Episode 2

Bisa dibilang, kejadian hari ini benar-benar gila. Bagaimana tidak. Aku seperti dimainkan oleh takdir. Mendatangkan sosok nenek-nenek itu, kemudian merubah diriku menjadi pemuda aneh yang bahkan disebut-sebut sebagai pemimpin colony penyihir. Ini gila, benar-benar gila. Harusnya ini menjadi hari ulang tahunku yang istimewa. Bukan malah menjadi hari sialku. Hari yang membuat kehidupanku berubah selamanya, karena aku yakin akan ada hal-hal yang tak terduga setelah ini.
Aku menghabiskan sisa jam pelajaran di UKS, sendirian. Hendri kembali ke kelas setelah mendengar suara bel berbunyi. Awalnya ia meminta izin untuk menemaniku saja. Tapi aku menolak. Aku mengusirnya agar ia kembali ke kelas dan melanjutkan pelajaran terakhir.
Suasana di sini benar-benar senyap dan sunyi. Aroma obat dan desinfektan tercium hampir di seluruh ruangan berukuran 8×6 meter ini. Dengan beberapa ranjang yang tak berpenghuni dan tirai berwarna hijau yang sengaja dibiarkan terbuka. Peralatan di sini lengkap, seperti : obat-obatan, alat penimbang berat badan, pengukur tinggi badan, tensimeter, dll.
Kepalaku masih sedikit pusing dan berat, tapi kupaksakan untuk duduk dan bersandar di tembok. Mataku terus manatap takjub ke arah tatoku yang berwarna biru dan kilauannya tampak bergerak. Belum lagi tato lain di tubuhku. Kalau boleh kuakui, semua tato itu memang indah. Sayangnya tak bisa dinikmati oleh semua orang.

Aku masih bertanya-tanya, bagaimana bisa hal ini terjadi padaku? Aku yakin, orang tuaku pasti menyembunyikan rahasia besar dariku. Aku jadi tak sabar untuk menanyakan beberapa pertanyaan kepada mereka sepulang sekolah nanti.
Tiba-tiba pintu terbuka, aku menoleh secara spontan. Terlihat Bu Ani --wali kelasku-- melewati pintu, dan di belakangnya ada papa dan mama yang terlihat khawatir.
"Ben! Kau baik-baik saja?" Mama langsung berlari ke arahku, lalu merengkuh pipiku. Memangnya aku habis berkelahi apa? Ia bahkan tampak mencari-cari lebam di mukaku.
"Ben masih hidup kok, Mah," jawabku.
"Ini tanganmu kenapa? Kau berkelahi, kan?" Mama mengangkat tanganku yang berbalut perban.
"Gak papa kok, Ma. Cuman lecet dikit dan aku nggak berkelahi. Aku cuman kesurupan tadi." Jawaban macam apa itu?
"Benar, Bu?" tanya papa memastikan kepada Bu Ani.
"Entahlah. Tadi Hendri yang menemukan Ben di kamar mandi sudah pingsan dengan luka di tangannya."
"Kau benar-benar kesurupan?" tanya papa yang bisa-bisanya percaya dengan omong kosongku.
"Nggak kok, Pa. Ben cuma bercanda."
"Kalau iya, nanti papa bawa kamu ke Ustadz Ali yang tinggal di dekat rumah kita. Denger-denger, dia bisa nyembuhin orang kesurupan."
"Enggak, Pa. Ben tadi bercanda," jelasku lalu tersenyum memperlihatkan gigi-gigiku yang rapi.
"Kita pulang, ya?" ujar papa. Dalam hati, aku benar-benar bahagia saat mereka mengajakku pulang.
"Emangnya boleh?"
"Boleh, papa udah bilang sama Bu Ani. Ya kan, Bu?"
"Iya, saya rasa Ben memang kurang sehat. Jadi lebih baik istirahat di rumah saja," ucapnya.
Akhirnya ... kesunyian ini berakhir juga.
Papa menyetir dengan kecepatan sedang, membawa kami menuju rumah yang jaraknya tak terlalu jauh. Mereka tak membahas apapun di dalam mobil. Hening. Hingga kuputuskan untuk memutar musik melalui spotify agar bisa sedikit mengurangi bosan.
"Kau ada masalah apa tadi, Ben?" tanya papa.
Aku melepaskan salah satu headset pada telingaku agar bisa berkomunikasi dengan jelas dengan mama dan papa.
"Mama tahu perihal colony ischyrí?" Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Apa itu?" Mama menoleh ke arahku.
"Mama liat nggak, tato di tangan Ben?" Aku menunjukan lengan kananku kepada mama.
