10 - Hukuman

Dua bulan telah berlalu sejak Nisa diterima bekerja di Starla Resto. Hari ini adalah jadwal dimulainya seleksi tertulis masuk PTN. Saat teman-teman SMA Nisa sibuk mengikuti seleksi, Nisa harus sibuk dengan pekerjaannya. Melayani tamu, menyapa, membawakan pesanan, clear up atau beres-beres meja yang sudah kosong, bahkan sampai salah mencatat menu atau salah meja. Aan yang sedari tadi keluar masuk dapur berbarengan dengan Nisa bahkan sempat mengganggunya.

"Itu pesananku!" jerit Nisa ingin merebut seporsi tumis kangkung yang diambil Aan.

"Oh, udah berani teriak sama senior, ya, sekarang!" sungut Aan berusaha menjauhkan makanan itu dari Nisa. Dengan cepat lelaki itu meletakkan seporsi tumis kangkung di penampannya.

"Mas Aan resek!" jerit Nisa lagi.

"Heh, apa kamu bilang?" Aan memelotot ke arah Nisa.

Nisa tak berani membalas tatapan tajam lelaki bermata lebar dan berhidung mancung itu. Dia sadar akan posisinya saat ini. Membantah senior sama saja dengan berperang.

"Dilarang membantah senior!" Aan tak mau mengalah.

"Tapi, itu kan pesenan tamu, bukan pesenan kamu," dengkus Nisa.

"Siapa cepat, dia dapat." Aan masih dengan tatapan yang sangat menjengkelkan langsung berlalu meninggalkannya.

"Udahlah, kamu ngalah aja! Aan itu mengerikan kalau udah kumat marahnya," ujar Nanang yang kebetulan selesai membuatkan pesanan lele bakar.

"Ngeri gimana, Mas Nanang?" Nisa penasaran.

"Dia itu kayak es jeruk. Nyegerin, tapi kadang asem, kadang manis." Nanang mengangkat tangannya bergantian untuk mengibaratkan dua sisi yang berbeda.

"Maksudnya, bermuka dua gitu?" Nisa mencoba menerka. Tak tahu juga terkaannya salah atau benar.

"Nanti juga tahu sendiri." Nanang lekas kembali ke tempatnya meninggalkan Nisa.

Nisa hanya bisa berdecak kesal dan tak dapat berkata-kata lagi. Ia pun mengalah lalu kembali ke dapur untuk dibuatkan pesanan.

Aya, Nisa dan Septi sudah selesai dengan pesanan mereka masing-masing. Mereka menuju ke meja persiapan hendak menyelesaikan aktivitas mengelap piring, sendok, dan peralatan makan lainnya, serta beberapa menyusun tisu yang harus dilipat dan dimasukkan ke dalam kotak tisu. Tisu adalah benda yang paling cepat habis karena biasanya tamu meminta tisu lebih.

Kemudian, Aya dan Septi harus meninggalkan aktivitas itu sejenak karena ada tamu yang datang lagi. Namun, Nisa malah sibuk dengan ponselnya. Ia bahkan tak sadar kalau dari jauh Aan memperhatikannya. Lelaki itu memang tidak suka melihat kalau ada karyawan yang kebanyakan main ponsel daripada mengutamakan pekerjaan yang ada.

Nisa membuka aplikasi WhatsApp di ponsel. Terlihat beberapa pesan masuk dari teman-teman SMA-nya yang saat ini sedang mengikuti seleksi ujian tertulis. Nisa mengeluarkan kertas dan pulpen yang seharusnya digunakan untuk mencatat pesanan malah ia gunakan untuk mencatat soal dan jawaban seleksi PTN.

Sepertinya, aku mengenali soal ini. Mirip di buku Try out SNMPTN yang itu. Nisa mulai mengingat buku tebal bersampul biru yang ia pinjam dari perpustakaan daerah. Nisa memotret catatannya, lalu mengirim ke WhatsApp temannya. Sejak dulu, Nisa memang selalu sukarela berbagi kunci jawaban dengan teman-temannya. Tujuannya agar ia tidak dibenci, dikucilkan, atau dijauhi.

