❍ 𖤘 ::┊Chapter 3O : ❛Impressed.❜
Sang gadis pernah berkata bahwa ia memerlukan motivasi untuk membuatnya melakukan sesuatu yang baru. Kini, ia mendapatkan itu. Kekagumannya pada si surai putih.
﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋
“Ah ... Satoru.”
“Hm~?”
[Name] menggigit bibir bawah. Menatap layar ponsel kemudian melihat ke arah Gojo. Ia mendapati pria itu menaikkan sebelah alisnya ke atas. Si gadis tersenyum. “Itu ... Ayah mengirimiku sebuah pesan. Um ... dia memintaku untuk pulang ke rumah karena nenek sedang datang berkunjung,” ucapnya.
“Ha? Jadi, kau mau pergi meninggalkanku‽” Gojo memajukan wajahnya. Mengikis jarak di antaranya dengan si gadis. Membuat [Name] harus mencondongkan tubuhnya ke belakang agar kejadian beberapa saat lalu tidak terulang lagi atau dia akan benar-benar tinggal di tempat ini. Dikurung oleh Gojo.
“Maaf, Satoru. Aku tidak bisa menolak Ayah. Dia memaksaku. Apalagi ... nenekku baru berkunjung kembali setelah lama tinggal di luar negeri. Maaf, yaa?” [Name] menyatukan kedua tangan di depan dada. Memintanya secara baik-baik. Ia harus hati-hati bicara dengan Gojo. Terlebih, saat melihat pria itu mengerutkan kedua alisnya. Cemberut.
“Dasar pak tua pengganggu ...,” gumam Gojo.
Raut wajah [Name] melunak. “Kamu juga harus pergi menemui Yaga-sensei ‘kan?” katanya. Tangan kanan terangkat menyentuh sisi wajah Gojo. Mengelus pipinya dengan lembut. “Jangan membuatnya menunggu terlalu lama, loh.”
“Ya sudah, ayo!!” Gojo berdiri. Lantas, melangkah ke arah pintu keluar ruangannya. Disusul [Name] setelah gadis itu menyusun bantal-bantal yang jatuh di atas lantai.
“Satoru?” panggil [Name] menyembulkan kepala dari balik pintu. Menatap suasana luar. Benar-benar sunyi. Ada Gojo di sana. Berdiri di atas anak tangga terakhir seraya mendongak ke atas. Lantas, menoleh ke belakang.
“Ayooo, cepaatt!” ajaknya.
Ia melangkah duluan. Diikuti [Name] dari arah belakang seraya berlari kecil. Lalu, berhenti tepat di balik punggung Gojo. Mengikuti langkah kaki pria itu.
“[Name], kau pulang naik apa?” tanya Gojo. Tanpa menoleh.
“Oh, jalan kaki.”
“Huh?” Gojo menghentikan langkah kakinya. Disusul [Name] yang hampir saja menubruk punggung lebar si surai putih. Gadis itu mendongak menatap sang pria.
“Kenapa?” tanyanya.
“Malam-malam begini?” Gojo menolehkan kepala.
“Iya. Tak apa, kok. Aku sudah biasa pulang jam segini sendirian. Kamu lebih baik ke ruangan Yaga-sensei, ya?” kedua tangannya terangkat mendorong tubuh Gojo. Memutar arah sebaliknya.
“Bye-bye, Satoruuu!” [Name] berlari seraya melambai.
Gojo menatap kepergian [Name]. Cukup berat melepas gadis itu pulang seorang diri. Namun, melihat keyakinannya jika ia akan baik-baik saja pergi sendirian menghentikan niat Gojo untuk mengantar gadisnya pulang.
“Hmmm ....”
“Kenapa aku merasa khawatir, ya?” Gojo mengapit dagu. Mengernyitkan kening. Firasatnya cukup buruk dan ia tak menyukai ini. Terlebih, pikirannya berpusat pada gadisnya. Ia menatap ke arah di mana [Name] melangkah pergi selama beberapa saat. Lalu, menepuk tangannya sekali. Menghilang dari sana. Teleportasi ke tempat Yaga-sensei.