"Tato apa? Jangan ngawur deh," katanya.
"Pah, Papa bisa liat, kan ... tatonya?" Kali ini aku menanyakan kepada papa yang melirik melalui kaca spion.
"Tato apa, Ben? Lagipula papa nggak bakal ijinin kamu buat bikin tato. Atau kamu bakal papa coret dari KK kalo sampe aneh-aneh bikin tato," ujar papa.
"Pah, Ma ... Ben tanya serius. Harusnya kalian bisa liat tato Ben."
"Kurasa kamu memang perlu istirahat, Ben. Oh ya, tadi di sekolah, kamu nggak minum yang aneh-aneh kan?" tanya mama.
"Lupakan!" kataku membuka pintu mobil begitu papa menghentikan laju kendaraan. Aku membanting keras pintu mobil lalu berjalan ke depan. Membuka pintu yang ternyata masih terkunci. Sial!
"Ngapain buru-buru? Orang belum dibuka juga." Papa meledekku, sementara aku masih kesal pada mereka dan memilih mengabaikannya. Begitu pintu terbuka aku langsung berlari ke lantai dua dan menuju kamar.
Aku berbaring di ranjang. Bayangan-bayangan kejadian tadi masih terus berputar di kepalaku melebur menjadi satu bersama pertanyaan-pertanyaan yang entah sampai kapan bisa terjawab. Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Kenapa semua orang malah menganggapku aneh? Apa aku sudah gila?
Hari menjelang sore, aku baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang masih melingkar di pinggangku.
Aku benar-benar kaget saat melihat seorang wanita tengah duduk di ranjang. Refleks aku langsung menutupi bagian dadaku dengan kedua tangan yang kusilangkan.
Gadis itu menatapku intens. Rambutnya panjang, berwarna hitam dan dibiarkan terurai tanpa diikat. Gaya berpakaiannya gotik dengan riasan eye shadow berwarna hitam dan lipstik merah merekah yang menghiasi bibirnya. Ia juga memakai jaket kulit dan pakaian serba hitam.
"Kau siapa?" tanyaku.
"Oh, perkenalkan. Aku Shena." Ia berdiri lalu melangkah ke arahku dan mengulurkan tangan ingin berkenalan.
"Kenapa kau di kamarku?" tanyaku spontan, dan mengacuhkan uluran tangannya.
"Tatomu benar-benar keren, Ben," ucapnya mengagumi lalu mendekat hendak menyentuh bahuku. Spontan aku langsung menepis tangannya sebelum sampai di kulitku.
Apa dia gila? Dia malah mengagumi tatoku. Dan tunggu, dia bisa melihat tato dan tahu namaku?
"Bagaimana bisa kau melihatnya?" tanyaku memastikan.
Ia memutar bola mata. "Tentu saja aku bisa. Kita sama."
Syukurlah, aku tidak jadi gila.
"Ma ... maksudmu, kau juga bagian dari colony ischyrí?"
"Tentu. Itulah kenapa aku ke sini," jawabnya santai.
"Tapi, tak seharusnya kau tiba-tiba ada di kamarku, Nona." Aku melangkah ke arah lemari lalu mengambil sebuah kaos hitam berlengan panjang kemudian memakainya.
"Kenapa pakai kaos? Aku kan jadi nggak bisa lihat tatomu."
"Cewek mesum!"
"Tatomu, bodoh. Bukan tubuhmu."
Lihat, sekarang dia malah mengataiku bodoh.
"Tato ini berada di tubuhku, okay. Kalau bukan karena tubuh atletisku aku yakin kau tak akan mau memandanginya lama-lama."
Gadis itu hanya tersenyum, kemudian kembali duduk di ranjangku.
"Kamarmu nyaman, Ben," katanya tak tahu malu. Dia manusia atau bukan, sih?
"Okay, karena kau sudah di sini aku punya banyak pertanyaan untukmu." Aku mendekat ke arahnya. Masih dengan handuk yang belum kuganti celana karena ... mana mungkin aku memakai celana di depannya.
"Apa?"
"Jelaskan semua yang kau tau tentang colony ischyrí dan kenapa orang tuaku tak bisa melihat perubahanku?"
"Mereka bukan orang tua kandungmu."
"Apa? Kau gila!" Aku hampir terlonjak mendengar ucapannya barusan.
"Terserah, kalau kau tak percaya."
"Mana mungkin mereka bukan orang tua kandungku. Jelas-jelas mereka merawatku dari kecil. Aku punya fotoku saat kecil." Aku mengelak.
