꩜ 𖤘 ::┊Chapter 4O : ❛Has Filled His Empty Heart.❜

Telah mengisi hatinya yang kosong.
▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃

“Yo, Pak Tua.”

“Oh, kau datang lagi?”

Gojo melangkah masuk ke dalam ruang tamu kediaman rumah Ryuzaki. Mendudukkan diri pada sofa tepat di hadapan sang pria paru baya yang sedang menikmati seduhan teh.

“Jadi?” tanya orang tua itu.

“Para petinggi.” Gojo mengubah posisi duduk dengan agak mengangkangkan kaki.

“Mereka mau membunuh [Name]-chan?”

“Mereka tidak menyukai kehadiran gadis itu. Yah, ini bukan pertama kalinya mereka berulah. Jadi, bukan masalah besar untukku.”

“Kau gila? [Name]-chan bisa dalam bahaya! Ah, ini sebabnya aku tidak membiarkan anak itu kenalan dengan dunia penyihir.” Tangan Ryuzaki mengepal erat. Rasa khawatir pun menyerangnya dengan cepat. Ia tidak suka ini. Sebagai ayah, wajar dia khawatir berlebihan. Nyawa putri tersayangnya jadi taruhan. Tak ada yang bisa menjamin keselamatan [Name] untuk kemudian hari jika terus menetap dalam dunia penyihir. Seharusnya, ia menolak saat Yaga-sensei datang membicarakan ini.

“Heee.” Gojo merosotkan tubuh ke bawah. Menumpu kaki kanan di atas kaki kiri.

“Kau tak mempercayaiku untuk menjaga [Name]?”

“Huh?”

Gojo bersedekap dada. “Aku kuat. Jadi, kurasa itu cukup untuk menjaga [Name] tetap aman ‘kan?” katanya. Terdengar cukup dingin. Nada bangga pun terselip dalam alunan suaranya yang rendah. Menatap Ryuzaki dengan penuh percaya diri yang tinggi—meski tidak terlihat.

“Kau ini ... benar-benar tak mau melepasnya? Setelah dia diserang para petinggi itu?” tanya Ryuzaki. Membulatkan mata. Melihat ke arah Gojo dengan tatapan tajam. Ia tak percaya ini. Pria di hadapannya tetap mempertahankan putrinya kala telah hampir membahayakan nyawa anak itu. Dia tidak tahu. Entahlah. Mungkin saja dia yang terlalu berlebihan atau Gojo yang sangat nekat.

“Keputusan ada di tangan [Name] ‘kan? Pak Tua ... gadis itu lebih bahagia dibandingkan menjadi 'orang biasa', loh~ karena itu berarti kekuatannya berguna.” Walau [Name] tidak sadar, sih, batin Gojo.

“Aku belum bisa mempercayaimu.”

“Aku akui, waktu itu aku lengah.” Gojo memasang ekspresi seakan ini menyusahkan. Ia jadi harus jujur untuk meyakinkan pria di hadapannya ini. “Lagian, orang yang menganggu waktuku dengan [Name] saat itu kau ‘kan?” tanyanya.

“Aku memanggilnya memang karena ada perlu, tau?!”

“Yah, tapi setidaknya [Name] baik-baik saja. Berkatmu juga, gadis itu tidak pulang ke rumahnya. Kalau saja tidak ....” Gojo menyentuh dagu. Membayangkan jika saja [Name] pulang ke rumahnya ketika kutukan dilepas di sana atas perintah para orang tua, mungkin ... semua tidak akan berakhir dengan melemparkan ancaman ke para petinggi. “... Mungkin dia sudah meninggalkanku ....” Suara Gojo merendah di akhir.

“Kau bilang sesuatu?”

“Tidak ada!”

“Cih.” Ryuzaki memutar kedua bola matanya.

“Ah, selain itu ... ada yang mau aku katakan juga.”

“Apa?”

“[Name] harus tuna—”

“GAK BOLEH!”

“Serem.”

