1 . E - Emily
Jemariku tak mau menjauh dari bibir. Bibirku. Yang baru saja dilumat Jason Walsh―sepupuku. Dengan penuh gairah. Sebuah ciuman panas dan menggebu-gebu. Sialnya, aku menyukainya.
Aku sudah menduga jika Jason punya sepak terjang soal gadis-gadis. Aku yakin ia berpengalaman soal ini. Hanya saja... astaga, aku tak tahu jika dia pencium yang hebat. Aku tak bisa menghapus betapa nikmatnya ciuman itu. Betapa lembut dan kuatnya teknik berciumannya. Aku masih mengingat tekstur bibirnya. Cara jarinya mengusap bibirku yang basah karenanya.
Astaga, perutku melilit. Ada sesuatu yang berterbangan di sana. Rasanya seperti baru saja dikoyak tapi yang kuinginkan bukan muntah. Sebuah sensasi menyenangkan dan aku ingin mengulanginya. Lagi dan lagi.
Aku mengerjap dan kembali memfokuskan pandangan ke jalanan. Tanganku gelisah dan gemetaran di setir seolah aku sudah melewati batasku untuk tidak menghirup narkoba. Aku butuh narkoba sekarang juga. Dan Jason Walsh adalah narkobaku.
Aku memang pernah berkencan dengan beberapa pemuda saat aku SMA. Aku juga mengalami pencarian kepribadian ketika berada di asrama dulu. Aku membangkang peraturan berciuman. Aku melanggar jam malam untuk bercumbu dengan seseorang. Aku bahkan mendapat iming-iming malam kehilangan keperawanan terbaik. Tapi aku tak pernah merasa begitu terbakar hingga aku berharap Jason memerawaniku di lorong kampus.
"Sial," umpatku ketika kusadari aku bahkan melewati jalan masuk rumahku sendiri. Aku sudah lewat beberapa meter dan ini semakin konyol saja ketika aku bahkan melupakan rumahku sendiri.
"Bodoh." Aku menyumpahi diriku lagi. Aku memindah perseneling dan akhirnya memutuskan untuk parkir di tempat Callie. Dengan posisi mundur―yang mana tak pernah kulakukan sebelum hari paling aneh ini. Ayahku akan bertanya-tanya, tapi persetan.
Pintu rumah Callie terbuka lebar dan aku mendapati pemuda pirang gempal yang memandangku penuh penilaian. Ia memakai seragam SMA yang konyol dan aku bertanya-tanya apakah dia masih akan membanggakan sekolah mahalnya jika kukatakan seragamnya yang berwarna ungu itu konyol.
"Apa yang kau lakukan di sini, Emmy?!" teriak Corbin, putra Callie dari suaminya yang terdahulu.
Aku benci ketika seseorang memanggilku Emmy. Hanya abangku Ryan dan ayahku yang boleh memanggilku begitu. "Seragammu menggelikan, Corbin!" cecarku. Aku tak peduli tentang sikap sopan pada saudara tiri. Anak ini brengseknya setengah mati. "Ini Manhattan. Liberalis, demokratis. Kau bodoh kalau mau mematuhi peraturan seragam."
Corbin menatap seragamnya sendiri. Ia mengenakan sepatu kulit mengilap yang kuyakin akan ia pamerkan harganya karena ayahnya luar biasa kaya. Dan aku berhasil membuatnya tersinggung karena mengolok seragamnya. "Ungu adalah warna kesukaanku!"
"Hanya pria gay yang suka warna ungu!" teriakku.
Yang kudapati selanjutnya adalah pipi Corbin yang merona. Aku jelas membelalak, lebih terlihat marah―meski aku memang terkejut. Ya Ampun, saudara tiriku memang gay?! Aku selalu berangan bahwa Ryan itu gay karena dia tak pernah membawa wanita. Tapi setelah aku punya kakak ipar dan punya keponakan, aku tak siap dengan hantaman ini. Sebenarnya aku hanya asal bicara tadi.
"Aku... bukan gay!" bantah Corbin tak yakin. Ia menunjuk mobilku yang terparkir. "Kenapa kau parkir di sini?! Ini rumah ibuku."
Aku membanting pintuku dan menatapnya tajam. "Callie sekarang juga ibuku, Corbin. Berbagilah." Aku memutar langkah dan keluar dari halaman rumah Callie. Aku masih mendengar Corbin berteriak tapi kuabaikan. Aku berpapasan dengan Callie di beranda rumah ayahku.
Yah, begitulah jika kau menikah dengan tetanggamu.
"Ada apa?" tanya Callie yang selalu menyadari perubahan suasana hatiku. Ia melirik ke pintu rumahnya yang dibanting Corbin. Callie menghela napas. "Kenapa parkir di sana?"
Aku mengangkat bahu dan memasuki rumah. Ayahku sedang menonton TV di sofa nyaman, menonton saluran berita. Aku menjatuhkan diri di sampingnya.
"Bagaimana kampus?" tanya ayahku.
Seketika itu juga Corbin lenyap, Jason melayang-layang. Yah, keponakanmu baru saja menciumku dengan ganas, Ayah. "Tidak ada yang seru," jawabku datar dan berharap ayahku tidak menyadari rona di pipiku.
Meski begitu, ayahku menatap dengan penuh penilaian. Namun ia bungkam. Ia berdeham. "Apakah... Linc masih brengsek? Um, suasana hatimu sepertinya tidak terlalu bagus."
Itulah mengapa aku disebut anak ayah. Tak ada yang bisa kusembunyikan darinya. "Aku sudah lupa pada Linc." Aku bahkan tak pernah benar-benar mengingatnya. "Ayah, tahukah kau bahwa Corbin itu gay?"
