Episode 1

Suara riuh murid-murid di kelas membuatku memutuskan untuk menyalakan headset yang memiliki peredam dengan suara lumayan tinggi. Memutar lagu milik Secondhead Serenade dengan judul Fall For You yang merupakan lagu favoritku dan Malia. Aku menyenderkan kepala di atas meja dengan lengan sebagai alasnya, lalu menutup mata.

Alunan musik terdengar indah. Lirik lagu dan nadanya seketika meresap ke otak dan membawaku ke sebuah proyeksi yang menampilkan galaksi, tetapi dengan titik-titik bintang yang naik, lalu jatuh tergantung tempo musik. Suara riuh siswa lain tak lagi terdengar, hanya musik indah yang terdengar saat ini.

"Ben!" terdengar seseorang memanggilku. Aku membuka mata dan melihat Malia berada tepat di depanku, menatap lekat lalu tersenyum memperlihatkan lesung pipitnya yang manis.

"Malia? Kenapa kamu di sini?" tanyaku. Aku yakin, jika tadi pagi dia memberitahu kalau dia tak masuk karena harus pergi mengantar ibunya ke dokter. Lalu, bagaimana bisa dia ada di sini?

"Ada sesuatu yang mau aku omongin sama kamu," ujarnya lembut kemudian menarik tanganku ke luar ruangan. Ia membawaku ke sebuah taman, kemudian berhenti tepat di bawah pohon rindang.

"Kamu kangen yah, sama aku?" tanyaku menggodanya.

Malia mendongak, menatapku intens kemudian melepaskan genggamannya. Sepersekian detik kemudian, tiba-tiba wajahnya berubah semakin keriput begitu juga tubuhnya. Rambut yang tadinya hitam kini memutih. Pakaian sekolahnya juga berubah menjadi hitam dan panjang. Tubuhku gemetar. Rasa takut seketika menjalar ke seluruh tubuh akibat pemandangan mengerikan yang baru saja kusaksikan.

"Ma ... Malia ... kau." Suaraku tergagap. Mundur beberapa langkah sembari menunjuk wajahnya dengan tangan gemetaran.

Belum sempat aku memutar tubuh dan berlari, tiba-tiba tubuhku kaku. Tak bisa digerakkan sedikitpun, meskipun telah mencoba sekuat tenaga. Mulutku kelu, tak bisa mengeluarkan suara barang sedikitpun. Apa yang terjadi padaku? Dan siapa nenek-nenek itu?

"Ben Ayhner! Usiamu sudah memenuhi untuk mengemban tugas keluarga kita. Kau adalah generasi ke-9 di keluarga yang nantinya memiliki kekuatan paling kuat," ucapnya tiba-tiba. Suaranya parau layaknya nenek-nenek biasa yang berumur 90 tahunan. Matanya menatapku lalu mendekat, memegang pipiku lalu mengelusnya. Aku sangat ingin menghindar dari sentuhannya tapi tak ada yang dapat dilakukan. Jangankan kabur, bergerak barang satu milimeter saja tak bisa.

Apa maksud perkataanya? Dan mengapa dia harus membungkamku?

"Dengarkan ucapanku baik-baik!" katanya lalu menjauh satu meter dariku. "Kau adalah salah satu keturunan Colony Ischyrí.  Salah satu colony penyihir yang sudah ada sejak dahulu kala. Di Indonesia, ada 6 orang anggota Colony yang seusia denganmu." Ia menjelaskan sambil sesekali berjalan.

"Dan tugasmu adalah menyatukan mereka semua untuk melawan para Myslyvetsʹ yang berambisi memusnahkan colony kita." Apa maksudnya kata 'tugasmu?' Bagaimana bisa dia memberiku tugas begitu saja padaku, bahkan aku sama sekali tak mengenalnya.

"Kau adalah leader, Ben. Kau yang akan menjadi pemimpin mereka dan kau tak bisa menolak takdirmu. Kau dan keenam anak lain adalah yang terpilih dari sekian banyak keturunan Ischyrí. Dan kalian, adalah yang terpilih dengan dianugrahi kekuatan." Anugrah apanya? Dasar nenek gila!

"Kalian akan kuat jika bersatu. Batasmu mengumpulkan mereka adalah sampai bulan purnama darah. Di malam itu para Myslyvetsʹ akan menggila dan membantai habis-habisan para Ischyrí yang sendirian. Nasib Colony Ischyrí ada di tanganmu Ben," ujarnya.