"Mereka mengadopsimu, Ben. Orang tua kandungmu masih menjadi tawanan di kastil Myslyvetsʹ."
"Bagaimana bisa?"
"Tujuh belas tahun yang lalu, rumahmu diserang para Myslyvetsʹ. Pak Beni berhasil meloloskanmu pergi dari rumah waktu itu. Dia adalah seorang kepala pengurus panti asuhan milik orang tuamu."
"Pak Beni juga bagian dari colony ischyrí?"
"Ya, dan demi menjagamu dari para Myslyvets' akhirnya ia memutuskan untuk membiarkanmu diadopsi oleh keluarga yang memang berniat mengadopsi salah satu anak dari panti itu, dan sejak saat itu keberadaanmu sulit tercium oleh para Myslyvets', kau aman."
"Kau benar-benar pandai mendongeng," ucapku.
"Terserah. Oh ya, jangan salahkan aku jika nanti para Myslyvets' mencarimu." Ia beranjak dari ranjang, kemudian berjalan menuju jendela. "Mereka tak segan-segan membunuhmu. Apalagi kau baru memiliki kekuatan," katanya.
"Membunuhku?"
"Ya," ujarnya lalu melompat dari jendela tanpa ragu.
"Tunggu!"
"Ada apa lagi?" Ia menoleh ke atas.
"Kurasa, aku butuh bantuanmu."
"Just call me." Ia tersenyum menyeringai lalu pergi.
"Memanggil namamu? Berapa kali?" Aku berteriak.
"Telpon, bodoh! Nomorku sudah ada di ponselmu," ucapnya lalu berlari pergi.
Benar-benar gadis yang aneh. Aku meraih ponselku yang kuletakan di meja lalu mengetikan nama gadis itu. Benar-benar ada. Bagaimana dia bisa membuka sandi ponselku?
Sebuah pesan baru saja masuk, yang langsung bisa terbaca pada bagian notifikasi pop up.
"Tunggu aku di sekolahmu. Kita akan memulai petualangan besok. Mengumpulkan para ischyrí."
Aku tak membalasnya. Masih berusaha memproses seluruh informasi yang baru saja masuk di otakku.
***
Malam menjelang, aku masih mengurung diri di kamar, tak makan atau minum apapun. Aku masih memikirkan ucapan gadis gila tadi sore. Bagaimana bisa dia mengarang cerita itu? Tapi kalau dipikir-pikir, itu bisa saja terjadi. Mengingat orang tuaku tak bisa melihat tatoku yang hanya bisa dilihat oleh keturunan colony ischyrí. Lihatlah, sekarang aku bahkan sudah percaya dengan semua omong kosong itu. Aku percaya jika aku bukanlah manusia biasa dan gilanya, aku adalah salah satu keturunan keluarga penyihir.
Ngomong-ngomong, apa yang bisa kulakukan dengan kekuatan ini?
Aku beranjak dari meja belajar, meninggalkan buku sketsaku yang hanya berisi coretan-coretan tak jelas lalu berbaring di ranjang, menatap langit-langit dan memikirkan hal gila.
Apa aku bisa terbang dengan kekuatanku?
Konsentrasiku terfokus pada langit-langit lalu mengangkat tangan di udara. Berpura-pura bisa menyentuh langit-langit kamar yang anehnya semakin aku berhayal, tubuhku terasa terangkat dan langit-langit menjadi semakin dekat. Ini benar-benar aneh. Aku menoleh ke samping dan mendapati tubuhku melayang. Posisiku tubuhku lurus. Seperti masih menempel pada tempat tidur. Jantungku berdetak kencang. Aku panik.
Bagaimana caraku turun?
Menit-menit berlalu, keringat dingin keluar dari pori-pori kulit yang membuat bajuku basah karenanya. Aku menutup mata dan berharap sudah berada di atas ranjang lagi.
Satu,
Dua,
Tiga,
Aku merasakan kasur telah kembali menempel di tubuhku. Membuka mata, menoleh ke samping dan terlihat Hendri yang menatapku heran, tepatnya ... takut.
"Hendri!! Aku ...."
"Ben, kau ... kau bisa ...." sebelum ia menyelesaikan ucapannya kesadarannya hilang.
***
Cerita ini diikut sertakan dalam event yang diselenggarakan oleh
-----
AUTHOR NOTE :
Hey hey.... gimana kabarnya? Semoga kalian tetap sehat selalu yahh ...
Bagaimana menurut kalian tentang bab ini?
Semoga suka ya :)
Oh ya, jangan lupa tinggalkan komen dan vote sebagai dukungan untuk penulis.
Salam sayang,
❤
Vee corvield
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top