1 . I - Emily


Hari apa ini?

Apakah Minggu? Atau sudah Senin?

Senin?! Astaga. Jangan Senin. Aku benci Senin. Aku punya kelas di hari Senin, yang artinya adalah kampus, dan artinya adalah Jason. Senin, kampus, dan Jason bukan suatu hal yang cocok untuk disatukan dalam sehari. Apalagi, suasana hatiku masih seburuk Jum'at.

Brengsek. Kenapa aku harus patah hati saat hari Jum'at belum berakhir? Harusnya si keparat itu tidak menghancurkanku di hari Jum'at. Aku lahir di hari Jum'at dan sekarang aku membenci hari Jum'at.

Aku tidak menunggu kapan matahari terbit atau tenggelam. Karena di ruang temaram ini, di mana aku mematikan lampu utama dan menutup tirai sepanjang hari, aku tidak bisa memperkirakan waktu. Aku berusaha keras melupakan letak ponselku. Aku juga yakin benda yang kulempar pertama kali begitu memasuki ruangan ini dan tidak keluar lagi adalah jam di nakas samping ranjang. Aku tidak menghidupkan TV. Aku membaca novel-novel memuakkan dan menangis―tidak kusangka aku bisa menangis membaca kisah-kisah ini.

Aku tak tahu apakah harus berterima kasih atau menyumpahi Diana, kakak iparku yang mengirimkan seluruh buku melankolis ini.

Aku merasa... kisahku berakhir di akhir pekan dan aku punya ironi yang sama dengan novel-novel cengeng ini.

Aku menjadi Emily Si Cengeng.

Dan aku menyalahkan Jason Walsh dan dasi yang terlihat cocok dengannya. Aku juga mengutuk rambut acak-acakannya atau rambut rapinya. Aku mengutuk betapa lihainya dia mencium. Terkutuklah juga betapa dia sangat manis malam itu―

"Argh!" geramku. "Keluarlah dari kepalaku, Brengsek!" Aku berguling lagi ke kanan dan aku benar-benar mendapatkan yang kuinginkan―aku jatuh dari ranjang, punggungku menghantam lantai dan aku berteriak.

Yah, itu sakit. Tapi tidak lebih menyakitkan daripada menanggung rasa malu karena aku perawan dan Jason Yang Manis sudah tersedot ke antah berantah begitu tahu aku adalah perawan.

"Dia tidak perjaka!" desisku. "Tidak perjaka! Tentu saja! Kenapa aku meragukan hipotesisku! Aku tidak berpengalaman! Idiot!"

"Emily!" Gedoran keras di pintu membuat menghentikan omelan. Suara penuh kekhawatiran Callie selama beberapa waktu―yang tidak kusadari ini―sudah terdengar lebih dari selusin kali. "Kau baik-baik saja, Sayang? Apakah kau sakit? Bisakah kau membuka pintunya? Aku benar-benar khawatir sekarang."

Aku hanya diam. Tentu saja, aku hanya diam. Aku tidak ingin mereka tahu bahwa yang menghancurkan hatiku adalah sepupuku sendiri.

Aku memakan ironiku sendiri dan itu menyedihkan.

"Emmy!"

Sial.

Aku bangkit dari posisi ironi―terguling secara sengaja dari ranjangku sendiri. Melangkah tanpa bersuara dan mengintip di balik lubang pintu. Sial, itu benar dia.

"Emily Archer, kau dengar aku!" seru abangku, Ryan.

"Em!" seru ayahku.

Astaga, ada apa semua orang?

"Aku mulai takut." Itu suara Diana, istri Ryan. "Benarkah sudah dua hari?"

"Bagaimana jika terjadi sesuatu?" kata Callie.

"Aku muak dengan ini!" tukas Ryan. Ia menggedor keras-keras pintuku hingga berjengit. "Emily! Kau punya lima detik untuk membuka pintu sialan ini! Aku tak peduli jika kau memasukkan kunci ke lubang satunya. Aku bisa mendobrak pintu ini. Aku bisa. Karena aku melakukannya dengan ayah. Bayangkan berapa detik yang kami butuhkan untuk itu jika kau tak membuat ini berjalan kurang dari lima detik!"