Aku membuka mata. Melihat sekeliling dan mendapagi diriku di dalam kelas, masih dengan posisi tertidur, dan suara musik yang berada di beberapa detik setelah barusan aku menutup mata. Aku melepaskan earphone dan melihat ke sekeliling. Semua murid tak bergerak sedikitpun. Bahkan Rico yang tengah menenggak minuman, terhenti aliran airnya di udara.

Apa yang terjadi di sini?

Aku merasakan sebuah angin besar menerpa tubuh lalu menghempaskanku mundur, tak terlalu keras tetapi begitu kuat hingga membuat bangku-bangku yang ada di dekatku ikut terbawa mundur. Aku menoleh ke arah pintu. Terlihat nenek yang tadi ada di mimpiku tampak tersenyum dan dengan tiba-tiba, ia berada di depanku.

Aku hampir terlonjak karena kaget. Ia menatapku dengan tatapan menyeramkan, rambutnya berkelabat diterpa angin yang entah berasal dari mana karena aku yakin seratus persen jika seluruh jendela terkunci.

Aku benar-benar ketakutan saat ini, apalagi matanya yang tiba-tiba berkilau keemasan satu detik lalu berubah menjadi hitam legam, berikut bola matanya. Aku benar-benar terpojok. Berdiri di hadapannya. Tak bisa mundur karena hanya ada tembok di belakangku.

Tiba-tiba ia menyentuh lenganku, lalu otot di tanganku menegang.  Mengalirkan sesuatu yang aneh hingga akhirnya mengeluarkan cahaya yang sangat terang disertai rasa sakit yang amat menyiksa. Awalnya aku diam menahannya, tetapi semakin ditahan, rasa sakitnya semakin menjadi-jadi. Aku menjerit kemudian menutup mata akibat rasa sakit di tangan yang kini telah menyebar ke seluruh tubuh.

"Ben!!" Aku membuka mata. Di depanku ada Hendri. Menatapku dengan tatapan aneh.

"Lo kenapa, Sob?" tanya Hendri bingung. Aku celingukan seperti orang linglung, mencari-cari keberadaan nenek itu sekaligus bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Semua orang menatapku dengan aneh sesaat sebelum akhirnya kembali melakukan kegiatan mereka.

"Lo baik-baik aja, kan?" tanya Amara yang berjarak beberapa meja dariku.

Aku tak mampu menjawab, karena aku sendiri juga masih bingung. Aku baru ingat untuk melihat ke arah ponsel. Ponselku masih memutar lagu di menit 1.52, beberapa saat setelah aku menutup mata tadi. Apa yang sebenarnya terjadi padaku?

"Ben!"

Tanpa pikir panjang aku langsung melihat ke arah lenganku dan tampak jelas sebuah tato berbentuk simbol aneh tercetak di sana. Tato ini sangat aneh, dengan warna biru dan seperti memiliki gliter yang bergerak sendiri dengan perlahan.

"Nggak mungkin. Nggak mungkin!" kataku sambil memegangi lenganku. Menatapnya dengan tatapan tak percaya.

"Ben! Ada apa sih?" Hendri kali ini membentakku.

"Lo lihat, kan! Tato yanh tiba-tiba muncul di lengan gue?" Aku memberitahunya panik.

"Tato apa? Lo mimpi, ya?

"Jangan bercanda, Dri! Masa lo nggak liat sih? Aku meyakinkannya.

"Nggak ada apa-apa, Ben. Gue yakin, lo pasti mimpi aneh-aneh tadi."

Tak puas dengan ucapannya, aku langsung berlari ke luar kelas. Tunggang langgang dengan pikiran kacau yang memenuhi otak. Aku membuka pintu toilet pria dengan keras. Mengecek setiap bilik yang ada untuk memastikan tak ada orang yang mendiami tempat ini kemudian menguncinya dari dalam.

Aku menatap cermin yang memantulkan bayanganku sendiri. Sialnya, mataku ?
Mataku menanhkap sebuah tato aneh di leherku. Karena penasaran, aku membuka kancing kerah baju, lalu melepaskan dasi secara paksa. Sebuah tato benar-benar terlihat, dan sepertinya sebagian lagi masih ada di balik baju karena tampak jika tato ini terputus. Aku kembali membuka kancing bajuku, dari atas sampai bawah, dan tercengang. Aku tak bisa berkata apapun dengan fenomena aneh yang muncul di tubuhku.

