1 . C - Emily
Jika sepanjang minggu ini Jason merecokiku selama di kampus, perilakunya menjadi luar biasa lain ketika ia berkunjung ke rumahku bersama dengan Paman Tery. Mereka datang membawa masakan cina yang disambut antusias oleh Callie, istri ayahku sekaligus ibu tiriku selama setahun ini. Wanita itu menyukai berbagai masakan Asia hingga aku pun kini menyukainya.
Jason tidak menatapku terang-terangan seperti yang ia lakukan di kampus. Sering kali aku merasa tatapannya merosot ke pahaku meski kami berada di area umum sekalipun, tapi malam ini dia tidak melakukannya. Ia tidak banyak membualkan omong kosong yang berisi pujian tak penting. Ketika ia berpapasan denganku di dapur untuk mengambil gelas, ia hanya mendengus dan memberikan tatapan sengit.
Seolah kami kembali ke usia sepuluh tahun dan kami bersaing untuk menimbun tanah sebanyak-banyaknya padahal kami tahu bahwa itu tindakan sinting.
Dan sekarang aku berpikir bahwa diriku sudah sepenuhnya sinting karena terheran pada sikap Jason. Astaga, ada apa sih dengannya? Apa dia mengidap kepribadian ganda? Bagaimana mungkin ia mengekoriku seolah aku adalah induk ketika di kampus, tapi sekarang ini kami kembali seperti musuh bebuyutan?
Yang sebenarnya, aku memang lebih suka menganggapnya musuh bebuyutan.
Perhatian Jason dengan menyebutku cantik, seksi, dan segala rayuan itu membuat perutku terpilin.
"Menjauhlah, gadis tua," olok Jason ketika aku meraih merica di konter dapur.
Aku yakin selama sepersekian detik mulutku ternganga sebelum aku mencecarnya. "Persetan denganmu, Jason."
"Yeah," dengus Jason. "Persetan denganmu juga, Emmy."
Aku menekuk lengan ke perut, menatap tajam, dan siap bertarung. "Jangan memanggilku Emmy, bayi."
Kupikir Jason akan mencecarku lebih lanjut seperti biasanya. Perdebatan kami memang tak pernah berakhir sampai seseorang melerai. Tapi akhir-akhir ini aku merasa Jason semakin bebal dengan kata-katanya yang mirip rayuan. Itu praktis membuatku berpikir bahwa sia-sia saja melawan seseorang yang tidak ingin melawan. Lagipula, aku tidak mau terjerumus pada apapun permainannya.
Yang satu ini akan menjadi seperti biasanya. Aku siap menyumpahinya dengan berbagai kata-kata, tapi Jason justu mengerutkan bibirnya dengan begitu imutnya. Kakiku seperti jeli ketika ia tersenyum menatapku.
Astaga.
"Em, aku ini sembilan belas tahun, lebih tinggi darimu, dan... jantan. Aku sama sekali bukan bayi meski aku lebih muda darimu―hanya satu tahun. Kau mungkin perlu tahu itu."
Apa dia benar-benar mengatakan jantan padaku? Aku meringis. "Kau menjijikkan!"
"Sudah," lerai Callie kemudian, yang entah datang dari mana. Ia mengambil merica dari tanganku dan menyeretku ke meja makan. "Memangnya berapa umur kalian hingga masih bertengkar seperti itu? Bisakah kalian tidak bermusuhan sekali saja ketika bertemu?"
"Mungkin seharusnya ada yang mengibarkan bendera putih untuk pertama kalinya," usul Paman Tery.
Aku mendengus kesal. "Tidak akan. Jika pun ada, orang itu harusnya Jason."
"Aku tidak punya bendera putih," kata Jason yang mengambil tempat di sebelah Paman Tery. "Aku tidak mau mengibarkan bendera putih."
"Boxermu pasti berwarna putih," cecarku.
Jason menyipit. "Kau tak tahu warna boxerku."
"Emily, bisakah kau tidak, um, membicarakan boxer?" tegur ayahku. "Kau membuatku khawatir."
"Benar," sahut Jason. "Aku juga khawatir. Ada gadis yang tahu warna boxerku."
Aku melotot padanya, begitu pun ayahku.
"Aku akan menghabisimu untuk itu, Jason," tukas Ayahku.
"Aku ikut dengan Will," dukung Paman Tery.
"Tolong semuanya tenang. Kita sedang di meja makan," tegur Callie. Kemudian yang terjadi selanjutnya adalah kami makan dengan tenang. Pembicaraan didominasi oleh ayahku dan Paman Tery yang membicarakan bisnis. Callie menyahut sesekali.
Aku menatap pemuda di depanku yang makan dengan serius. Ia juga tidak mengatakan apapun, tetapi aku bersumpah matanya berkilat-kilat. Aku menjaga mulutku hanya untuk makan saja karena aku masih kesal Jason menyebutku gadis tua. Aku ingin sekali berteriak padanya, bahkan melempar sesuatu padanya.