“TIDAK, TIDAK! KALIAN BARU MENJALIN HUBUNGAN SELAMA BEBERAPA MINGGU DAN KAU SUDAH MAU MEMASANGKAN CINCIN DI JARINYA?! HA! JANGAN BERCANDAA!”

“Heee? Memangnya kenapa, sih?” Gojo memonyongkan bibir.

“Kenapa kau mau melakukannya secepat ini, huh?! Kau saja masih terlihat tidak meyakinkan buat setia sama satu gadis.”

“Aku serius, loh~”

“Aku tidak yakin.”

“Percaya saja padaku.”

“Tidak!”

Gojo bungkam. Perlahan wajahnya berubah mendatar. Ini benar-benar menyusahkan. Namun, ia tetap harus lakukan jika ingin [Name] menjadi miliknya. Memasangkan benda mungil berbentuk lingkaran itu pada jari kiri gadisnya. Dengan tanda gadis itu sudah sepenuhnya adalah kepunyaan Gojo.

Merepotkan ..., batin si pria.

Bisa saja si surai putih melupakan keberadaan ayah [Name] dan melakukan semuanya dengan sesenang hatinya. Namun, hubungan seperti itu tidak akan ada artinya. Bagi ia ataupun [Name]. Ikatan itu hanya akan menghasilkan masalah juga kecanggungan keluarga. Dan Gojo mungkin saja sudah muak dengan keadaan itu. Sudah cukup dia rasakan kesendirian dalam keluarga dan beban berat menjadi pemimpin klan besar.

Ia melepas segala keegoisannya sebentar untuk mendatangi ayah [Name]. Hanya untuk sekarang. Tak apa. Sesekali melepas semua itu bukan masalah besar. Untuk mendapatkan sang gadis. Ia akan melakukannya.

Terdengar menggelikan, tapi itu yang ia lakukan sekarang.

“Aku benar-benar serius,” kata Gojo. Meyakinkan pak tua yang sedari tadi tak mau mendengarkannya.

Ryuzaki menghela napas. Kembali menatap sang surai putih. Menemukan raut wajah serius di sana. Tidak ada candaan ataupun ekspresi lainnya. Hanya ada kesungguhan. Yah, jarang dia melihat raut muka Gojo yang seperti sekarang.

Ryuzaki sudah melihat ekspresi putrinya belakangan ini. Gadis itu tampak makin ceria, bahkan sifat canggungnya menghilang. Binar matanya makin bercahaya dan senyumannya pun kian melebar setiap harinya. Ia tahu karena siapa gadis itu bisa merasa sebahagia itu. Karena pria di depannya ini. Ryuzaki yang sudah lama tidak melihat putrinya sesenang itu tentu saja tidak ingin merusaknya hanya karena perasaan egois semata yang tidak menyukai sifat Gojo. Apa ... ia bisa percaya? Kebahagiaan putrinya adalah yang paling penting untuknya. Kebahagiaan Yuu belakangan.

“... Baiklah.”

“Hm?” Gojo mengangkat sebelah alis.

“Aku percaya padamu.”

“Waah?”

“Dan aku tidak mau melihatnya tersakiti karenamu.”

“Yah, untuk masalah itu ... kau tahu? Hidupkan menyakitkan.”

“Kutarik perkataanku kalau kau melakukannya.”

“Kau ini serem juga, ya.” Gojo berdiri. Tangannya bergerak masuk ke dalam saku. “Ya sudah! Aku mau pergi dulu, bye-bye~”

“Oi, Gojo.” Lidah Ryuzaki terasa agak kaku setelah memanggil nama si surai putih.

“Apa?”

“Aku ingin tahu sesuatu. Apa ... yang kau suka dari [Name]-chan?”

“Hmmm ...?” Gojo mengusap dagu. Berpikir sejenak. Yang ia sukai dari [Name] ada banyak. Namun, hal yang berhasil membuatnya tertarik hingga mencapai titik ini adalah ....

“Ah ... dia bisa 'melihat'ku dengan baik,” jawab Gojo.