Tato yang ada di dadaku berbentuk aneh, lingkaran, dengan lidah api yang tampak indah berkilauan. Warnanya benar-benar seperti api yang tengah menyala-nyala. Selain itu ada juga sebuah simbol di bagian perut kananku yang sangat sulit untuk kujelaskan.

Tanganku gemetaran, rasanya panas sementara keringat tak henti-hentinya mengucur di badanku. Aku berbalik dan menemukan simbol lain di punggungku, simbol yang pernah kulihat di film Teen Wolf yang dimiliki oleh Derek Hale. Saat ini kakiku mulai lemas.

Apa ini? Kenapa tato-tato ini bisa muncul begitu saja?

Aku panik, amarah tiba-tiba menguasai diriku. Tubuhku memanas. Karena tak kuat lagi menahan amarah yang terus menggebu di dalam diriku, akhirnya aku memukul kaca hingga pecah berkeping-keping. Bukannya terjatuh, kaca itu malah melayang-layang di depanku. Membuatku semakin bingung.

Tubuhku semakin lemah. Pandanganku buram, kepalaku sakit sekali, hingga akhirnya ambruk diikuti pandanganku yang gelap.

***


Aku membuka mata perlahan, orang yang pertama kali kulihat adalah Hendri. Dia menatapku dengan tatapan aneh sekaligus kasihan. Rupanya tanganku di perban. Tentu saja, ini karena ulahku sendiri yang memukul kaca dengan keras hingga ... melayang?

"Lo ada masalah, sob?"

"Lo bener-bener nggak liat tato gue, Dri?"

"Tato apa sih, Ben? Ayolah, jangan mulai lagi."

"Ok." Akhirnya aku bungkam. Karena jika terus meyakinkannya, ia akan semakin mengganggapku gila.

"Bagaimana bisa gue di sini?"

"Gue mendobrak pintu kamar mandi dan melihat lo tengah tergeletak di lantai dengan buku jari yang berdarah. Gue panik, terus manggil yang lainnya buat bantu lo ke UKS."

"Makasih."

"Sebenarnya ... lo ada masalah apa sih?"

"Nggak ada," jawabku singkat, tubuhku masih lemas. Rasanya seperti baru saja berlari puluhan kilometer tanpa henti.

"Jangan bohong! Ayah sama ibumu baik-baik aja, kan?" tanya Hendri. Beberapa hari yang lalu aku memang menceritakan soal pertengkaran kedua orang tuaku, jadi ... wajar jika dia menanyakan soal orang tuaku.

"Bukan. Mereka udah baikan, kok," jelasku padanya.

"Lo yakin?" Seperti biasanya, dia sangat sulit untuk kubohongi

"Iya." Kali ini aku memaksakan senyum agar ia sedikit percaya padaku.

"Terus tadi apa? Gimana bisa lo kaya orang kesetanan gitu, huh?"

"Gue cuma buruk tadi," jawabku lalu menghembuskan napas.

"Mimpi buruk? Cuma mimpi buruk dan bisa-bisanya lo mukul cermin dengan tinju? Lo gila!"

"Mimpi bener-bener nyata, Dri. Seperti ...," aku mengembuskan napas, lalu melanjutkan. "Seperti mimpi yang ada di dalam mimpi. Lo tahu film Inception? Nah, mimpi gue tadi kaya gitu."

"Keren ...." Matamu, keren! "Gue jadi penasaran, ceritain dong!"

"Kapan-kapan gue ceritain. Tapi nggak sekarang. Gue nggak berani bayanginnya," kataku berbohong. Aku tak mungkin menceritakan semuanya pada Hendri. Yang ada nantinya dia malah menertawakanku, apalagi di bagian Malia yang berubah menjadi nenek-nenek. Dia pasti bakal mengejek.

Ia tampak kecewa, lalu setelahnya memberikanku segelas teh manis hangat. Aku bangkit dari kasur lalu meminumnya perlahan-lahan. Rasa hangat seketika menyerang tenggorokan. Begitu nyaman, dan menenangkan.


|-TBC-|

Cerita ini diikutkan dalam event yang diselenggarakan oleh

FantasiIndonesia

----------

Hi semuanya, ini cerita fantasy keduaku, dengan tema supernatural, magic, bercampur mitologi dan dengan bumbu romance tentu saja. Hehe ...
Semoga kalian suka yah ... jangan lupa untuk vote dan comment jika suka dengan ceritanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top