Memang bukan masalah berarti. Jason selalu menyebutku begitu. Tapi ketika umurku dua puluh dan aku tidak pernah sekalipun menjalani hubungan dengan seorang pemuda, aku bahkan tidak bercumbu dengan seorang kencan cepat―ini mulai mengkhawatirkan. Bisa jadi Jason mengolokku habis-habisan, mengataiku perawan. Padahal sebenarnya memang begitu. Kuduga Jason pernah memikirkan betapa kemungkinan itu bisa terjadi dan dia merasa menang karena ia jauh lebih berpengalaman daripada aku padahal umurnya masih sembilan belas.
"Paman Will, kau tahu tidak," ujar Jason dengan setengah mengunyah. Ia tidak terlalu cerewet jika dibandingkan dengan Jason Kampus. Selama makan malam berlangsung ia hanya bertanya sebanyak lima kali berhubungan dengan bisnis yang ayahku dan Paman Tery bicarakan.
Jadi sekarang aku bahkan menghitung berapa kali Jason berbicara selama makan.
Terkutuk.
Semua orang menatap Jason karena pembicaraan bisnis telah berakhir. Kupikir aku menghitung karena aku merasa waspada. Kemudian yang kusadari bahwa aku melupakan satu hal penting yang kemungkinan besar akan terjadi ketika Jason terlibat pembicaraan dengan ayahku.
Aku ingat soal akhir pekan dan aku tidak tahu apakah Jason memang berani meminta ijin pada ayahku sebelum ia ditinju lebih dulu. Tapi situasinya tidak dapat diprediksi karena Jason datang bersama ayahnya. Kemungkinannya, ayahnya akan membela aku atau Jason. Tapi dari pengalaman yang sudah-sudah dan dari dua puluh menit yang lalu, Paman Tery selalu membelaku karena aku tuan putri di keluarga ini.
Jason memulai dengan senyum muram. "Apakah di sini tak ada yang menyadari bahwa Em sedang patah hati?"
Tunggu dulu.
A-apa?
Dan semua orang memandangku. Jason juga menatap sedih padaku. Aku berharap aku tahu isi kepalanya sebelum kulemparkan pada hiu di laut.
Callie menyentuh bahuku. Mata birunya memandangku penuh kecemasan. "Ada masalah apa? Kau bisa cerita padaku."
"Ada apa?" Kini ayahku yang antusias. Ayahku selalu antusias tentang segala hal yang menyangkut diriku.
Jason mendesah dan aku tahu dia sedang merencenakan sesuatu. Aku hanya tak bisa melawannya untuk sekarang karena aku tak tahu permainan apa yang sedang ia mainkan. "Jadi, um... maaf, Em. Tapi aku tak tahan lagi."
"Jason―"
"Seorang bajingan baru saja menolak Em," potong Jason lebih dulu sebelum aku mengingatkan. "Jadi ada pesta penyambutan akhir pekan ini dan seluruh mahasiswa boleh datang untuk menyambut. Em mengajak... um... Linc? Benarkah namanya Linc? Tapi Linc justru pergi bersama gadis lain."
Ke-pa-rat.
Aku menatap ayahku yang menatap tajam padaku. Callie yang menatap sedih. Aku menggeleng sebisaku. "Tidak. Itu―"
"Katakan dia tidak melakukan sesuatu yang buruk padamu," tukas ayahku. "Apakah kalian tidur bersama dan dia meninggalkanmu? Apakah dia bahkan bertanggung jawab dengan mengantarmu pulang?"
Jason yang menjawab lebih cepat. "Tidak. Aku yang menenangkannya."
"Oh, Jason," desah Callie. Ia bangkit dari kursinya dan memeluk dari balik leherku. "Aku menyesal, Sayang."
Sementara aku melotot pada Jason, aku bersumpah seringainya muncul sepsersekian detik sebelum ia kembali mengangguk muram pada kondisiku―yang ia ciptakan sendiri.
"Sudah kubilang, jangan ada laki-laki dulu," tegur ayahku. "Setidaknya sampai umurmu dua puluh lima."
Astaga, ayahku tak perlu mengingatkan itu di depan Jason.
Sekarang kenyataan aku adalah perawan mungkin terpampang jelas seolah aku menulisnya di dahiku.
"Ayah, aku dua puluh tahun dan, um, aku tentu sudah bisa menentukan keputusan. Aku bisa menyukai laki-laki mana saja, kan?" Sial, rasanya sulit sekali mencoba membicarakan ini. Aku tak pernah-pernah benar-benar membicarakan ini. Aku cukup tahu seperti ayahku dan aku bersumpah aku mengerti. Tapi ketika beberapa menit yang lalu aku baru saja memikirkan betapa menyedihkannya kehidupan percintaanku, kini ayahku memperburuk suasana hatiku.
"Pokoknya tidak boleh!" tukas ayah. "Apalagi Linc yang menyakiti hatimu." Ia menatap Jason. "Siapa nama belakangnya?"
