1 . G - Emily

Kali terakhir aku menghadiri pesta adalah prom di tahun seniorku. Kembali lagi ke suasana ini mau tidak mau membuatku gugup...

Itu... atau mungkin pasangan kencanku malam ini yang membuatku gugup.

Jason tidak mengenakan setelan padahal aku yakin Paman Tery pasti punya rekomendasi yang lebih formal daripada pakaian Jason malam ini. Ia menggunakan kemeja biru pucat dengan dasi berwarna biru gelap. Aku tak tahu mengapa ia memilih warna itu sementara gaun Callie berwarna biru elektrik. Kami jelas tidak merencanakannya. Jason juga menyisir rapi rambut cokelatnya―itu poin positif. Hanya saja rasanya aneh. Jason yang kuolok sejak kecil adalah seorang begundal tengik yang berbicara sembarangan, berpakaian berantakan, dan rambut acak-acakan. Tapi malam ini dia... yah, oke, baiklah, dia memang tampan seperti yang ia janjikan―supaya dia bisa mengalahkan Lincoln March.

Aku bahkan tidak lagi ingat siapa itu Lincoln March.

Apalagi saat ia memujiku cantik.

Yah, dia bukan orang pertama yang mengatakan omong kosong itu padaku. Tapi, astaga, Jason berhasil membuatku merasa lain. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak menganggap omong kosong itu sebuah omong kosong. Aku... tersentuh?

Ini mulai menggelikan.

Dan sekarang Jason melakukan omong kosong lainnya. Kami baru saja turun dari mobil. Melangkahkan kaki dari tempat parkir menuju aula yang ramai muda-mudi. Ia meraih jemariku dan menelusupkan jemari ke selanya. Ia menatapku sesaat dan membuat senyuman kecil yang―astaga, sejak kapan ia tersenyum tipis malu-malu begitu?

Dan sejak kapan aku bahkan tidak bisa mengalihkan tatapan darinya?

DAN sejak kapan perutku terasa seperti digelitik bulu-bulu dari dalam? Kupu-kupu yang terbang? Astaga, keluarlah kupu-kupu!

"Ayahmu tidak bilang soal tangan," kata Jason sambil menyeringai.

"Hah? Apa?"

Jason tertawa. "Paman Will hanya memperingatkanku soal bibir... um, dada―" Ia berdeham. "―dan bokong. Yah, dia tidak memperingatkan bagian tangan. Aku tak tahu apakah itu terlewat atau sengaja."

Aku memutar bola mata, namun aku mendengus geli. Karena ayahku memang menggelikan. "Diamlah, dia tidak tahu."

Jason mengerutkan kening. "Kecuali Paman Will memang mengikuti kita," gumamnya.

Yah, benar, itu memang perlu dikhawatirkan. Tapi aku menolak untuk berbalik dan memastikan keadaan. Ayahku tidak bisa menganggapku gadis sepuluh tahun selamanya.

"Jason!" seru seorang gadis dengan rambut pirang ikalnya yang jatuh, gaun merah menyala, sepatu sewarna... dengan hak tinggi―sial. Yah, dia cantik, merah, dan dadanya besar.

Keren, kadang aku menganggap dada alami orang Asia itu kutukan. Dadaku tidak lebih besar darinya.

Gadis menghampiri kami―atau lebih tepatnya Jason, karena dia bahkan tak mau memandang ke arahku. "Ayo foto dulu," ajak gadis itu. "Kau tampan, kau tahu?"

Jason tersenyum. Sekarang aku benci senyumnya. "Kau oke, Vera. Bawa pasangan?" Kemudian Jason meraih pinggulku dan menarikku mendekat. Jika ayahku benar-benar ada di sini dan melihat Jason melanggar peraturan, aku hanya butuh menghitung mundur selama sepuluh detik sebelum sebuah tinju mendarat di pipi Jason.

Mata Vera melebar dan kali ini ia menyadari kehadiranku. Ia memandang penampilanku sekaligus menilai. Mulutnya menyeringai melihat hak tujuh sentimeterku―

Terkutuk kau, tujuh sentimeter.

Jadi Vera menganggap dirinya menang di hak sepatu dan dada.

"Hai, aku Vera," Ia mengulurkan tangannya dengan pongah. "Aku teman sekelas Jason di hari Senin dan Rabu. Kau tahu, kebetulan sekali seluruh kelas kami sama hari itu."

Hah! Yang benar saja. Seolah informasi itu penting.

Jika ayahku menganggap dandananku mirip wanita berusia dua puluh tujuh. Aku bertanya-tanya bagaimana ia menilai Vera. Padahal Vera adalah angkatan junior.

Aku membalas uluran tangannya. "Emily Archer... um, pacar Jason."

Jason tersenyum lebar seolah bangga terhadapku. "Benar. Aku berciuman dengannya di lorong."

Astaga.