Ayahku mengangguk seketika. "Tentu saja."
"Apa?" pekikku. "Kau tahu putra tirimu gay dan kau tenang-tenang saja?"
Ayahku menghela napas. "Em, kau sendiri yang bilang kau tidak mau punya saudara tiri. Lagipula, kau tahu Corbin bahkan tak menganggapku ayah tirinya. Tidak ada masalah. Corbin akan tinggal dengan ayahnya di istana. Aku tak peduli jika dia gay atau ateis atau bahkan terjangkit organisasi radikal. Itu urusan ayahnya."
Bagaimanapun, aku lega. "Tapi Callie lah yang akan memikirkannya. Corbin putra satu-satunya."
Ayahku mengendik. "Aku yakin Callie akan bijak menanggapinya."
"Tahukah kau Corbin ada di sebelah?"
Ayahku mengangguk. "Callie bilang Corbin memang akan berkunjung. Ia akan makan malam dengan Callie. Waktu ibu dan anak?" Ayahku mengangkat bahu. "Aku akan dirumah sendiri dan... menunggu kau dan Jason pulang."
Astaga, seperti itu perlu dilakukan saja.
"Ayah, aku berumur dua puluh tahun."
Ayahku mengangguk. "Benar. Usia rentan yang harus kukhawatirkan. Jangan coba-coba membantahku, Emmy. Aku tidak main-main."
Aku menghela napas.
Kemudian Callie masuk seraya membawa gantungan baju yang tertutup plastik gelap. "Lihat yang kubawa!" serunya. "Aku sudah menyiapkan ini sejak ayahmu mengijinkanmu datang ke pesta."
Astaga. Aku membelalak dan segera bangkit menyambar gantungan itu.
Callie menjauhkannya dari dan menggeleng penuh taktik. "Ini kejutan, Sayang. Mari kejutkan ayahmu."
Ayahku menggeleng muram. "Aku tidak suka kejutan."
"Kau akan suka." Callie mengerling pada ayahku. Ia mendorongku ke kamarnya dan mengunci pintu. "Ketika aku melihat gaun ini, aku membayangkan kau akan terlihat sangat hebat."
"Kau membelikanku gaun?"
Callie mengangguk. "Aku tahu kau tak punya banyak gaun. Katakan jika kau menyukai ini. Aku akan membelikanmu lebih banyak gaun."
Benar. Gaun. Mungkin aku bisa menarik seorang pemuda dengan gaun. Ada masa di mana aku muak dengan celana jins dan jaket kulit hitam. Tapi hari pertama rokku―yang dibeli Callie―tidak berjalan baik. Aku sedikit traumatis karenanya.
Callie membuka plastik pembungkus. Menampakkan sebuah gaun polos berwarna biru elektrik. Gaun itu berbahan spandeks yang pastinya akan melekat di tubuhku. Aku menyambar gantungan itu dan mengepasnya dengan tubuhku. Aku memutar diri menatap cermin di mana rok pensil gaun itu akan berakhir di pahaku. Sebuah gaun tanpa lengan yang menutupi bagian dada, namun mengekspos bagian punggungku dengan huruf X.
Aku tersenyum. Callie tersenyum.
"Cobalah," katanya.
Aku melepas kaus, celana jins, dan sepatu. Menyisakan bra dan celana dalam senada. Aku membuka ritsleting, mendahulukan kakiku, sebelum menariknya ke atas. Callie membantuku menutup ritsleting.
Aku menatap diriku. Dengan rambut pendek. Gaun biru yang melekat. Warna biru yang sempurna. Aku terlihat sangat berbahaya. Seksi, sudah jelas Aku bahkan tidak merasa sesak atau gatal di bagian manapun. Gaun ini sempurna.
"Linc akan menyesali ini seumur hidupnya," kata Callie.
Aku menatapnya dan memeluk. "Gaun ini keren!"
Callie membalas pelukanku. "Kau suka?"
Aku menarik pelukan. "Tentu saja." Aku menatap cermin lagi. "Aku sudah bisa membayangkan riasan apa yang kukenakan malam ini."
"Aku tahu kau jago bagian itu." Callie mengerling. "Ayo pamerkan ini ke ayahmu."
Aku pun bersemangat soal itu. Aku membuka pintu lebih dulu. Berjalan dari lorong menuju ke sofa santai ayahku dengan gaya panggung meskipun aku bertelanjang kaki. Ayahku yang melihat kehadiranku terbelalak. Aku memasang senyum menawan.
"Apa-apaan―" Ayahku tercekat. "Kau... terlihat seperti dua puluh tujuh tahun!"
Aku tertawa. "Trims."
"Itu bukan pujian!" cecar ayahku.
Callie memutar mata. "Ayolah, Will. Tidak ada salahnya Em berpenampilan dewasa."
"Tapi―"
"Dia ingin membalas dendam, kan?" potong Callie sebelum ayahku menyela. "Dia harus maksimal dan habis-habisan. Aku tidak mau putriku dianggap sebelah mata. Pemuda itu harus tahu siapa putriku sesungguhnya. Aku akan membuatnya seperti mutiara dalam kerang. Dia tidak tahu bahwa Emily yang ia kenal, bisa menjadi luar biasa."
"Aku suka gaun ini," ujarku seraya tersenyum.
Ayahku mendengus. "Aku benci gaun itu."
"Tidak," sela Callie. "Kau cantik dengan itu."
Ayahku menghela napas, memejamkan matanya, dan menenggelamkan kepala ke bantal sofa. "Ingatkan aku untuk memasang rantai pada Emily setelah pesta ini."
Kemudian aku melakukan tos dengan Callie.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top