"Aku mungkin juga mempertimbangkan gergaji. Aku tidak peduli jika kau tidak punya pintu lagi. Tidak ada pintu lagi! Kau dengar itu," tambah ayahku.

Bagus. Ayah atau Callie pasti memanggil bantuan. Tak ada lagi yang bisa kulakukan dengan mengurung diri. Mereka pasti tetap menemukanku dalam keadaan mengerikan.

"Satu..."

Astaga, Ryan mulai menghitung.

"Dua!" lanjut ayahku.

"Tiga, Em," seru Ryan. "Aku sudah sampai angka tiga!"

Aku menghela napas. Aku membuka kunci, melepaskannya cepat-cepat dan melemparnya sembarangan. Aku tahu jika mereka melihat kunci, aku tidak akan memiliki kunci.

Ketika Callie berusaha menghambur masuk, aku mengangkat tanganku. "Berhenti di sana."

Ryan, ayahku, Diana, dan Callie, memandang penampilanku. Dengan rambut acak-acakan, setelan piama yang tidak sesuai, ruangan berantakan, buku bertebaran; tentu mereka heran.

"Apa-apaan?!" desis Ryan.

"Jangan mendekat. Aku belum mandi." Itu sungguhan. "Aku sedang berada dalam kubanganku."

"Sayangku..." desah Callie.

"Apa yang salah?" tanya Diana. "Mau bicara?"

"Aku hanya ingin waktu untuk diriku!" sergahku. "Aku punya istanaku sendiri di sini."

Ryan mendengus. "Kulihat, kau baru saja meledakkan istanamu."

"Ini area amanku!" tukasku. "Areaku! Privasiku! Aku boleh mengunci pintuku. Memangnya kenapa rumah ini sekarang penuh orang? Apa yang kalian lakukan di sini?"

"Jangan konyol," hardik ayahku. "Kami takut sesuatu terjadi padamu. Kau tidak mengambil makanan sama sekali. Apa kau ingat hari apa ini? Kau bahkan tidak turun untuk mengantar aku dan Callie."

Mengantar?

Mengantar...

Oh, astaga, mengantar.

"Apa kami harus pergi?" tanya Callie. "Kami khawatir―"

"Puas membuat masalah?" Ryan melototiku.

Oke. Aku tidak menyangka akan menjadi seperti ini. Aku tidak mau Callie merasa khawatir. "Um, Callie. Ya, sial. Maksudku, kau seharusnya tidak khawatir. Aku hanya..." Aku mengendik. "Membuat waktu untuk menikmati... Hari Gadis Gila?" Aku tertawa. "Aku baik-baik saja. Sungguh."

"Hari Gadis Gila?" tukas Ryan. "Serius? Kau membuatku punya niatan serius untuk membelah pintumu menjadi dua, tapi kau bermain permainan Gadis Gila? Astaga..." Ryan mendesah. "Aku tak mengerti apa yang terjadi pada dirimu! Semua orang khawatir karena kau sudah berada di kubanganmu yang penuh permainan gila selama lebih dari sehari semalam! Itu gila!"

Aku mengangguk miris. "Aku tahu. Sudah kubilang soal Hari Gadis Gila, kan? Aku bisa menekankan kata: gila."

Ayah menatapku, lalu menggeleng muram. "Itulah sebabnya aku tak yakin jika kau sudah berumur dua puluh. Terkadang aku masih ingin mengganti popokmu."

"Astaga, ayah!" cecarku.

"Sudah, Em," sela Diana. "Kau yakin kau baik? Kita akan mengantarkan Will dan Callie ke bandara. Semua akan datang sebentar lagi. Kau punya waktu bersiap sebanyak itu."

"Oke―tunggu. Apa yang dimaksud dengan semua?" tanyaku bingung.

Ryan mengendik. "Keluarga besar ini akan mengantar Will dan Callie bulan madu ke Bali, kan?"


