3 - Cari Kerja

Dihadapkan dengan dua pilihan itu memang sulit. Nisa memang ingin sekali kuliah, tetapi perdebatan sebelumnya tidak memungkinkan untuk lanjut mengikuti seleksi lagi. Namun, kalau kerja, Nisa tak yakin dapat melakukannya.

"Kerja itu enak nggak?" tanya Nisa ragu.

"Enaklah. Tiap bulan pasti gajian dan lo bisa beli apa pun yang lo mau," jelas Fikar meyakinkan.

"Beneran, Kang?"

"Beneran. Lo bisa lihat sendiri, kan, pencapaian gue selama ini," lanjut Fikar.

Mendengar penuturan Fikar, Nisa jadi tertarik ingin cari kerja. Gadis itu memang harus menunda keinginannya untuk kuliah tahun ini. Mungkin dengan bekerja bisa menambah pengalaman hidupnya.

"Oke, kalau begitu mulai hari ini gue akan cari kerja." Nisa mulai bersemangat.

"Nah, gitu dong!" Fikar dan Nisa saling tos dengan kepalan tangan masing-masing.

"Lo mau, kan, bantuin gue nyiapin berkas lamarannya?" rayu Nisa.

"Beres deh pokoknya. Tapi ...."

"Tapi apa, Kang?" Nisa balik bertanya.

"Habis ini beresin semua, ya, Ayam," perintah Fikar.

"Kok ayam, sih?" Nisa garuk-garuk kepala.

"Kamar lo lebih mengerikan dari kandang ayam. Rambut lo juga, tuh, udah kayak Mak Lampir. Pasti banyak kutunya." Ekspresi Fikar berubah jijik.

"Eh, sembarangan! Gara-gara siapa juga gue jadi begini?"

"Udah nggak usah bawel. Cepet beresin!" Fikar keluar dari kamar Nisa dan segera berlalu. Membiarkan adiknya itu mengurus diri sendiri. Toh, dia bukan anak kecil lagi yang harus selalu diingatkan.

***

Selama satu minggu, Nisa telah mengirimkan beberapa berkas lamaran kerja ke beberapa perusahaan sesuai kualifikasi yang dimiliki. Fikar juga membantu Nisa menyiapkan semuanya. Namun, semua sia-sia alias nihil. Belum ada satu pun panggilan interviu yang didapat.

Padahal kalau dilihat dari kerapian tulisan dan penampilan, Nisa tampak lumayan. Mungkin ada hal lain yang membuatnya tidak diterima, nol pengalaman. Oleh karena itu, Nisa selalu mengevaluasi setiap berkasnya dan berharap suatu hari nanti ada perusahaan yang akan menerimanya.

Suatu hari, Nisa bertemu dengan Asih saat dirinya mengambil ijazah di sekolah. Kebetulan Asih sedang meminta legalisir ijazah dari kepala sekolah. Mereka duduk sejenak di bangku taman sekolah sembari melepas rasa rindu kepada sang kawan.

"Sebenarnya, gue baru resign dari restoran. Sekarang lagi mau daftar kuliah di perguruan tinggi swasta," tutur Asih.

"Wah, bagus, dong!" ujar Nisa.

"Kalau Nisa gimana, jadi ikut tes tertulis atau nggak?" tanya Asih.

Nisa diam sejenak. Sebenarnya, dia merasa enggan mengatakannya. "Gue ... nggak jadi ikut tes."

"Lho, kok nggak jadi? Kenapa?" Asih penasaran.

"Gue mau cari kerja dulu," bisik Nisa ragu.

"Wah, sayang banget, ya. Padahal lo pinter," keluh Asih

"Nggak apa-apa kok, Sih. Tahun depan masih bisa ikut lagi. Gue pengin cari pengalaman dulu di dunia kerja." Nisa memaksakan senyumnya.

"Wah, kebetulan banget!" seru Asih yang membuat Nisa sedikit tersentak. "Lagi ada lowongan di restoran tempat kerja gue."

"Oh ya?" Nisa penasaran.

"Iya. Di sana lagi butuh dua helper dan satu waitress," terang Asih.

"Enak nggak kerja di restoran?" tanya Nisa masih ragu dengan keputusannya..

"Gimana, ya, ngejelasinnya?" Asih tampak berpikir sejenak. "Itu sih tergantung diri kita bisa beradaptasi dengan lingkungan kerja atau nggak."

"Oh, begitu!" Nisa mengerti.

"Jadi, gimana? Lo mau gue anterin ke sana?"

Tanpa basa-basi Nisa langsung mengiakan tawaran Asih. Menurutnya, kesempatan seperti ini mungkin tak akan datang lagi.

Setelah mempersiapkan semua berkas lamaran, Nisa diantar Asih menuju sebuah restoran dengan papan nama besar dan gambar ikan bertuliskan "Starla Resto". Restoran ini merupakan salah satu restoran berkonsep tradisional di kotanya.

Mereka menuju ke bagian kasir. Seorang perempuan memeriksa berkas yang diajukan oleh Nisa. "Saya sudah memeriksa seluruh berkasnya dan sudah komplit. Nanti untuk jadwal interviu kami akan menghubungi Mbak Nisa."

"Baiklah, terima kasih." Nisa dan Asih undur diri meninggalkan tempat itu.

