FC3 - Plandiot
Selena Gomez - Slow Down
::🌈::
Selagi menunggu Tio dan Job datang, Ishy dan Desra sudah anteng duduk di markas mereka, lebih tepatnya di garasi rumah Ishy. Dengan pakaian yang lebih mendominan warna hitam, mereka duduk di bundaran ban yang ditumpuk.
"Eh, Des." Ishy memanggil. "Masa, gue kepo sama Avery."
"Avery?" Desra balik bertanya.
Ishy mengangguk. "Iya, yang tadi di kantin itu loh."
"Ooh, itu. Gue tau orangnya aja sih, gak tau nama. Jadi itu namanya?"
"Iya. Gue kepo sama dia," kata Ishy.
"Kepo apa suka? Atau kepo untuk suka?" goda Desra.
Ishy memutar matanya melas. "Apaan sih? Gaje banget."
"Gue kepo karena dia gimanaa gitu." tanpa sadar Ishy tertawa.
"Gimana dalam maksud apa nih?" Desra kembali menggodanya.
"Lucu aja tingkahnya," kata Ishy.
"Dia irit ngomong, sok gak peduli tapi orangnya pekaan. Cincin gue juga gue titipin ke dia. Dan lo tau? Cincin gue dipake dong sama dia, muat di jari kelingkingnya doang, itupun cuma sampe di tengah." lagi-lagi Ishy tertawa membayangkan kejadian tadi.
"Lo suka ya?" tebak Desra.
Ishy menampar paha Desra yang ada di sebelah tangannya. "Sekali lagi lo ngomong asal, gue sumpel mulut lo pake aki."
Desra terbahak mendengarnya. "Sadees."
"Tapi nih ya, Shy...." Desra berubah menjadi sedikit serius. "Orang yang gak peduli tapi pekaan yang sebenarnya lebih berbahaya."
"Kenapa?"
"Dia tau akan hal yang lo rasain, yang lo butuhin, tapi dia lebih milih gak peduli, diem aja. Kenapa? Karena lo bukan siapa-siapa dia."
Desra menyeringai. "Skakmat sis."
"Gak ah." Ishy berusaha menolak pernyataan Desra tadi. "Buktinya Ino nggak," lanjutnya.
"Yee, goblok. Ino kan saudara lo, mau sejahat apapun ya pasti ujung-ujungnya dia bakal peduli sama lo."
"Iya juga ya." Ishy mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk.
Suara motor vespa terdengar begitu rusuh dari luar dan dari arah depan pagar motor itu muncul, lalu berhenti tepan di depan Ishy dan Desra berdiri. Siapa lagi kalau bukan Tio dan Job. Penampilan mereka juga tidak berbeda jauh dengan Ishy dan Desra.
"Halo ma pren!" sapa Job yang dibonceng.
Job menjulurkan tangannya ke hadapan Ishy, Ishy kira Job ingin mencium tangannya, tapi laki-laki bercodet itu malah menarik paksa Ishy untuk duduk di tempat gadis itu. Ishy dibuatnya sampai oleng.
"Apa-apaan sih lo, Jodet!" omel Ishy. "Main rebut tempat duduk orang aja!"
"Tamu adalah raja." Job membalas tanpa rasa bersalah.
Ishy mendengus. Dia beralih duduk di motor bersama Tio yang masih anteng di atas motor sedari tadi.
"Apa nih Planidiot hari ini?" tanya Tio.
Planidiot itu gabungan dari kata plan dan idiot, sesuai namanya itu adalah rencana gila yang akan mereka lakukan.
"Ke stasiun kereta mau gak?" usul Job. "Kan baru jadi tuh."
Tio tersenyum antusias. Dia menjentikkan jarinya. "Bawa Pylox enak nih."
Ishy memukul Tio. "Gila lo, baru jadi langsung mau dicoret. Hargain dikitlah usaha buatnya bertahun-tahun. Pikirin koruptornya kalo cepet jelek, ganti baru, tuh para anjing-anjing negara dapet duit lagi."
Job bertepuk tangan seraya menggeleng kepala takjub ke Ishy. "Susah ya punya temen bapaknya polisi."
Ishy tertawa, dia siap melayangkan kakinya di udara ke arah Job. "Gue tendang juga nih lo!"
"Bapak polisi, anak tukang onar." Desra menyeletuk dan sangat tepat sasaran. Mereka semua tertawa, bahkan Ishy pun menertawai hal yang tertuju kepada dirinya sendiri.
"Udah ah, bacot. Gini-gini karena lo semua," kata Ishy.
Tio menempeleng kepala Ishy. "Kebalik yang ada."
"Ya udah karena Ino aja," kata Ishy lagi.
Tio turun dari motor. Mengambil minuman soda kaleng yang ada di tangan Desra, meminumnya sedikit dan mentitah untuk bergegas.
