1 - Fresh Graduated

Wali murid kelas XII IPA 1, Pak Muin, datang menghampiri Nisa yang masih duduk di kursi tamu undangan. Pak Muin memperhatikan raut wajah Nisa yang tampak kebingungan mengamati sekelilingnya. Beberapa orang yang duduk di samping maupun di belakang Nisa terus saja membujuknya agar mau maju ke depan panggung karena sejak tadi namanya dipanggil oleh pembawa acara. Ia sadar bahwa hari ini adalah acara kelulusan SMA Negeri 1 Lentera, semua siswa kelas XII yang telah lulus datang bersama orang tua mereka.

"Kenapa kamu nggak maju?" tanya Pak Muin yang sudah berdiri di samping kursi temannya.

"Malu, Pak," jawab Nisa murung.

"Malu, kenapa? Bapak kamu nggak datang?" tanya Pak Muin lagi. Nisa mengangguk.

"Kebiasaan bapak kamu, nih!" Sepertinya beliau sudah hafal dengan perangai bapak Nisa.

"Belum, Pak," jawab Nisa cepat. Raut wajahnya tak berubah sama sekali.

"Sudah, tidak apa-apa. Kamu langsung maju saja."

Dengan berat hati, Nisa mengikuti arahan Pak Muin. Ia berdiri dari tempat duduknya dengan tubuh yang agak gemetar menahan malu. Pelan-pelan ia berjalan menuju panggung. Tanpa sengaja, kakinya terkena batu kerikil seukuran bola pingpong dan membuatnya hampir jatuh. Hal itu membuat sebagian orang yang melihatnya tertawa kecil.

Siapa, sih, yang naruh batu di sini? gerutunya pada diri sendiri. Sudah malu, terkena batu pula. Memang sejak dulu Nisa merasa malu kalau disuruh maju ke depan.

Nisa melihat ke atas panggung. Yang maju di depan sana adalah beberapa orang yang dinobatkan sebagai siswa berprestasi bersama dengan orang tua mereka. Ada yang dengan ayahnya, ada yang dengan ibunya, bahkan ada juga yang datang dengan pamannya. Tahun lalu Nisa pernah menempati posisi tiga besar siswa terbaik di jurusannya dan orang tuanya tak datang juga. Alasannya, bapak sibuk bekerja, ibu sibuk beres-beres rumah.

Terkadang Nisa juga kesal dengan diri sendiri, mengapa ia dilahirkan dalam keluarga miskin yang juga tidak mengakui prestasinya? Setidaknya, Nisa ingin salah satu orang tuanya datang ketika ia mendapat penghargaan di sekolah. Namun, apa boleh buat, kali ini Nisa harus berdiri sendirian lagi.

"Selamat, ya, Prof!" seru Azka yang langsung menyalami Nisa yang baru saja turun dari panggung. Asih juga melakukan hal yang sama.

"Bisa nggak kalian biasa aja manggilnya? Nggak usah lebay, deh!" Nisa yang tampak marah langsung duduk di tengah-tengah mereka.

"Ih, gitu aja marah! Santai, Mbak Bro!" Azka menyentil sedikit bagian atas kerudung putih yang dikenakan Nisa. Dengan cepat perempuan itu menyingkirkan tangan Azka.

"Wow, gerakannya melebihi kecepatan cahaya!" Asih tertawa kecil sambil menutup mulutnya.

"Bisa, kan, nggak nyentuh gue?" Nisa memelotot ke arah Azka hingga membuat laki-laki itu sedikit ketakutan.

"Kalau plakatnya boleh?" Kali ini Azka hampir menyentuh plakat penghargaan yang terbuat dari kaca. Nisa memegangnya erat-erat.

"Nggak boleh juga." Tatapan Nisa makin tajam. Azka tak berani memperhatikannya lagi.

Acara kelulusan hari ini berlangsung lancar. Sebelum semua orang membubarkan diri kembali ke tempat masing-masing, Nisa sempat mendengar beberapa orang di belakangnya sedang membicarakan sesuatu. Hal itu membuat Nisa jadi penasaran.

"Eh, hari ini kan pengumuman seleksi jalur undangan!" seru seorang siswa laki-laki bernama Anwar.

"Oh, iya! Gue belum ngecek, nih," kata siswa berambut pendek dengan bando warna putih bernama Sinta.

"Cek bareng, yuk!" ajak siswa berambut panjang ponytail bernama Dewi.

"Kita ngecek juga, yuk, Nis!" Azka juga sempat mendengar percakapan mereka dan berniat ingin mengajak Nisa.

"Cie ... yang lagi deket sama Profesor Fisika!" goda Sinta.

"Cie ... yang cemburu!" Asih juga ikut-ikutan. Sinta mengerucutkan bibir karena kesal dengan Asih.

"Nisa, kan, pinter. Pasti diterima," timpal Dewi menyemangati.

"Jangan terlalu memuji! Gue nggak suka." Nisa memalingkan wajah dari teman-temannya. Entah kenapa hari ini dia merasa letih sekali, ingin segera pergi dari sini.

"Jangan pesimis gitu, dong! Ayo, semangat!" seru Anwar.

"Semangat!" Semua orang tampak begitu bersemangat, kecuali Nisa.

Selesai acara, masing-masing dari mereka meminta izin kepada orang tuanya agar diizinkan pulang lebih lambat. Lalu mereka menuju ke perpustakaan. Di sana ada tiga meja komputer yang tampak kosong. Kemudian mereka menggunakannya untuk mengecek situs web pengumuman seleksi jalur undangan seleksi masuk PTN.

