melihat fotokopi ijazah milik Nisa yang tertera nilai hampir rata-rata 90 ke atas.

"Ya gitu, deh, Pak," ujar Nisa malu-malu.

"Mapel favorit kamu apa?"

"Fisika."

"Oh, pantesan!" Pak Bos manggut-manggut. "Nilai bagus kok nggak kuliah?"

"Saya, kan, mau kerja di sini. Katanya kalau kerja di sini nggak boleh sambil kuliah," sahut Nisa.

"Iya juga," sahut Pak Bos. "Kebetulan ada salah satu karyawati saya yang baru resign. Posisinya jadi waitress."

"Posisi mana pun saya siap, Pak!" seru Nisa mantap.

"Tapi kamu tidak akan saya tempatkan di restoran ini karena karyawannya sudah penuh."

"Terus saya ditempatkan di mana, Pak?" tanya Nisa bimbang.

"Kamu akan saya tempatkan di restoran cabang Semarang. Letaknya di Jatingaleh, Kecamatan Candisari, Kota Semarang. Restorannya persis di depan Kompleks Militer Yon Arhanudse-15. Bersebelahan dengan Kantor BPJS Semarang."

"Siap, Pak!" ujar Nisa mantap. Namun, sepertinya hatinya kurang mantap. Bukan itu yang Nisa inginkan. Nisa ingin bekerja di restoran yang satu domisili dengan tempat tinggalnya, supaya bisa pulang pergi ke rumah sendiri. Kenyataannya, dia harus bekerja di cabang restoran yang alamatnya sudah disebutkan Pak Bos tadi. Nisa mulai gelisah. Setahunya, kawasan Jatingaleh itu jauh sekali, mendekati Ungaran atau Salatiga. Sedangkan Nisa sendiri belum pernah jauh dari keluarganya.

Barangkali ini yang pertama baginya. Jauh dari keluarga pasti rasanya rindu sekali. Akan tetapi, biarlah Nisa gagal dalam menembus seleksi PTN, setidaknya dia tidak gagal diterima kerja.

"Di sana banyak cowoknya, tapi perempuannya sedikit. Mungkin kalau ketambahan Mbak Nisa akan makin ramai. Walaupun restoran di sana masih terbilang baru, justru pelanggan di sana lebih ramai dari restoran yang di sini. Semoga Mbak Nisa betah di sana," tambah Pak Bos.

"Saya siap, Pak!" seru Nisa semangat.

"Oke, kalian bertiga selamat bergabung di Starla Management. Semoga kalian bisa menjalankan tugas dengan baik."

"Ya, Pak!" jawab mereka bertiga kompak.

"Besok kalian bisa langsung kerja. Datang pagi-pagi sekali sebelum jam tujuh. Kalian disediakan mes di sini. Fasilitas sudah terjamin. Untuk Mbak Nisa, besok akan diantar sama anak sulung saya, Mas Wildan. Mbak Nisa tinggal bawa barang yang diperlukan saja. Di sana juga sudah disediakan mes," jelas pak bos.

"Iya, Pak!" jawab Nisa.

Seorang pelayan laki-laki datang membawa minuman es jeruk dan gorengan untuk mereka. Pak Bos mempersilakan mereka menikmati jamuan dulu. Es jeruk lagi! Mata Nisa berbinar melihat minuman favoritnya ada di sini. Ditambah gorengan yang masih hangat, itung-itung untuk mengganjal perut karena tadi Nisa belum sempat sarapan, cuma makan telur dadar.

Sebelum pulang ke rumah masing-masing, ketiganya mendapatkan jabat tangan hangat dari Pak Bos. Akhirnya proses interviu hari ini berjalan dengan lancar. Sayangnya, perkenalan ini berjalan singkat. Besok mereka akan kerja di tempat yang berbeda. Nisa berharap semoga nanti dia bisa menjalani hari-harinya yang jauh dari keluarga dengan baik, serta mampu bekerja sebagai seorang waitress.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top