Sebelum pergi dari markas mereka, Ishy dan yang lain berpamitan dengan baik-baik dengan kedua orangtua Ishy. Itu kenapa kedua orangtua Ishy percaya kalau anaknya tetap tau di mana harus berbuat baik dan sopan. Padahal sebenarnya tidak.
Di perjalanan kaki mereka, mereka tidak henti-hentinya saling menukar lelucon. Mereka juga terkadang berhenti untuk melakukan hal-hal gila dan mengabadikan kejadian tersebut. Tio yang memiliki hobi dalam hal photography, tidak pernah absen untuk membawa kameranya di saat mereka berkumpul. Mengabadikan semua momen dan objek yang ada.
Istirahat sejenak, mereka masuk ke supermarket. Desra, Tio, dan Job langsung menyelonong memilih apa yang ingin mereka beli. Berbeda dengan Ishy yang berhenti di meja kasir. Sambil melambaikan tangan dia mendekat, tak lupa pula dengan senyuman di bibirnya.
"Oi, oi, Avery!" Ishy menyapa dengan genitnya.
Avery tersenyum. Diam-diam, dia mulai terbiasa melihat perubahan Ishy di saat berada di sekolah dan di malam hari.
"Tau gue kan?" kata Ishy basa-basi.
"Iya. Mau beli apa?"
"Jajanan."
"Silahkan dipilih."
"Iya."
Ishy pergi menyusul teman-teman. Sampai di rak jajanan, Ishy terlonjak kaget karena menemui Tio.
"Kaget anjir." Ishy menoyor kepala Tio.
"Lo kenal sama dia?" tanya Tio.
Ishy tersenyum sambil mengangguk. Tidak mau ditanya lebih lanjut dia berlalu untuk memilih jajanan.
"Lo kok belum milih?" Ishy bertanya. Guna untuk mengganti topik juga.
"Bingung." Tio menjawab singkat. Dia mulai berkutat dengan kameranya dan mengarahkan kamera tersebut ke Ishy.
"Shy."
"Ya?"
Tau ingin difoto, Ishy langsung memasang gaya dan setelahnya dia mendekat ke Tio untuk melihat hasilnya. Senyuman puas dia tunjukkan ke Tio.
"The best deh lo kalo ngambil angel foto."
Tio hanya terkekeh mendengarnya. Sambil merangkul Ishy, mereka pergi menghampiri Desra dan Job yang berada di lorong sebelah tempat di mana minuman berada.
"Udah belom?" tanya Job.
Tio dan Ishy mengangguk serempak. Jajanan yang dipegang Ishy, dia jatuhkan ke keranjang yang sedang Desra pegang.
"Minum lo berdua udah kita ambilin. Cola as always," kata Desra.
Sesudahnya mereka ke kasir. Ishy terus tersenyum melihat ke Avery, sampai-sampai dia tidak sadar kalau ketiga temannya menyadari hal itu. Desra yang berada di sampingnya langsung menyikut.
"Ini Avery?" tebak Desra.
Ishy mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya. "Iya."
"Jangan segitunya kali." Desra tersenyum sambil memutar matanya.
"Sirik aja."
"Empat puluh lima ribu."
"Duit woi duit!" Tio berseru.
"Pake duit lo lah." Job menyeletuk.
"Enak aja!" Tio menolak keras. Dia tetap meminta uang ke ketiga temannya itu. "Buru mana!"
"Payah." Ishy bergumam, pura-pura ngambek. Padahal tangannya tetap merogoh saku roknya untuk mengeluarkan uang.
Begitu terkumpul uang, Avery menerima uang tersebut. Begitu semuanya sudah selesai. Dia tersenyum. "Terimakasih sudah berbelanja."
Tio hanya membalas dengan senyuman tipis, Job sama sekali tidak membalas ucapan tersebut, Desra dengan anggukan, dan Ishy dengan senyuman tak lupa anggukan dan juga balasan.
"Iya sama-sama."
::🌈::
Mereka berempat memakan jajanan mereka sambil berjalan santai. Obrolan ringan dan hinaan selalu mereka ucapan. Mereka mencaruti satu sama lain, tapi mereka sudah hafal betul kalau itu hanyalah candaan belaka, jadi tidak perlu di bawa ke hati.
"Udah sepi nih," kata Ishy. Ishy melihat jam lewat ponselnya yang baru dia ambil dari rok. Jam 20.23.
"Pesen nih?" tanya Desra.
"Skuy!" Tio berseru dan dia yang jalan lebih dulu ke arah pemesanan tiket. Dia pula yang memesankan ketiga temannya tiket. Lalu dia meminta waktu sebentar kepada sang pengurus tiket untuk meminta uang kepada temannya. Setelah terkumpul dia membayar dan barulah mendapatkan tiket.