● ● ● ● ●


Sudahkah kukatakan bahwa keluargaku, yang aneh ini, adalah jenis keluarga besar? Aku turun dari tangga setelah siap dengan rambut basah, jaket kulit hitam, dan jins gelap. Aku tidak repot-repot dengan riasan. Kali terakhir aku merias habis-habisan, aku berakhir tragis dalam kubangan yang kusebut kamar.

Ayahku punya seorang adik laki-laki. Aku memanggilnya Paman Mike. Paman Mike punya istri yang kukagumi selera musik rocknya, namanya Mira. Mereka punya tiga orang anak; si kembar tak identik Joey dan Jack, lalu si kecil Finn. Tiga anak dengan selisih sedikit umur itu selalu membuat acara keluarga ini riuh dengan langkah berlari mereka.

Ryan dan Diana punya seorang putra bernama Sal, yang suka berteriak semenjak ia bisa menemukan suaranya. Tangisannya saat bayi sangat kencang hingga terdengar di lantai yang berbeda. Sekarang, setelah ia berusia dua tahun, ia mengucapkan segala hal, menanyakan segala hal, membuat kesal segala hal.

Aku tak bohong. Dia membuat kucing, kelinci, marmut, Ryan, dan aku; menjadi sangat kesal. Untungnya, dia cucu pertama di generasi ini. Dia anak emas.

Dan tentu saja, Jason dan Paman Tery. Dua bujang bersama. Bujangan, yang tidak perjaka, yang jelas berpengalaman terhadap hal seksual jenis apapun (aku yakin begitu).

Oh, astaga, Jason baru saja datang dari dapur. Ia mendongak menatap ke arahku, yang masih membeku di tangga. Aku mengalihkan tatapan, tak mau menatap ke arahnya. Padahal aku belum sempat melihat apa yang ia kenakan. Aku hanya terpaku pada mata gelapnya selama nol koma sekian detik yang kusesali karena tidak mengambil waktu lebih lama. Kemudian, Jason lenyap ke ruang keluarga.

"Oke, semuanya, ayo berkumpul!" seru Paman Mike.

Aku bergegas menuju ke ruang tamu. Mendengar Mira yang menenangkan Finn dan menyuruh si kembar tenang. Melihat Diana yang melesat membawa Sal ke toilet untuk buang air. Aku mengambil tempat di samping Ryan supaya Jason tahu ia tidak bisa macam-macam denganku setelah penghinaannya malam itu.

"Mungkin kita bisa mulai pidato?" usul Ryan.

"Tidak!" erangku.

"Kenapa keluarga ini penuh dengan pidato?!" tukas Jason. Kusadari Paman Tery tidak ada di sini.

"Astaga, aku benci ini!" sahut Paman Mike. "Tidak ada Tery. Siapa yang akan dikambinghitamkan?"

"Aku melakukan pidato selama keluarga aneh ini terbentuk!" tukas ayahku.

Callie tertawa cekikikan melihat semua orang mengeluh. Tentu saja, pidato selalu menjadi ciri khas kami ketika terjadi sesuatu yang besar. Bulan madu ayahku dan Callie akan masuk salah satu di antaranya. Itu sebabnya semua orang di sini.

"Oke, begini saja," sela Paman Mike. "Aku mewakili semua orang yang di sini ingin mengatakan selamat jalan, selamat berbulan madu, aku ingin kalian membuat anak sebanyak-banyaknya―aw!" Ia mengaduh saat Mira memukul lengannya. Callie tersenyum maklum. Semua orang di sini tahu bahwa Callie sudah steril dan tidak bisa mempunyai anak lagi. Satu-satunya anak yang berhasil Callie lahirkan adalah Corbin, yang ironinya adalah dia gay. "Maaf, maksudku, perbanyak saja prosesnya."

"Astaga!" Ryan menukas.

Aku mulai muak. "Huek!"

"Itu sudah termasuk dari pidato, Paman Mike," kata Jason.

Paman Mike berdeham. "Sial. Benar."

"Kita bisa berangkat sekarang sebelum mereka ketinggalan pesawat," usul Mira. "Will dan Callie akan berangkat bersama Jason. Aku dan Mike dengan mobil kami. Ryan dengan mobilnya."

"Bagaimana denganku?" tanyaku.

"Ikut Jason," ujar Mira enteng.