Malamnya, Nisa mendapatkan SMS bahwa dia harus mengikuti interviu di restoran itu dua hari lagi. Nisa segera memberitahukan kepada keluarganya saat makan malam.

"Bu, dua hari lagi Nisa mau interviu," kata Nisa.

"Di mana?" tanya Ibu.

"Di Starla Resto, Bu."

"Baguslah. Nanti kalau kamu diterima kerja biar bisa dapat banyak pengalaman kayak kakakmu," ucap Ibu.

"Iya, bener itu. Biar kamu juga bisa lebih mandiri," tambah Bapak.

Tampaknya Ibu dan Bapak lebih suka kalau Nisa bekerja daripada kuliah. Apa boleh buat, saat ini dia tak mau berdebat lagi di meja makan.

***

Nisa memandang dirinya di cermin, memastikan tidak ada sesuatu yang aneh pada penampilannya hari ini. Gadis itu memakai jilbab biru dongker, kemeja biru muda dan celana hitam. Mekap tipis-tipis tertoreh di wajahnya yang mungil. Maklum, Nisa masih fresh graduated. Bulan lalu ia berulang tahun yang ke-19. Jadi, kalau disuruh mekap ala-ala artis Indonesia atau Korea, Nisa belum bisa. Kata ibunya, masih muda kalau mekap tak usah tebal, nanti kayak tante-tante. Mending yang alami saja biar kelihatan natural. Namun, memang beginilah perempuan, pasti selalu ingin tampil cantik. Apalagi hari ini Nisa harus mengikuti interviu di sebuah restoran yang sebentar lagi akan menjadi tempat kerjanya.

"Bu, Kang Fikar di mana?" Nisa menghampiri ibunya di dapur.

"Lagi ke mini market sebentar," kata Ibu yang sedang mengaduk secangkir kopi untuk Bapak.

"Aduh, gawat, nih!"

"Gawat kenapa?" Ibu memperhatikan Nisa sekilas sambil meletakkan sendok teh di meja dapur.

"Hari ini aku interviu. Udah telat, nih!" Raut wajah Nisa berubah panik.

"Kebiasaan kamu, Nis. Makanya, abis subuh jangan tidur lagi. Mentang-mentang udah lulus, bangunnya kesiangan mulu."

"Iya iya, Maaf." Nisa melipat tangan di hadapan Ibu lalu mengambil potongan telur dadar di meja makan dan langsung melahapnya. Ibu tampak marah sambil berjalan ke arah Bapak yang sedang sarapan.

"Sejak kapan kamu makan kayak gitu?"

"Sejak ini, Bu. Laper," jawab Nisa meringis manja.

"Padahal dulu waktu masih sekolah kamu yang paling tertib. Bangun tertib, makan tertib, berangkat sekolah nggak pernah telat, belajar juga tertib, tidur juga tertib. Eh, sekarang baru beberapa hari dapat ijazah kok udah berubah 90 derajat."

"Alhamdulillah."

Ibu bingung. Wanita itu lantas bertanya, "Kok alhamdulillah?"

"Baru 90 derajat, belum 180 derajat." Nisa meringis menampakkan deretan giginya.

"Ih, nih anak!" Ibu mengerucutkan bibirnya karena geram dengan anak perempuannya itu.

Selesai melahap sepotong telur dadar, Nisa mengambil gelas di rak lalu membuka pintu kulkas. Botol kaca berisi minuman berwarna jingga 750 ml dituang ke gelas. Itu adalah es jeruk yang sudah disiapkan tadi malam. Nisa tidak pernah beli, lebih suka membuat es jeruk sendiri dari jeruk peras yang dibeli dari pasar. Rasanya lebih alami dan nikmat tanpa pengawet dan pemanis buatan.

Tak lama kemudian, sang kakak datang.

"Kang, kunci motornya mana?" Nisa membuka tangan kanannya.

"Nih!" Fikar menyerahkan kunci motor beserta STNK. "Banyak polisi di jalan, udah bawa SIM belum?"

"Udah, dong."

"Awas, ya, kalau sampai ditilang gue nggak nanggung," ancam Fikar.

"Nggak apa-apa kalau yang nilang polisi ganteng."

"Jangan terlalu berharap!" Fikar membetulkan kacamatanya yang agak miring. "Gantengan gue kali."

"Ganteng dari mana?" sindir Nisa.

"Ganteng dari lahir," balas Fikar.

"Jangan terlalu berharap!" Nisa mengulang kata-kata kakaknya dan langsung pergi.

Matahari telah menampakkan wujudnya lagi di pagi hari yang cerah, secerah hati Nisa yang akan menjalani interviu kerja. Kata Asih, proses interviu di tempat itu tidak susah. Paling ditanya tentang hal-hal yang biasa, terutama tujuan melamar kerja di tempat itu dan seputar hal pribadi lainnya, tidak detail.

Nisa memarkir sepeda motornya di tempat parkir restoran. Restoran ini berkonsep tradisional khas Jawa. Banyak gazebo dan pondok-pondoknya. Di sebuah gazebo dekat tempat parkir sudah ada dua orang calon karyawan dan seorang bapak paruh baya berkumis tipis. Pasti itu pemilik restoran ini, pikir Nisa.

Gawat, Nisa telat! Harusnya dia datang jam sembilan tapi malah datang lebih sepuluh menit.

"Selamat pagi, Pak! Maaf, saya terlambat."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top