Sesudahnya, mereka jalan menuju di mana kereta mereka akan muncul.
"Sebenarnya kita mau ngapain sih?" tanya Desra.
"Gak tau," jawab Ishy terkekeh.
"Sama." Job menjawab.
"Gak tau juga." Tio menjawab.
Mereka berempat tertawa.
"Intinya senang-senang gitu," kata Ishy.
Karena di sana sepi, Ishy merogoh ponselnya dan mulai memutar lagu dengan volume paling tinggi. Sesudahnya, dia kembali menyimpan ponselnya. Lalu dengan percaya dirinya dia mulai joget.
"Mending joget selagi nunggu kereta," kata Ishy.
Desra dan Job pun mulai ikut joget, sedangkan Tio justru mulai memotret keidiotan tiga temannya, lalu sekiranya cukup dia berubah menjadi merekam.
::🌈::
Sepulang dari stasiun kereta listrik, mereka kembali berjalan kaki menuju rumah Ishy, tapi mereka sudah lelah untuk berjalan. Malam juga semakin larut.
Ishy tiba-tiba tersenyum ketika dia mendapatkan sebuah ide.
Kalau udah capek jalan mending lari aja, batin Ishy.
"Oi, kalian capek gak jalan?" tanya Ishy.
Ketiganya menyahut dengan anggukan.
"Ayo main lomba lari, melawan gak?" tantang Ishy. "Yang kalah gendong yang menang."
Job menggeleng. "Gue sama Tio mau kalah atau menang pasti bakal gendong kalian."
"Payah lo!" hardik Ishy.
"Kalau gitu tanpa harus main lomba lari, mending kalian langsung gendong gue sama Ishy aja," kata Desra.
"Ogah!" Tio menjawab.
Ishy memutar matanya. "Ya udah kita lomba lari aja, gak ada hukuman buat yang kalah," kata Ishy.
Mereka setuju, lalu mereka siap di posisi masing-masing.
"Bersedia," Ishy memimpin.
Mereka yang awalnya dalam posisi jongkok khas gaya pelari sebelum memulai, menaikan bokong mereka lebih ke atas.
"Siaap..." Ishy menggantung katanya.
"Mulai!"
Mereka lari dengan sangat berantakan. Tak jarang juga mereka saling menahan tangan teman di samping mereka untuk lebih dulu. Dan ketika Ishy sudah memimpin paling depan, dengan sepihak dia langsung mengakhiri perlombaan.
"Selesai!" seru Ishy.
Lalu dia mengangkat keduanya tangannya ke udara. "Yeeeey gue menaang!"
Desra, Tio, Job yang tidak terima langsung menjitak kepala Ishy secara bergantian.
"Curang lo!" kata Desra.
"Lomba apaan gaje banget!" kata Tio.
"Menang pala lo!" kata Job.
Ishy memegang kepalanya.
"Apaan sih? Sirik aja liat gue menang," kata Ishy.
"Batas larinya aja gak ditentuin," kata Job.
"Ya salah kalian kenapa gak nanya pas di awal, jadi serah gue la mau sampe mana," kata Ishy ada benarnya.
"Bodo, Shy, bodo," kata Desra mewakili kekesalan Tio dan job.
Ketika mengelus kepalanya yang masih sakit, pandangan Ishy terfokus ke salah satu bangunan yang paling gelap, tapi ramai pengunjung yang masuk.
Ishy menunjuk gedung itu, membuat ketiga temannya mengarahkan pandangannya ke arah tunjuk Ishy.
"Itu tempat apaan?" tanya Ishy.
"Gelap, tapi rame gitu." Ishy melanjutkan.
"Klub mungkin." Desra menebak.
"Atau hotel." Tio ikut menebak.
"Atau tempat bandar narkoba." Job menebak juga.
"Ke sana yuk!" ajak Ishy tak berakal.
"Gila lo ya!" hardik Desra.
"Kalau itu lagi ngedar narkoba gimana?!" Desra menambahkan.
"Itu ada penjaganya di luar, kita tanya aja dulu," kata Ishy.
"Gak semudah itu, kan bisa aja kita dibodohin," kata Tio.
"Udahlah mending kita balik aja," ajak Desra.
"Tapi gue kepo," kata Ishy sebelum dia lari mendekati bangunan dua tingkat itu. Teriakan ketiga temannya yang memanggil namanya sudah dia anggap angin lalu.
Sudah dekat dari gedung, Ishy langsung menghentikan langkahnya, dia berjalan layaknya sang pemberani. Lalu, ketika sudah berada di depan penjaga pintu masuk gedung di hadapannya, Ishy menunjukkan senyum songongnya.
"Anda sudah ada tiketnya, Nona?" tanya pria berbadan kekar di sebelah kanan.
"Tiket?" bingung Ishy.