Vera tertawa hambar. "Benarkah? Kenapa pula aku perlu tahu kalian berciuman dimana?"

Jason mengangkat bahu. "Kupikir itu penting untukmu."

Vera mendengus. "Tidak penting lagi. Sampai nanti, Jason." Kemudian ia melenggang pergi seraya menggoyangkan bokongnya.

Wanita jalang.

Aku menatap Jason yang mungkin tergoda pada bokong itu, namun yang kudapati adalah Jason yang menatap ke arahku―dadaku. "Apa?"

Aku akan membunuhnya jika dia membandingkan milikku dengan Vera.

Jason mengalihkan tatapannya cepat-cepat. Ia mengusap kasar wajahnya. "Sebenarnya peraturan ayahmu berlaku sampai kapan?"

"Apa?" Aku tak tahu mengapa mengulangi pertanyaanku yang awalnya didasari keterkejutan.

"Menatap... um, memegang..." Jason menghela napas kasar. "Kau tahu aku bajingan."

Aku tidak menjawab pertanyaannya karena kupu-kupu telah kembali setelah pengusiran pertama. Aku akan membunuh mereka dengan soda. "Aku butuh soda. Ini pesta. Kita harus cari minuman."

Jason menghela napas. "Yeah, ayo cari soda."

"Dan Hilda," tambahku.

"Ya," sahut Jason. "Cari soda, Hilda, dan Chad."

Kami melewati karpet merah dan dihadang oleh dokumentasi acara. Mereka memaksa supaya kami tetap berfoto. Satu di antara mereka adalah Vera yang kini mengalihkan tatapannya dari kami. Jadi aku berpose di depan kamera, Jason memeluk pinggulku, dan kami tersenyum ketika kilat cahaya itu membutakan kami dalam setengah detik. Aku sangat yakin mereka junior, karena selain wajah mereka asing, mereka melakukan tos akrab dengan Jason.

Aku tak tahu kalau Jason seterkenal itu.

"Kau kenal mereka semua?" tanyaku.

"Ya, tidak, di antaranya." Jason mengangkat bahu. "Mereka teman-teman Vera. Kami dikenalkan."

"Kau punya hubungan dengan Vera?" Aku tak tahu mengapa suaraku terdengar menghakimi.

Jason tergelak. "Tidak, pacar. Aku tidak punya hubungan dengan Vera. Satu-satunya hubungan yang sedang kujalani saat ini adalah bersamamu―sampai tengah malam nanti. Jadi, jangan cemburu."

Pipiku terasa panas. Aku yakin aku butuh soda secepatnya.

"Vera memang... yah, menawarkan dirinya secara cuma-cuma. Tidak sulit melihat keinginannya untuk menyeretku ke tempat tidur dan melakukan blow job―"

Dia benar-benar mengatakan itu padaku? "Kau menjijikan," kataku memotong ucapan Jason.

"Tidak," sanggah Jason. "Milikku tidak menjijikkan. Milikku menggairahkan."

"Jangan bicara lagi padaku." Aku mengalihkan pandangan darinya. Pipiku panas. Kupu-kupu mengepakkan sayapnya lebih cepat. Otakku membayangkan miliknya.

Terkutuk.

Syukurlah tidak sulit menemukan Hilda dan Chad. Sepertinya mereka memang menunggu kami. Chad menggunakan kemeja putih dan rompi kelabu. Hilda mengenakan gaun putih yang membentuk tubuh berisinya, dadanya, sementara rambut pirang alaminya memang daya tarik tersendiri untuk sahabatku yang satu itu. Dua orang itu terlihat serasi. Chad yang agak pendiam, hari ini terlihat berbinar. Ia bahkan tidak bisa menjauhkan tangannya dari Hilda.

"Em!" panggil Hilda. "Kau sangat hot!"

Aku menyeringai. "Gaun putih dan dirimu juga hot."

Jason dan Chad melakukan tos. Mereka membisikkan sesuatu yang tidak bisa didengar kami para gadis.

"Tebak, apa," kata Hilda. Aku belum sempat menanggapi ketika Hilda melanjutkan. "Aku dan Chad resmi berpacaran."

"Apa?!" Itu suaraku.

"APA?!" Itu suara Jason. "Bagaimana mungkin kalian berpacaran? Kalian belum genap empat puluh jam berkenalan!"

"Bung," panggil Chad dengan senyuman... yang bagiku mengerikan, tapi Hilda berbunga-bunga menatapnya. "Yang benar lima puluh jam. Jika kita ambil waktu sekarang―" Ia melirik jam tangannya. "Ini resmi lima puluh satu setengah jam."

"Persetan denganmu," sembur Jason pada Chad.

"Sudahlah!" tegur Hilda seraya memutar mata. "Kami merasa cocok."