“... Begitu, ya.” Kekehan rendah Ryuzaki keluarkan. Sangat paham apa maksud Gojo.

“Kalau begitu, sampai jumpa~!”

“Uuh ....”

[Name] menyentuh kepala. Rasa pusing menyerangnya kala membuka kedua kelopak mata.

“Oh, kau sudah bangun.”

Si gadis menolehkan kepala. Mendapati Gojo di samping kanannya. Duduk dengan sandaran kursi yang dibalik ke depan. Bibir tipis itu menyunggingkan senyuman, mungkin juga melayangkan tatapan menghibur dari balik kacamata hitam.

“Oh, Satoru?”

“Yaa~ kau tidurnya lama juga, ya, [Name].”

Si gadis mengejapkan mata, lantas menyentuh keningnya menggunakan tangan kanan. “Kamu membuatku pingsan?” tanyanya saat menyadari sesuatu.

“Kau harus istirahat~”

[Name] memiringkan kepala seraya tersenyum. “Aku sudah cukup banyak istirahat, loh, Satoru,” jawabnya.

“Eeh? Masa' sih?” Gojo cemberut.

“Um! Kamu sendiri?” [Name] menyingkap selimut yang membungkus tubuh, lantas menurunkan kedua kaki dari atas ranjang. Duduk menghadap Gojo.

“Aku menghabiskan waktu untuk bersantai~”

“Oh, belakangan ini tidak sibuk?”

“Lumayan. Pekerjaanku menumpuk karena kuabaikan.” Gojo berdiri. Menyingkirkan kursi itu dari hadapannya.

Ia melangkah menghampiri [Name]. Berdiri menjulang tinggi di hadapan gadis yang kini mendongak ke atas untuk menatapnya balik. Tangan kanan Gojo bergerak menyentuh pipi sang gadis, kemudian dengan perlahan turun menyapu leher hingga berhenti di bahu. Meremas pundak kecil itu agak kuat.

“Satoru?” Tangan [Name] bergerak mencengkram pakaian Gojo di bagian perut. Tetap menatap pria yang kini memajukan tubuhnya hingga saling berhimpitan, lalu mendorong tubuhnya ke atas ranjang.

“Kau mau ap—”

Gojo mencengkeram kedua pergelangan tangan [Name] menggunakan satu tangan dan dibawa ke atas kepala sang gadis. Tangan kiri Gojo bergerak mengusap pinggang gadisnya naik turun dengan halus. Bibir tampak menyunggingkan senyuman miring yang menawan. Iris mata menatap fokus ke arah bibir pink alami yang menggoda. Selalu mengundang sisi lain yang membuatnya kadang tak tahan.

Si pria memajukan wajah. Mengikis jarak di antara dirinya dengan sang gadis. Menggesekkan hidung mancung itu ke pipi kanan [Name] seraya menghirup aroma vanilla yang menguar seenaknya hingga sampai ke penciuman tajam si pria. Lalu, berhenti tepat di depan benda kenyal yang cukup terbuka.

“Sato—”

Kedua bibir saling berpagut, dipimpin oleh sang pria yang sudah lihai. Si gadis hanya mengikuti permainannya saja. Berusaha mengimbangi lumatan-lumatan kecil itu seraya menahan geli dari dalam perut. Mengisap untuk merasakan bibirnya. Menggigit karena gemas dengan bentuk dan teksturnya.

Ciuman dilepas kala kehabisan asupan udara. Namun, si pria dengan gesit melanjutkan permainan. Bibirnya menyapu halus permukaan kulit mulus seputih salju itu, asal aroma vanilla itu berada. Mengendus dengan rakus. Mengisap ingin mencicipi rasanya. Menggigit meninggalkan bekas karena gemas. Hingga pada beberapa titik tanda kemerahan muncul di atas permukaan kulit sang gadis.