"Anda harus memiliki tiket untuk melihat pertandingan ring tinju di dalam sana," pria berbadan kekar menjelaskan. "Jika belum anda dapat membelinya di sini, harganya dua lima."
Ishy menahan senyum liciknya. Tanpa harus bertanya banyak, penjaga itu sudah memberitahu apa yang sedang berlangsung di dalam gedung itu.
"Oke, saya beli-"
Ucapan Ishy terhenti begitu ketiga temannya sudah berhenti di belakangnya.
"Saya beli empat." Ishy melanjutkan.
::🌈::
Jika di pandangan dari luar, gedung yang dipakai untuk pertandingan tinju ini sangat jelek, tidak ada yang menarik ataupun papan nama jika itu adalah tempat tinju. Tapi setelah dipikir-pikir, ya itu wajar, namanya juga tinju ilegal, mana mungkin ada papan namanya.
Namun, begitu masuk ke bangunan tua itu, hal pertama yang kalian lihat adalah gelap gulita, hanya ada cahaya kecil yang terlihat dari celah-celah pintu dengan kayu-kayunya yang sudah renggang, itu sebenarnya untuk membuat orang terkecoh, ditambah lagi pintu jelek-yang tersembunyi di gelapnya ruangan- itu dipenuhi oleh garis kuning polisi.
"Apaan njir gelap semua," kata Desra yang langsung memegang tangan Ishy karena takut.
Tio yang memimpin mempertajam tatapannya, dan dia melihat cahaya-cahaya remang dari balik pintu. Dia maju terus mendekati cahaya tersebut. Dan ketiga temannya mengikut dari belakang.
"Kayaknya ada tombol tersembunyi deh," kata Ishy.
"Lo kira di fil--"
Omongan Job terhenti begitu ada cahaya merah redup yang terpancar ke wajahnya.
Mereka semua tertegun melihat Tio menemukan pintu masuk. Ishy lah yang paling awal sadar dan dia langsung berkata,
"Ayo, masuk," kata Ishy.
Setelah menemukan pintu itu, kalian akan berada di lorong kecil yang di kedua sisi dindingnya dipenuhi poster jadwal pertandingan dan juga poster sang petinju. Namun semua poster itu harus dilihat dari dekat karena minimnya cahaya merah di ruangan itu.
"Ringlegal," gumam Ishy ketika dia membaca salah satu poster yang ada.
"Kayaknya itu nama tempat ini deh," kata Job.
Ishy tersenyum, dia menoleh ke Job. "Keren ya, Det."
"Hei, ayo!" Tio berseru ketika dia sudah berada di ujung lorong bersama Desra.
Di ujung lorong itu ada pintu berwarna hitam, pintu itu adalah pintu menuju di mana pertandingan berada, dan ruangan pertandingan ini adalah ruangan kedap suara.
Mereka berempat langsung disuguhi dengan sorakan penonton juga lampu sorot merah yang terus berputar menyinari ke semua ruangan.
Karena baru pertama kali mendatangi tempat seperti itu, mereka berempat memandang pemandangan di depan mereka dengan pemandangan antusias.
"Gila, gak nyangka gue!" seru Desra.
"Lo kok bisa nyogok biar masuk ke tempat ginian, Shy?" Tio ikut bersuara.
"Gue bukan nyogok, mereka yang nawarin tiket masuk." Ishy menjelaskan. Lalu dia melihat tempat duduk penonton yang kosong. "Ikut gue."
Ishy megang tangan Desra dan dia memimpin jalan menuju kursi, sebenarnya jarak terdekat untuk menonton itu adalah berdiri di kerumunan banyak penonton, tapi karena tidak mau berdesakkan Ishy memilih untuk duduk saja bersama ketiga temannya.
Mereka nonton dengan diam. Sesekali Tio dan Job mengobrol tentang membandingkan siapa yang akan menang jika mereka yang sedang bertarung di dalam ring sana.
"Bacot anjir, mending nonton duduk manis," omel Desra.
"Oke, Bu." Tio dan Job menjawab dengan kompak.
Sedangkan Ishy sedang mengetik sesuatu di ponselnya, dia sedang mengabari Ino jika dia masih di luar.
"Dan satu lagiii, Si Pendatang Baru, mari kita sambuuut, Guntuuuur Arizzaaaah!"
Sorakan para penonton penuh untuk petarung yang baru saja namanya dipanggil. Desra, Tio, Job juga turut tepuk tangan, padahal mereka tidak tau siapa orang itu.
Ishy yang masih mengetik menyempatkan diri untuk menoleh sesekali ke arah panggung. Lalu, ketika dia melihat petarung yang baru saja naik ke panggung itu, dia tertegun.
"Si Topi," gumamnya. "Ko-kok dia di sana?"
::🌈::
Hayo loo awokawok
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top