ꗃ 𖤘 ::┊Chapter 18 : ❛Her Story.❜
┈┈┈ ੈ 𝓐𝓷𝓷 𝓦𝓱𝓲𝓽𝓮 ੈ ┈┈┈
Perasaan manusia itu berubah-ubah. Perasaan yang awalnya hanya pertemanan. Kini ... mulai tertarik saat tahu siapa diri sang gadis.
· · ────── ·𖥸· ─────── · ·
[Name] mengusap kedua lengan. Wajahnya memerah. Netra bulat keabuan itu berkaca-kaca. Pandangannya berubah pilu. Ia menggigit bibir bawah yang sedikit bergetar. Gojo yang duduk di sebelahnya sedang memandang lurus ke depan. Ia bungkam. Kali ini, sekali aja. Ia akan mendengarkan cerita [Name] tentang dirinya sendiri dengan cukup serius.
“B-biola itu ... hadiah dari ibuku ... saat umur sembilan tahun.” Suara sang gadis terdengar menahan jeritan tangis. Memilukan. Ia menelan ludah dengan susah payah. Lalu mengatur napas yang agak sedikit sesak.
“... Aku membawanya kemari hari ini untuk meminjamkannya ke anak-anak klub musik karena biola yang disediakan sekolah kurang, tapi ....” Ia menggigit bibir bawahnya. Napasnya tersendat. Pandangannya mulai kabur. Perasaan sesak kembali mendatangi. Memenuhi dadanya. Sakit. Menyedihkan. Bayangan saat ia berumur delapan tahun terlintas. Bersamaan dengan senyuman lebar sang ibu yang memberikannya hadiah.
[Name] senang ‘kan~!
Tubuh [Name] bergetar. Perlahan, air mata jatuh dari ujung kelopak mata. Yang berangsur menjadi deras hingga sulit untuk dihentikan.
Gojo menoleh. Mengamati dalam diam sang gadis yang kini tersengut-sengut. Wajah si pria mendatar. Tidak menunjukkan ekspresi yang berarti. Namun, dari balik penutup mata. Kelopaknya agak menyipit, tatapannya juga berubah sendu meski ia mengernyitkan kening.
Ini mungkin berlebihan di mata orang lain. Hanya karena satu biola yang banyak terpajang di toko-toko, si gadis sampai menangis saat miliknya hancur, tapi bukan itu masalahnya. Hadiah itu adalah kado terakhir dari ibunya. Wanita yang tahu [Name] menginginkan alat musik itu saat mereka jalan-jalan keluar dan tak sengaja melewati toko musik. Itu berharga. Pemberinya berharga. Peninggalan yang ingin ia rawat sampai kapanpun. Namun, sekarang telah hancur.
Gojo menutup matanya. [Name] juga punya kesedihan sendiri dan ia menjadi orang yang mendengarnya. Gadis itu menahan perasaannya sendiri agar kedua anak muridnya tidak merasa bersalah dan berhenti bertengkar. Padahal, dia tahu menahan emosi itu berat, tapi tetap melakukannya. Tindakan yang merugikan dirinya sendiri. Bodoh dan terlalu mementingkan orang lain.
Namun, sifatnya yang seperti ini yang membuatnya benar-benar menjadi seorang manusia. Gojo menarik sudut bibir naik ke atas. Mulai ... tertarik.
Di luar sana. Di masa sekarang. Orang seperti [Name] sangat jarang ditemui. Walaupun ada banyak. Mereka tidak akan dihargai dan menjadi korban kejahatan orang yang sebetulnya sangat bodoh. Memanfaatkan kebaikan hati orang lain. Bentukan yang seperti itu sebenarnya lebih pantas disebut sampah daripada manusia. Namun, sebagian dari para orang bodoh itu juga mungkin dulunya adalah korban, tapi melakukan apa yang penindasnya perbuat dulu membuat mereka tidak ada bedanya dengan para orang jahat.
Di sisi lain. Di balik dinding dari tempat Gojo dan [Name] duduk. Sosok remaja pria bertubuh pendek dan berambut mencolok berdiri di sana. Kenma. Ia membuang nafas. Niat awal ia ke sini adalah untuk mencari ketenangan, bolos dari jam pelajaran dan main game sendirian. Namun, ia malah mendapatkan sosok gurunya yang periang ini hancur. Menangis. Bersama dengan seorang pria–Gojo– yang tidak dikenal Kenma.