Sibuk dengan ponsel dan catatannya, Aan yang terus fokus pada Nisa makin murka. Bukannya menyelesaikan pekerjaan, malah main-main saat jam kerja. Apalagi saat itu juga ada tamu yang memanggil pelayan. Terpaksa Aan harus bertindak.

"Ehem!" Aan berdeham di samping Nisa.

"Bentar, Mas. Bentar lagi selesai." Tanpa sadar Nisa mengibaskan tangannya seperti sedang mengusir.

Aan mengintip coretan yang sedang ditulis Nisa. "Kamu lagi ngapain? Bikin PR?"

Nisa tak mengacuhkan. Dia masih saja berkutat dengan ponsel dan catatannya. Aan jadi tambah geram. Tiba-tiba dia menggebrak meja sangat keras sampai Nisa terperanjat dan langsung berdiri. Nisa baru sadar kalau di hadapannya sudah ada Aan. Menurut penuturan beberapa orang, Aan merupakan senior paling galak di sini.

"Kamu di sini mau kerja atau mau sekolah?" sindir Aan.

"Ke-ker-kerja, Mas." Nisa gemetaran.

"Meja Cempaka 06 manggil-manggil, tuh, dari tadi. Kamu nggak ada kupingkah?" tunjuk Aan dengan kasar.

"Ma-maaf, Mas Aan." Nisa menunduk. "Aku samperin, ya."

Aan memotong perkataan Nisa yang ingin keluar lagi. "Udah telat!"

Aya dan Septi yang melihat dari jauh tidak bisa berbuat apa-apa. Sungguh, jika Aan sudah kumat marahnya, maka tidak ada seorang pun berani membantah.

"Pelajaran nomor satu yang harus kamu ingat di resto ini, jangan pernah mengabaikan pelanggan!"

"Iya, Mas." Nisa mengangguk dan menunduk lesu.

"Terus, kalau ada tamu yang manggil, harus segera disamperin," sambung Aan.

"Iya, Mas." Nisa pasrah.

"Paham nggak?" Nada bicara Aan mulai meninggi. Nisa jadi agak kaget.

"I-iya-iya ... saya paham, Mas."

Aan sudah telanjur kesal dengan perempuan ini. Dia memperhatikan Nisa dari ujung kepala sampai ujung kaki, begitu pula sebaliknya. Namun, yang ditatap malah diam dan pasrah. "Karena hari ini kamu mengabaikan pelajaran penting dan main-main saat jam kerja, maka saya akan memberi kamu hukuman."

Apa-apaan ini? Ada hukuman pula. Nisa tak habis pikir dengan seniornya yang satu ini. Memang dia salah karena melalaikan pekerjaan, tetapi kenapa mesti ada hukuman?

"Waduh, gawat!" Aya cuma bisa geleng-geleng kepala dan berkata lirih agar tidak terdengar Aan.

"Semoga hukumannya tidak semengerikan hukuman yang aku terima tiga bulan yang lalu," ungkap Septi.

Nisa juga heran dengan semua orang. Ingin rasanya dia berteriak minta tolong sekarang juga. Namun, itu percuma karena tak ada satu pun yang mau menolongnya. Kalau sudah menjatuhkan hukuman, Aan tampak begitu mengerikan.

Nisa melirik ke layar ponsel. Masih ada beberapa soal yang belum dikerjakan. Masih ada beberapa chat yang belum sempat dibalas. Dengan gerakan secepat kilat, Aan merebut ponsel Nisa dan langsung memasukkan ke dalam apronnya.

Nisa mendengkus sebal lalu berontak. "Mau diapain HP-ku?"

Aan menepis tangan Nisa yang hampir meraih apronnya "Untuk sementara, HP kamu saya sita. Saya punya tugas yang lebih penting buat kamu."