"Kau tidak berniat melakukan sesuatu pada Linc, kan?!" sahutku. Astaga, aku bahkan tidak dekat dengan Linc. Aku tidak meminta Linc menjadi pasanganku ke pesta. Aku bahkan tidak bermimpi Linc menjadi pasanganku. Aku bahkan tidak berniat pergi ke pesta itu. Terkutuk Jason.
"Siapa nama belakangnya?" tuntut ayahku lagi.
"Um," Jason ragu-ragu. Ia menatapku dengan tatapan sulit diartikan. "Linc ini... senior Em. Jadi dia dua tahun di atasku. Dia... um, apakah dia pemain football? Apakah dia inti atau cadangan? Aku tak tahu, Paman Will. Aku... um, hanya junior."
Ayahku menatap tajam padaku. Ia juga menuntut jawaban dariku.
Aku menggeleng. "Aku tidak akan mengatakan apapun. Tanya Jason."
Ayahku menyeka mulutnya dengan serbet dan berkata tegas tak terbantahkan. "Baiklah, jika kalian berusaha melakukan ini padaku. Aku akan turun sendiri untuk mencari pemuda yang menyakiti putriku."
"Astaga, Ayah!" desahku. "Itu bukan apa-apa. Jika memang sesuatu itu terjadi―um, Linc menolakku. Itu bukan masalah. Pemuda datang dan pergi."
"Aku tidak mau bajingan datang dan pergi untuk menyakitimu," kata ayahku. Terkadang keposesifannya bisa membuatku gila.
"Ayah, aku berumur dua puluh tahun―"
"Kau tetap putriku," desis ayahku untuk memotong.
Jason lebih cepat menyambar. "Begini, Paman Will, sebenarnya aku berniat menjadi sepupu yang baik untuk Em."
"Hentikan omong kosongmu, Jason," sergahku.
Namun semua orang lebih antusias menatap Jason. "Aku yang akan memberi pelajaran pada pria itu." Ia menatap Paman Tery. "Bolehkah aku berkelahi?"
"Untuk Em," Paman Tery melirikku. "Ya."
"Bagus." Jason mengusap tangannya seolah tak sabar meninju. Senyumnya berubah lebar. "Jadi pertama-tama aku ingin mengejeknya dengan memperlihatkan bahwa Em bisa mendapatkan pasangan selain dia. Yang jauh lebih tampan, itu aku."
"Aku ragu kau bisa mengalahkan ketampanan Linc," cecarku. "Dia pirang, berkarisma, dan punya senyuman maut."
Jason mendengus. Ia lebih fokus pada semua orang. "Aku bisa berubah tampan. Ya, kan, Ayah?"
Paman Tery mengusap dagunya yang ditumbuhi rambut halus. "Um, kurasa bisa."
"Dengar itu," ujar Jason padaku. Kemudian ia kembali membual. "Aku akan menjadi pasangan Emily di pesta itu. Lalu aku akan membuat Emily secantik mungkin sampai Linc menyesali keputusannya. Dan ketika Linc memohon Em kembali, aku akan menjadi pelindungnya dan memperingatkannya untuk menjauhi Em. Satu atau dua atau lima tinjuan pasti bukan masalah."
Aku menganga menatapnya. Aku memikirkan beragam skenario yang mungkin terjadi ketika Jason meminta ijin pada ayahku. Tapi jelas bukan seperti ini, dengan memfitnahku bahwa aku tidak terlihat menarik untuk Linc.
Idiot picik.
Ayahku menatap penuh peringatan pada Jason seolah Jason baru saja menyuruh ayahku menandatangani dilepasnya sebagian organ vitalnya. Namun sentuhan Callie di legannya membuatnya teralih. Ketika Callie tersenyum aku bisa merasakan ketegangan ayahku yang beangsur surut. Sementara itu, Paman Tery mengamati putranya dengan pikiran menimbang―mungkin ia sudah punya rencana untuk mempermak Jason? Siapa yang tahu?
"Itu ide bagus!" sahut Callie. "Laki-laki itu harus diberi pelajaran pertama betapa mempesonanya putriku sebelum mendapatkan peringatan sesungguhnya. Kau tentu akan mengijinkannya pergi, kan?" tanya Callie pada ayahku.
Ayahku terlihat ragu. Jason hanya membalas tatapannya tanpa dosa, sulit sekali melihat kebohongan dalam ceritanya. "Hanya sampai tengah malam."
Apa itu?
Aku ternganga. Alisku bahkan naik seketika.
Aku diijinkan pergi?
Astaga. Astaga. Astaga.
ASTAGA!
Jason tersenyum lebar pada semua orang dan matanya berkilat seolah di kepalanya hanya ada ide licik. Dan kusadari memang itu kebenarannya karena aku baru saja menjadi korbannya. "Jadi, Em, mari kita susun taktik untuk kencan balas dendam." ujar Jason sambil menyeringai padaku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top