“Aku pergi saja, deh,” gumam Kenma. Lalu beranjak dari sana.
“[Name]?”
Si gadis berhenti menangis. Meski sesenggukan. Matanya sedikit membengkak. Perlahan, ia menoleh ke arah Gojo. “Iya?” tanyanya.
“Kau ingin tahu dari mana aku mendapatkan alamat rumahmu waktu itu~?” Gojo tersenyum. Keceriaan terdengar dalam nadanya.
“Eh? Kamu mau menceritakannya?”
“Yah~ kalau gak mau aku tidak akan bilang, sih. Ternyata menangis membuatmu gagal fokus, ya.” Gojo langsung cemberut.
[Name] tertawa kecil. Lantas ia meluruskan kedua kakinya. Ia menatap Gojo. Tatapannya perlahan berubah sedikit berbinar. Kelopak matanya pun masih basah. Ia tersenyum dengan wajah yang semakin melunak. “Jadi? Dari mana kamu tahu alamat rumahku?” tanyanya.
“Dari Ayahmu~!!”
“Eh? Ayah yang memberikannya? Serius?” [Name] menahan tawa.
“Hmm ... dia sempat meneriakiku dulu, sih. Dan mengomel tentang ini dan itu. Lalu pada akhirnya tetap memberikan alamat rumahmu padaku. Dasar tidak jelas! Mungkin sifat tidak jelasmu itu berasal dari Ayahmu, ya, [Name]~” ucapnya seraya tersenyum miring.
“Iya ... kurasa kamu benar. Ayahku memang rada-rada.” [Name] menganggukkan kepalanya.
“He?”
“Hm?”
Mereka saling menatap satu sama lain selama beberapa saat.
“... Apa, sih,” ucap Gojo cuek. Disusul tawa kecil dari [Name]. Pandangan mata menatap ke arah Gojo yang masih cemberut. Namun, tak lama setelah itu. Senyuman terbentuk pada wajahnya yang tampan. Sebuah lengkungan yang terlihat lebih tulus dari yang biasa ia tunjukkan.
Netra hitam keabuan milik sang gadis melebar. Bersamaan dengan ia menahan nafas. Kedua pipinya merona. Dengan degup jantung yang memenuhi pendengaran. [Name] membuang nafas. Ia mengejabkan mata. Menetralisir dirinya sendiri.
Dia melihat senyuman tulus yang jarang si surai putih ukirkan pada wajahnya. Bukan senyum mengejek, seringaian, bangga pada dirinya sendiri dan palsu. Ini asli, berasal jauh dari dalam dirinya sendiri.
“Hm? [Name]—kenapa dengan wajahmu yang memerah itu, huh?”
“Ah ... tidak ada, kok! Oh iya. Aku sekarang ingin pulang. Mau mampir ke rumahku?”
“Heee, boleh, sih.”
[Name] berdiri. Kemudian mendekat ke arah Gojo dan menggenggam satu tangan pria itu. Menariknya untuk berdiri. “Aku akan memasakkan makanan untukmu~”
“Yang manis, ya!!”
“Okeeh!” [Name] mendorong tubuh Gojo dari belakang.
Mereka berjalan di koridor sekolah yang cukup sepi. Mungkin anak-anak murid sudah masuk jam pembelajaran mereka. [Name] perlahan mengangkat tangannya dari punggung Gojo. Langkahnya mulai melambat. Membuat jarak yang cukup jauh di antara dia dengan si surai putih.
“Semoga Megumi-chan tidak marah dan mencariku,” ujar Gojo tetap berjalan.
[Name] menyentuh dadanya. Merasakan debaran jantung yang masih berpacu kencang. Wajahnya pun belum sepenuhnya kembali normal. Iris indah miliknya bergetar juga berbahaya. Kemudian, memandangi Gojo yang kini memalingkan wajah ke arahnya.
“Kau kenapa berhenti? Ayo, jalan!” pintanya dengan suara yang cukup keras.
“Ah, iya!”
Perasaan manusia itu berubah-ubah. [Name] menolong Gojo agar bisa keluar dari kesedihannya karena keadaan mereka yang sama. Namun, perasaan lain mulai tumbuh dalam dirinya.
· · ────── ·𖥸· ─────── · ·
... Aku nangis, sih, nulis ini.
┈┈┈ ੈ 𝓐𝓷𝓷 𝓦𝓱𝓲𝓽𝓮 ੈ ┈┈┈
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top