Yah, aku tidak khawatir. Aku hanya terkejut. Aku tidak benar-benar mengenal Chad selain suatu kali Jason mampir ke rumah dan terburu-buru pergi karena Chad bersamanya, atau saat aku ke rumah Paman Tery dan Chad sedang menginap. Dia teman Jason, hanya itu yang kutahu. Aku hanya tak mengira Hilda punya ketertarikan pada pemuda di bawah umurnya.

"Ini pesta! Ayo kita menari!" pekik Hilda. Ia menarik tangan Chad dan berjalan ke tengah.

Aku melirik ragu-ragu pada Jason. Aku tidak tahu apakah ia mau menari.

Jason juga melirik padaku seolah memperkirakan sesuatu.

"Minum dulu," kataku.

"Benar," jawab Jason. Ia menarik tanganku ke meja minuman terdekat. Mengambil soda untukku dan dirinya. Ia mengangkat gelas. "Bebas sampai tengah malam."

Aku tertawa seraya menyentuhkan gelas plastik kami. Kemudian aku meminum soda untuk menanggulangi panas dalam diriku. Tapi melihat Jason yang minum seraya menatapku dai atas gelasnya, membuat panas itu tak cukup mampu ditanggulangi secangkir soda.

Kami meletakkan soda ke meja. Aku menatap mata Jason yang terus mengejarku. Tangannya meraih tanganku dan membawaku mendekat padanya. Tubuhnya wangi. Dadanya terasa bidang di balik kemeja itu. Entah bagaimana Jason yang menyebalkan kini terlihat jantan, tegap, dan panas bagiku.

"Um, Em, maukah kau berdansa denganku?" tanya Jason.

Musik RnB sedang dimainkan. Sorak sorai tamu pesta menggema ke seluruh aula, namun setiap kata-kata Jason yang meragu malu menggema dalam diriku. Terpantul berulang-ulang ke bagian kepalaku. Aku tentunya tidak akan melupakan momen aneh ini.

Kami belum berada di tengah dan bergabung dengan para tamu yang menikmati musik cepat itu, namun aku melingkarkan lengan ke leher Jason. Ia meletakkan tangan di pinggulku. Gerakan kami berawal dari langkah lambat, namun kami sama-sama dengan cepat menyesuaikan irama musik mengentak. Jason menarikku lebih dekat dan memutar tubuhku. Punggungku menempel dadanya dan aku mulai bergoyang dalam pelukannya.

"Tahu apa yang kupikirkan?" bisik Jason. Ia mendengus ketika aku menekan tubuhku lebih dekat padanya.

"Apa?"

"Aku berpikir, ayahmu tak punya hak atas bokongmu. Bokongmu akan tetap menjadi bokongmu."

Aku tersenyum geli. Dan kini aku benar-benar merasa geli ketika dagu Jason mendarat di pundakku, namun rambut halusnya menggesek leherku.

Sial.

"Jadi aku lebih memedulikan ijinmu daripada ayahmu," lanjut Jason.

"Apa yang kau inginkan?" Aku tak tahu mengapa menanyakannya.

Jason kembali memutar tubuhku. Tangannya di punggungku, ia menarikku mendekat. Aku bersumpah dadaku bersentuhan dengan dadanya. Sialnya, aku yakin sepenuhnya bahwa puncaknya menegang.

Jason menatapku. Ia mendekatkan bibir ke telingaku hingga aku menahan napas. "Bolehkah aku meremas bokongmu?"

Jika hal ini terjadi berbulan-bulan yang lalu. Aku yakin aku menamparnya dan menyumpahinya. Aku bahkan tak akan ragu mengadukannya pada ayahku atau abangku. Tapi hari ini adalah hari aneh di mana seluruh pandanganku pada Jason yang kekanakan berubah menjadi Jason yang seumuranku, lebih dewasa, lebih tampan, lebih manis, dan banyak kelebihan lainnya yang suatu saat nanti ketika aku mengingat hari ini, aku jelas akan menyesal pernah berpikir seperti ini.

Namun tanganku terlepas dari leher Jason. Merambat ke belakang tubuhku, punggungku, di mana tangan Jason berada. Aku memegangnya, berkendali atas dirinya. Ia tetap menatap mataku ketika pelukannya terlepas. Ia tetap menatapku ketika tangannya kuposisikan menurun. Napasnya terengah ketika tangan itu telah kudaratkan di bokongku. Tangannya mengirim panas yang menjalari bokongku, kemudian sekujur tubuhku. Jason memejamkan mata saat meremas dan aku terengah.

Brengsek. Bagaimana mungkin aku menyukainya?

Jason membuatku lebih dekat lagi padanya. Musiknya masih menggema dan mengentak-entak. Pasang-pasang mata yang menatap kami. Tubuh kami membeku merasakan satu sama lain. Aku tidak peduli. Kami tidak peduli. Kami berdiri di sini, saling bertatapan, memiringkan kepala, dan kami berciuman untuk kedua kalinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top