Suara napas yang saling beradu untuk menghirup udara yang paling cepat  mengalun hingga ke masing-masing pendengaran. Gojo menatap gadisnya yang terlihat agak berantakan karena ulahnya, membuat sang pria mengernyitkan alis. Ia ingin melanjutkan. Namun, ia tetap ingat batasan. Yah, logikanya masih berfungsi di saat diri nyaris terbuai.

“[Name].”

“Hm?”

“Tangan kirimu ... kemarikan.”

Si gadis mengejapkan mata juga agak memiringkan kepala ke samping. Melayangkan tatapan bertanya, tapi tidak melemparkan pertanyaan. Tangan kirinya terangkat ke arah Gojo dan dengan cepat digenggam oleh tangan besar pria itu.

Gojo membelakangi [Name]. Mengapit tangan kiri gadisnya di antara tangan dan ketiaknya. Berusaha menutupi dengan punggung besar agar gadis itu tidak melihat apa yang ia lakukan.

[Name] mengernyitkan kening sebentar. Melayangkan tatapan curiga seraya menaikkan satu alisnya. Berpikir, apa yang bayi besar ini lakukan? Si gadis ingin mengintip, tapi saat ia melakukan itu, Gojo dengan segera menggeser tubuhnya agar tidak ketahuan. Itu membuat [Name] pasrah saja dengan tingkah pria ini.

“Eh?”

[Name] merasakan sesuatu yang dingin menyentuh jari manisnya yang tak lama mengelilingi jarinya. Dingin. Itu membuatnya berpikir yang aneh-aneh. “Tunggu! Satoru! Apa yang sedang kam— eh?”

Gojo melepas tangannya. Tanpa menoleh ke arah si gadis yang kini membeku dengan mata yang fokus menatap ke arah jari yang telah tersemat cincin. Dengan tampang yang masih berusaha mencerna situasi, [Name] juga memiringkan kepalanya.

“Eeee ...?”

“Apa-apaan reaksimu itu, huh?”

“Ah, maaf.” [Name] menurunkan tangan kirinya.

Perasaan canggung datang menghampiri. [Name] yang masih berpikir dan Gojo yang bungkam seraya membelakangi sang gadis. Tidak ada percakapan. Hanya ada keheningan.

“Sato ... ru?”

“Apa?”

Aa? ... Kenapa suaranya kayak kesal gitu? [Name] mengusap tengkuk. Menggigit bibir bawah. “Cincin ini ....”

“Itu untukmu.”

“Aku tahu itu, tapi—”

“Aku sudah memasangkannya di jarimu. Jadi, kau tidak boleh menolak.”

“... Hm?” [Name] tersenyum kecil. Menatap punggung besar Gojo yang membelakanginya dengan tatapan menghibur. Sekilas, ia melihat telinga si pria memerah, membuatnya harus menahan tawa. Ia jadi tahu alasan Gojo bersikukuh dengan menyembunyikan apa yang ia lakukan beberapa detik lalu.

Kedua tangan bergerak melingkari leher sang pria dari belakang. Aura berbunga-bunga mengelilinginya. Kedua pipi merona agak merah. Tersenyum lebar hingga mata pun menyipit.

“Satoru,” panggil [Name].

“Apa?”

Si gadis memajukan wajah. Mendekatkan bibir ke arah telinga si pria yang masih memerah. Benda kenyal itu bergerak. Membisikkan dua kata. Balasan dari apa yang Gojo pernah katakan padanya kala itu.

“Aku tahu,” jawab sang pria. Mendongakkan kepala hingga ia bersandar pada bahu gadisnya.

“Aku hanya ingin mengatakannya.” [Name] mengedikkan bahu. “Tapi ... aku cukup terkejut kamu memberikan cincin ini padaku. Kamu ... serius?” tanyanya.

“Kau dan ayahmu sama, [Name]. Kau juga tidak percaya padaku?”

“Aku percaya. Hanya saja ... perasaan manusia berubah-ubah ‘kan? Maksudku, untuk sekarang aku hanya memikirkan saat-saat kita bersama. Untuk ke depannya aku tidak ada pikiran sama sekali. Makanya ... aku cukup terkejut kamu sudah berpikir sejauh ini.”