“Ah, kau sudah datang.”
Gojo menolehkan kepala. Menatap sang guru yang tengah menjahit boneka terkutuk. “Ada apa memanggilku?” tanyanya.
“Ada misi yang harus kau kerjakan.”
“Misi?” ucap Gojo seraya menaikkan sebelah alis. Mata menatap lurus ke arah gurunya. “Kau tidak membiarkanku untuk beristirahat dengan [Name], ya?” Kini keningnya mengernyit.
“Maaf kalau aku mengganggu waktumu, Satoru.”
“Tak masalah. Katakan, ke mana aku harus pergi menjalankan misi?” Gojo melangkah mendekat. Mendudukkan diri di samping Yaga-sensei.
“Ada kutukan yang mengamuk di hutan Meiji-jingu¹.”
“Kuil suci itu? Tingkat berapa?”
“Satu. Kau bisa mengatasinya ‘kan, Satoru?”
“Kau meragukanku?” Gojo berdiri. Memasukkan kedua tangan dalam saku. Lantas, melangkah menjauh. Namun, keningnya tiba-tiba mengernyit membuatnya berhenti melangkah. Kemudian, menoleh ke arah Yaga-sensei. “Tunggu. Tadi kau bilang hutan meiji-jingu?” tanyanya. Memastikan.
“Ah, kenapa kau harus memastikannya lagi? Kau tidak mendengar ucapanku?”
Gojo mengepalkan kedua tangannya. “Itu tempat yang akan dilewati [Name] setiap pulang ke rumah Ayahnya.” Suaranya merendah.
“... Lalu, di mana gadis itu sekarang, Satoru?”
“Dia sudah pergi. Cih, aku pergi sekarang.” Gojo menepuk tangannya.
“Hati-hati.”
“Hm?”
[Name] menghentikan langkah. Lantas, memalingkan wajah ke arah hutan gelap. Si gadis mengejab kala merasakan aura yang semakin berat di dalam hutan ini.
“Mungkin ada kutukan di sana?” tanya [Name]. Ia menyentuh dagu. “Di tempat suci seperti ini, ya? Apa tidak ada orang yang diminta membasmi kutukan di sini?” Si gadis melangkah masuk. Melihat-lihat pemandangan sekitar. Indah. Tidak heran banyak wisatawan luar yang mengunjungi tempat ini.
“Sayang sekali kalau tempat ini menjadi arena pertarungan penyihir,” ucap [Name]. Semakin dalam ia melangkahkan kaki memasuki hutan ini, aura kutukan pun juga kian terasa memberat. Cahaya mulai samar-samar. Hanya sinar rembulan yang berhasil menembus masuk lewat sela-sela dedaunan yang rimbun.
Bunyi gesekan terdengar dari arah belakang. Membuat [Name] menghentikan langkah kaki. Ia tahu. Di balik punggungnya. Ada roh kutukan tingkat tinggi yang memerhatikannya. [Name] perlahan menolehkan kepala. Si gadis bukan tipe petarung. Satu hal yang bisa ia lakukan sekarang adalah menghindari serangan. Meski bisa menyerang, [Name] tidak membawa senjata apa pun.
Ia melompat ke depan kala kutukan itu menyerangnya dari arah belakang. Membuatnya memutar tubuh ke depan menghadap roh kutukan yang terlihat menjijikan. Monster itu kembali menyerang, membuat [Name] terus meloncat mundur ke belakang. Saat tangan jorok itu terangkat hendak meninjunya, si gadis menghindar ke kiri, memutar tubuh–layaknya Ballerina– hingga sampai ke belakang tubuh kutukan.
[Name] punya refleks yang bagus. Dengan tubuh mungil yang lentur membuatnya bisa menghindar dengan cepat. Sayang sekali, dia tidak suka bela diri dan tidak punya motivasi untuk melakukan itu.