Tiba-tiba Aan menghentikan langkah Sena yang akan melewati mereka. Pria itu baru saja selesai clear up meja di Pondok Anggrek 01 dan 02. Aan menyuruh Sena untuk memberikannya kepada Nisa.

"Hari ini, kamu harus clear up semua meja yang ada di restoran ini sampai bersih," perintah Aan kepada Nisa.

"Apa? Semua meja? Gila kamu, Mas. Bisa pingsan Nisa nanti." Sena yang heran dengan tingkah seniornya itu berusaha membela Nisa. Mengingat hari ini resto sedang ramai-ramainya.

"Kamu jangan ikut campur!" Aan menunjuk Sena.

Sena yang sudah tahu tentang perangai Aan langsung angkat tangan dan meninggalkan mereka berdua.

Duh, Sena! Kamu kok malah pergi sih? Harusnya kamu nolongin aku.

"Saya nggak mau lihat kalau sampai ada sisa makanan atau bau amis yang tertinggal di meja. Paham?" ancam Aan.

"Paham, Mas." Nisa mengangguk pasrah.

"Sebelum kerjaan kamu beres, jangan harap HP-mu kembali!" gertak Aan.

Ekspresi Nisa berubah seketika bagai anak kecil yang tidak dibelikan es krim oleh ibunya. Nisa menahan air matanya agar tidak keluar.

"Kamu nggak mau, 'kan, kalau salah satu arsip penting di HP ini saya delete," ancam Aan untuk kedua kalinya.

"Jangan dong, Mas, please!" Nisa mulai panik.

"Atau saya laporin ke Pak Arif biar sekalian potong gaji?" Pria ini tak henti-henti mengancam Nisa. Sepertinya dia benar-benar serius. Sungguh kejam!

"Iya deh, terserah kamu mau sita HP-ku. Asalkan jangan potong gaji!" cicit Nisa.

"Oke. Kalau begitu lakukan yang saya perintahkan."

"Sekarang?" tanya Nisa.

"Lakuin sekarang atau kamu nggak dapat gaji bulan ini!" bentak Aan sudah tak sabar.

"Iya, sekarang."

Nisa buru-buru menuju ke tempat pencucian. Setelah itu kembali dengan membawa lap, pembersih meja, dan troli yang digunakan untuk mengangkut peralatan makan yang kotor. Aan masih berdiri mengawasinya dari ruang kasir. Sebenarnya, Aya dan Septi ingin membantu, tetapi tidak berani. Tatapan Aan yang tajam mengintimidasi siapa pun yang menurutnya berbuat kelalaian dalam pekerjaan. Bahkan Sena yang tidak tega melihat Nisa juga menjadi korban amarah Aan yang kian membara.

"Kamu mau saya hukum juga?" tatap Aan.

"Bukan begitu, Mas." Sena berusaha membela diri. "Aku cuma nggak tega lihat Nisa bolak-balik ngangkat tumpukan piring sendirian."

Kalau troli sudah penuh, Nisa harus mengangkat tumpukan piring secara manual dengan kedua tangannya. Beruntungnya, Nisa tidak pernah terpeleset apalagi jatuh, walaupun jalan menuju tempat pencucian tampak basah dan licin. Selalu ada papan peringatan kuning di tempat itu.

"Kamu tahu, hukuman yang saya kasih ke Nisa belum ada apa-apanya dibanding ospek mahasiswa," ujar Aan.

"Lho, tahu dari mana, Mas? Jangan-jangan kamu pernah kul—" Sena yang belum sempat melanjutkan percakapannya sudah dipotong duluan oleh Aan yang suaranya kian serak.

"Sudahlah, lanjut kerja!"

Sena memperhatikan punggung Aan yang makin menjauh. Barangkali Aan ingin mengambil air minum di dapur untuk meredakan sakit tenggorokannya. Tanpa sepengetahuan Aan, Sena diam-diam mengambil sapu dan pengki, hendak menyapu remahan dan sisa-sisa makanan di ruang Dahlia. Sena harus cepat-cepat membersihkannya sebelum para semut, serangga, dan kucing datang mengacaukan.