“Eeeh? Sebenarnya, aku juga main beli aja, sih. Terus daripada menganggur lebih baik aku memasangkannya ke jarimu sekarang.”

“Eh? Jadi ... kamu tidak mikirin apa pun?”

“Tidaakk~”

“Satoru ....”

“Simpan aja. Aku tahu ini terlalu cepat, tapi aku tidak peduli. Lagian meminta izin pada Ayahmu itu sulit.”

Dia sampai minta izin sama Ayah .... Pandangan sang gadis melembut. “Um, terima kasih, yaa.”

Gojo menoleh. Mendapati wajah gadisnya yang terlihat manis. Kedua pipi itu masih merona. Mata pun tertutup karena lengkungan tulus yang lebar. Membuat si pria bungkam selama beberapa saat dengan bibir yang agak terbuka.

Ketulusan sang gadis mengalahkan dirinya. Seperti sekarang. Dia 'diam' karena cinta. Tak bisa berkutik dan menolak kala perasaan itu muncul di dalam dirinya. Padahal, dulu ia menganggap perasaan itu adalah sesuatu yang terkutuk. Yang dapat merusak segalanya, tapi ... gadisnya ini mengajarkannya untuk melihat cinta dari dua sisi.

Cinta tumbuh dalam keadaan sulit itu berbahaya. Namun, di sisi lain dapat mengalahkan. Tak ada yang bisa menolak perasaan begitu saja. Jika ada, mungkin ... berakhir dengan penyesalan? Itu bagian yang buruk. Dia mengindari itu semua setelah kehilangan kawannya. Mungkin ia takut tersakiti? Kehilangan itu menyesakkan. Ia membiarkan perasaan dalam dirinya kosong dengan menggantinya lewat senyuman. Selama tak merasakan yang namanya kehilangan.

Semua rusak karena cinta.

Namun ... bagian terbaik dari perasaan itu adalah ... diterima. Kehangatan, kebahagiaan, dan semua hal yang tidak ia rasakan selama hidup di atas orang lain kini telah ia temukan. Ia tak akan menyangkal. Semuanya terasa lebih berwarna. Melalui gadis di hadapannya ini.

Seseorang yang telah mengisi hatinya yang kosong.

“[Name].”

“Iyaa?”

Gojo mendekat. Membisikkan satu kalimat. Yah, ia tidak pernah mengatakan ini pada orang lain karena menurutnya ia sendiri sudah cukup untuk melakukan semuanya. Namun, ia membuat pengecualian buat gadis di hadapannya ini. Karena ... dia merasa harus mengatakannya setelah semua yang terjadi.

“Terima kasih.”

.  *       ˚

·    ⋆

˚ ·        ⋆

·    .  ⋆ ·

.     .         *

·         ⋆

— End —
▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃

[2023 words]

Okeh, rasanya mendadak? Ya, maaf😭 Enggak membekas di hati? Aku tidak mengutamakan bagian itu😭🙏🏻

Aku udah tau cara gimana nulis cerita tanpa buru² dan udah tau cara mengatur adegan biar mereka saling memahami lalu mencintai. Terima kasih, aku seneng nulis buku ini. Buat buku baru ke depannya, bakalan lebih baik lagi dari buku yang ini. Aku buat buku ini untuk percobaan, karena ... Pdkt itu gak mudah ternyata, banyak tahap dan banyak yang membingungkan 🤣🤣

Padahal aku gak pernah pacaran, sumpah—

TERIMA KASIH JUGA UDAH SUPPORT SAMPAI TAHAP INI, AKU SAYANG SAMA KALIAN SEMUA😭😭❤️❤️💞💞💞

Ngomong-ngomong soal buku baru—

Iyaa, awal pendekatan mereka karena tertempel lem khorea👍🏻 [Gak boleh sebut merek] hwhwhwhw

Kita ketemu di sana, yaa👋🏻👋🏻

Love Regards.
Ann White Flo.
12 Januari 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top