“Sekali kena serangannya aku akan mampus,” gumam [Name]. Kalem. Entahlah. Gadis ini cukup menakutkan. Tetap tenang, tidak merasa terganggu saat bahaya ada di hadapan. Layaknya air yang sudah tak mengalir. [Name] selalu berusaha untuk tidak larut dalam emosinya. Selalu berpikir dingin dan terbuka.
Ia tak masalah jika mampus sekalipun. Namun, mengingat ada seseorang yang menganggap keberadaannya sangat penting dan begitu dibutuhkan. Membuat [Name] tetap harus berjuang untuk keluar hidup-hidup dari tempat ini.
“[Namee]!!”
Eh? Si gadis menolehkan kepala. Lantas, pandangannya tertutupi sesuatu dengan cepat. Kain hitam. Aroma maskulin memenuhi indera penciuman. Ia tahu siapa ini. Gojo.
“Sa ... toru?” [Name] mengejabkan mata.
“Ah, kupikir aku terlambat, tapi melihatmu baik-baik saja kurasa situasi sekarang cukup terkendali, ya?”
[Name] membuka penutup mata yang menghalangi pandangan. Kemudian, langsung mendongak menatap ke arah Gojo yang kini tidak mengenakan penghalang apa pun. Menampilkan netranya yang indah. Membuat [Name] tanpa sadar menahan napas. Kagum. Namun, ia segera mengendalikan dirinya.
“Aku akan menghabisi roh kutukan itu. Kau tunggu di sini. Jangan ke mana-mana. Ah, benar juga. Mungkin dengan melihatku menebar pesona bisa membuatmu termotivasi belajar bertarung.” Gojo mengapit dagu. Lantas, mengelusi puncak kepala [Name].
“Hati-hati,” ucap sang gadis.
Gojo menyunggingkan senyum. “Bye-bye~~!!” balasnya sembari menyerang kutukan.
[Name] menyaksikan dari jauh. Bagaimana pria itu mempermainkan kutukan. Menyerang dan menghindari serangan. Dengan kedua tangannya yang sudah terlatih. Meninju dan menangkis. Kemudian, berakhir dengan lepasnya kekuatan besar milik Gojo.
“Murasaki.”
[Name] mengejab melihat pemandangan itu. Mulutnya agak terbuka. Kagum.
“YEEY! SATU KUTUKAN MATI!”
Si gadis melangkah menghampiri Gojo yang tampak puas. Mungkin sensasi lepasnya kekuatannya masih ia rasakan.
“Kamu baik-baik saja?” tanya [Name]. Ia tahu ini pertanyaan tidak masuk akal. Menanyakan keadaan pada orang yang terkuat. Namun, ia tidak peduli. Gojo juga manusia.
“Aku baik-baik saja~ kau bagaimana, [Name]?”
“Um, gak papa, kok!” Tangannya terangkat memberikan kain hitam milik Gojo. Memerhatikan dalam diam saat pria itu memasang penutup matanya kembali. Padahal, dia lebih tampan tanpa penutup mata ... ah, benar juga. Dia tidak bisa melakukan itu, batin [Name].
“Sudah ‘kan? Ayo, pulang, [Name]. Kali ini aku akan mengantarmu sampai ke rumah pak tua.”
“Eh, gak papa, nih? Nanti Ayah kembali meneriakimu lagi ....”
“Tidak apa-apa. Santai saja.” Gojo melangkah duluan. Meninggalkan [Name] di belakang.
Gadis itu menatap punggung lebar Gojo. Lantas, ia menggigit bibir bawah. Mempertimbangkan sesuatu, setelah melihat cara Gojo menghabisi kutukan itu.
“[Namee]? Ayoo!”
“Ah, iya!”
.
.
.
✎﹏ Note ::
¹Meiji-jingu : kuil suci di pusat Metropolis [Tokyo]. Tempat wisata terkenal, merupakan kuil yang didedikasikan untuk Kaisar Meiji [1867-1912] dan permaisurinya yang sekarang adalah salah satu tempat wisata terkenal.
﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋
HAPPY BIRTHDAY OUR SWEETIE SATORU!!!
AAAAAAAAA KAWAIIII😭😭😭
Love Regards.
Ann White.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top