Seharusnya Nisa yang melakukannya. Dia jadi tak enak hati dengan Sena. "Makasih ya, Sen, kamu mau bantuin aku."

"Udah, nggak usah dipikirin. Kamu pasti juga capek dari tadi bolak-balik ke belakang," kata Sena.

Ya ampun, perhatian amat, nih, orang ganteng! Selain tampan, Sena juga perhatian. Nisa jadi ingin melompat-lompat kian kemari. Namun, tidak mungkin ia melakukannya di depan Sena.

"Jadi, ospek mahasiswa itu lebih mengerikan dari hukuman yang aku dapat hari ini ya?" tanya Nisa tiba-tiba.

Hal itu membuat Sena berhenti sejenak. "Entahlah, aku kan belum pernah kuliah," jawabnya. "Tadi kamu dengar, ya?"

Nisa mengangguk. "Mungkin Mas Aan pernah kuliah. Makanya dia tahu tentang ospek, 'kan." Nisa menatap satu per satu rekannya yang mulai membantu. Tujuannya agar semua cepat selesai.

Septi membuka suara. "Kalian belum tahu, ya? Mas Aan emang pernah kuliah. Dia punya sertifikat D1."

"Aku yang udah lama kerja di sini aja belum tahu. Kamu tahu dari mana, Sep?" tanya Aya penasaran. Setahunya, Aan hampir tidak pernah cerita tentang kehidupan pribadinya. Aan hanya sering membicarakan masalah pekerjaan.

"Sebelum pindah ke sini, aku pernah nemenin Mbak Evi di Kantor Pusat Starla Management," jelas Septi.

"Kantor yang ada di kawasan rumah Pak Bos itu, 'kan?" tanya Aya masih penasaran

"Iya. Semua arsip dokumen penting Starla Management ada di sana, termasuk profil para karyawan. Makanya aku tahu," sambung Septi. "Tumben Mbak Aya pengin tahu. Biasanya kamu yang paling cuek sama urusan pribadi orang."

"Ya, emang mau tahu aja. Salahkah?" kata Aya sinis seraya menatap sorot mata Septi yang sangat imut.

"Aku juga pengin tahu!" Nisa mengangkat tangan kanannya.

"Oh, Nisa pengin tahu!" ujar Aya dan Septi bersamaan. "Ya udah, silakan bertanya sama yang bersangkutan!" kata Septi.

"Maksudnya, tanya langsung sama Mas Aan?" tanya Nisa.

"Ya iyalah, siapa lagi?" seloroh Septi.

"Takut," rengek Nisa.

Melihat ekspresi Nisa yang tampak ketakutan, Aya, Septi dan Sena sedikit tertawa. Wajah Nisa memerah menahan malu.

Tak lama kemudian, Aan datang dengan membawa tumbler besi warna silver bervolume 600 ml lalu kembali sibuk dengan catatannya di ruang kasir. Semua hening seketika. Mereka menduga kalau amarah Aan masih ada sampai saat ini. Untung acara bantu-bantu meringankan hukuman Nisa sudah selesai. Kalau tidak, bisa-bisa mereka semua juga dihukum oleh Aan yang galaknya nyaris meledak lagi.

"Udah selesai?" tanya Aan kepada Nisa.

"Sudah, Mas," jawab Nisa pelan.

"Kalu begitu, lanjutin kerjaan yang lain," suruh Aan tanpa melihat Nisa. Fokusnya masih tertuju pada buku besar di depannya.

Nisa mengangguk dan mulai menjauh dari ruang kasir.Dari kejauhan, Nisa masih dapat melihat lelah di wajah Aan. Nisa masihpenasaran dengan topik obrolan dengan rekan-rekannya hari ini. Benar kataSepti, kalau Nisa ingin tahu tentang Aan, dia harus bertanya kepada yangbersangkutan. Namun, apakah Nisa sanggup menghadapi langsung senior palinggalak itu?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top