Apa? "Kenapa aku tidak membawa mobilku saja?" tuntutku. Aku semobil dengan Jason? Setelah Jum'at lalu? Yang benar saja.

"Karena aku tidak membawa mobil," ujar Jason jengkel. Ia jengkel? Oh, ya? Dia bercanda? Harusnya aku yang jengkel di sini. "Ayahku membawa mobilku sejak kemarin dan aku tidak bisa menemukan kunci ayahku. Aku ke sini dengan taksi."

"Kau sengaja, hah?!" cecarku. "Alibimu memuakkan, Jason!"

"Hei!" sergah Jason. "Apa masalahmu? Aku yang menyetir jika kau punya ego kuat, kau tak mau aku jadi parasit dengan menumpang saja."

"Ego? Kau membicarakan ego ketika kau dan seluruh egomu masih di sini?! Hari ini? Saat ini? Dan kau menunjukku yang punya ego?"

"Apa?" desis Jason. Ia menyipitkan mata padaku. Aku bisa melihatnya seratus persen kesal.

Aku merasakan keheningan menyelimuti ruangan ini. Aku mengerjap dan menemukan seluruh keluarga mengamatiku dan Jason. Aku berdeham dan menggeleng gusar. Kemudian mundur setelah kusadari jarakku dan Jason terlalu dekat.

Paman Mike tertawa canggung. "Panas sekali rasanya. Aku bertanya-tanya apakah kalian pernah akur."

"Tidak akan," ujarku dan Jason bersamaan. Aku melotot padanya dan dia balas memelototiku.

Paman Mike mengangkat tangan. " Oke, kalian telah menjawabku."

"Jika Emily tidak mau mengantarku pulang, aku bisa naik taksi dan aku harus meminta maaf karena tidak bisa mengantar ke bandara," kata Jason. "Aku punya masalah dengan transportasi. Ada satu orang gadis yang sangat sinis padaku, sampai-sampai tak mau memberiku tumpangan."

Sinis? Dia mengataiku sinis? Apa dia mendengar nada bicaranya barusan?

"Persetan denganmu, Jason!" tukasku. Dasar makhluk picik yang punya kejantanan.

Jason menyeringai. "Yah, persetan denganmu juga, Emily! Senang sesuatunya masih tidak berubah pada dirimu."

"Kau―"

"Sudah!" sela Ryan. "Aku tak mengerti dengan kalian. Kita harus berangkat. Tidak ada waktu untuk menonton pertengkaran kalian."

Aku mendengus kesal. Tentu saja masih melotot pada Jason. Aku merogoh kunci dan melemparkannya ke wajah Jason. Sekuat mungkin untuk meluapkan amarahku.

Jason berjengit ketika mendapat lemparan tak terduga di wajahnya. Aku tepat mengenai hidungnya, tapi aku masih saja belum puas. "Brengsek! Apa maumu, Emily?! Itu sakit! Peringatkan aku dulu, oke?!"

Aku tidak balas meneriakinya, meski aku ingin. Aku punya jutaan kata yang ingin kuteriakan padanya, namun aku hanya berjalan keluar menuju mobilku yang tidak terkunci. Membuka pintu belakang dan duduk di sana. Aku tidak akan membiarkan diriku duduk di sebelah Jason lagi.

Sial. Aku bahkan masih bisa mengingat diriku yang dengan bodohnya menyeberang ke pangkuannya. Menyuruhnya menciumku seolah aku tergila-gila padanya. Aku benar-benar habis-habisan menggodanya. Aku bisa merasakan dirinya. Begitu percaya diri bahwa dia benar-benar menginginkanku.

Tapi tidak. Dia tidak tertarik dengan perawan. Ia menarik diri setelah tahu aku perawan.

"Kau mau tahu apa mauku?!" teriakku di dalam mobil. Aku aman karena tidak ada orang di sini. "Aku mau bercinta denganmu, brengsek! Meski kau idiot, sinting, dan mengesalkan!"

Bahkan di saat tersialku ketika aku menyesali kata-kataku, aku masih merasakan tiap katanya benar.

Aku benar-benar dalam masalah.    

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top