"Yah, gagal!" keluh Azka.

"Coba cek yang lain!" Dewi makin penasaran.

Azka menggulir tetikus yang dipegangnya, meneliti setiap nomor dan nama peserta yang diketik.

"Alhamdulillah, gue keterima!" Dewi loncat-loncat kegirangan.

Mata Nisa langsung terbelalak. Ia segera mendekat ke arah Azka yang masih duduk di depan komputer. Hal itu membuat Azka deg-degan. Lelaki itu memang tak terbiasa di posisi sedekat ini dengan perempuan.

"Fakultas MIPA, jurusan Biologi, UGM?" Nisa masih tak percaya kalau Dewi semudah ini lolos seleksi PTN.

"Alhamdulilah, ya, Nis. Ternyata rezeki gue ada di Jogja." Dewi tersenyum riang sambil jingkrak-jingkrak di depan Nisa. Kemudian, Nisa menyuruh Azka agar mengecek miliknya juga.

Jurusan Fisika Teknik Undip, gagal? keluhnya dalam hati setelah ia mengecek sendiri nama dan nomor pesertanya.

Bahasa Jepang UGM juga gagal? Mata Nisa mulai berkaca-kaca. Tampaknya dia tak rela kalau harus gagal seleksi.

"Nggak apa-apa, Nis. Masih ada seleksi tertulis dua bulan lagi." Anwar mencoba menyemangati.

"Iya, gue tahu." Nisa menghela napas dan menahan air mata. Ia tak menyangka harus gagal di dua jurusan dan dua PTN favoritnya. Padahal ini adalah seleksi yang dinantikannya sejak dulu. Sejak dirinya duduk di kelas sepuluh.

***

Asih mengantar Nisa pulang ke rumah. Kebetulan tadi pagi mereka juga berangkat ke sekolah bersama-sama. Sebelum berlalu, Asih sempat menanyakan keadaan Nisa yang tampak lemas, berjalan sempoyongan seperti orang mau pingsan. Namun, Nisa mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Asih sangat mengkhawatirkan keadaannya hari ini.

Nisa memasuki rumah tanpa mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Ibunya yang berada di belakang sampai terkejut karena dikira ada maling yang masuk rumah. Ibu memperhatikan Nisa yang langsung menunjukkan ekspresi marah. Ibu sampai keheranan dengannya.

"Kalau pulang bilang salam, dong, Sayang!" Ibu memperingati.

"Assalamualaikum," ucap Nisa lirih.

"Walaikumsalam," balas Ibu. "Kok gitu salamnya? Yang bagus, dong!"

"Ibu udah tulikah?" desis Nisa kasar. Ia masih menenteng tasnya di depan pintu kamar.

"Nisa, nggak baik ngomong gitu. Kamu ini kenapa?" Ibu makin khawatir.

"Tuh, kan, pura-pura lupa. Nggak inget ini hari apa," gerutu Nisa.

"Iya, Ibu tahu. Hari ini hari kelulusan kamu." Raut wajah Ibu berubah menyesal. "Maaf, Ibu dan Bapak nggak bisa datang."

"Udah telat, acaranya udah selesai," jawabnya makin kasar.

"Baguslah kalau begitu." Ibu menghela napas.

"Bagus apanya? Bapak sama Ibu selalu bikin malu aku. Kenapa, sih kalian nggak pernah datang di acara penting begini? Aku sampai ngerasa kalau aku bukan anak kalian." Nisa kali ini meluapkan amarahnya.

"Nisa, kamu kok ngomong begitu?" Ibu hampir saja menjatuhkan lap yang dipegangnya.

"Atau mungkin, Ibu takut ditagih sama guru BK lagi?"

"Nisa!" Tiba-tiba Bapak datang dengan pakaian bengkelnya yang tampak lusuh. "Jaga bicara kamu!"

"Buat apa Bapak pulang? Nggak ada gunanya, acaranya udah selesai. Udah sana, cari uang biar Ibu bahagia!"

"Nisa!" Bapak berteriak kepada Nisa lagi. Ibu berusaha mencegahnya.

"Sudahlah, Pak! Dia, kan, baru pulang pasti capek."

"Iya, capek ngeladenin kalian berdua." Nisa langsung menutup pintu kamarnya kuat-kuat.

Tadinya Bapak ingin mengetuk pintu itu sekeras-kerasnya. Namun, beliau tak sampai hati ingin melakukannya karena di sini juga ada Ibu.

Nisa meletakkan plakat penghargaannya di meja belajar. Di sana juga ada beberapa plakat yang berjajar rapi. Tas dilemparkan begitu saja. Jilbab putih yang baru saja dilepas juga terlempar di sembarang tempat. Tombol kipas dinyalakan angka tiga. Ia merebahkan tubuhnya yang letih di atas kasur berseprai gambar anime Naruto.

Berkali-kali Nisa menghela napas, mengatur temponya agar berjalan normal. Namun, tiba-tiba saja air mata meluncur dari bola mata. Nisa tak dapat membendung perasaannya. Ia mulai merenungi diri sendiri.

Dasar orang tua nggak berguna! Apakah mereka nggak bangga dengan prestasi yang aku dapat selama ini? Lalu, apa gunanya aku belajar mati-matian, cuma dapat beasiswa, tapi nggak dapat perhatian dari mereka? Kenapa aku gagal masuk seleksi jalur undangan PTN? Kenapa? Kenapa?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top