1 . B - Jason
"Aku sudah membuat daftarnya," kata Chad setelah menyesap sodanya. Ia mengeluarkan kertas terlipat dari saku kemejanya dan memberikannya padaku. "Aku benar-benar akan mendapatkannya."
Aku membuka kertas itu dan di sana tertulis tiga nama wanita yang samar-samar terdengar tak asing untukku. Aku membacanya keras-keras. "Lisa Kimbers. Julianne Clark ... uh, Maggie Zen? Siapa itu Maggie Zen? Siapa pula yang menamai anaknya Maggie Zen?"
Chad menyambar kertasnya. Ia terlihat gusar karena pernyataanku. "Maggie Zen itu seksi! Dia punya pantat bagus."
"Aku tak tahu siapa itu Maggie Zen dan aku tidak tahu seberapa seksi pantatnya." Aku membayangkan pantat seksi. Dan yang dipikiranku adalah segala hal yang mungkin berada di rok putih yang ternoda soda merah itu... oh, astaga, aku bergairah bahkan saat tidak didekatnya. "Untuk apa tiga nama itu?"
Chad meninju ringan bahuku. "Kau tentu masih ingat bahwa kita punya kesepakatan mencari kencan untuk pesta akhir pekan nanti, kan? Kemarin, aku berkenalan dengan mereka. Aku melihat peluang ketika mereka mencuri pandangan padaku. Mereka berusaha menggodaku. Aku mengurutkan dari angka satu sampai tiga dan Lisa Kimbers adalah yang paling berpotensi untuk kuajak ke sana karena dia terlihat habis-habisan menggodaku."
Aku menepuk prihatin bahu Chad. "Man, aku menyesal mengatakan ini, tapi bukan rahasia lagi kalau Lisa Kimbers sudah tidur dengan separuh tim football. Berita itu tersebar bahkan sebelum kita menghabiskan kelas musim ini. Dia memang menggoda siapa saja. Coret dia."
Chad mendengus. "Aku berpikir, mungkin seksnya bagus. Dan setelah pesta, kami bisa bersenang-senang."
Meski Chad adalah sobat yang paling mengertiku sejak SMA, tapi aku harus mengasihaninya untuk perkara ini. Entah Chad menyadarinya atau tidak, tapi pria ini selalu menyambar kesempatan yang ada. Kutu buku, perawan putus asa, jalang tanpa hiburan. Chad tidak semenarik itu untuk ditarik ke sana-sini oleh para wanita. Tak ada yang salah darinya baik dari sikap maupun penampilan, hanya saja Chad tidak terlalu menarik perhatian sekitar―wanita-wanita itu.
Memangnya siapa yang tahu apa yang dipikirkan para wanita? Spesimen itu nyaris sulit dimengerti.
"Lisa akan berada di sini sekitar sepuluh menit lagi," kata Chad. Ia melirik ke arah masuk kafetaria kampus. Aku pun melakukan hal serupa. "Aku tak sabar untuk melihatnya."
"Yeah, aku juga." Bukan berarti aku ingin melihat Lisa. Aku juga tahu bahwa Emily akan datang sepuluh menit lagi. Bagaimana aku tahu? Tentu saja aku tahu. Paman Will memberiku kiat memata-matai profesional. Ia menyuruhku mengawasi Emily dan kupikir ini menjadi kebiasaan sejak beberapa minggu. Lihat? Beberapa minggu aku memperhatikan Emily, sekarang aku tak bisa berhenti. Aku sekarang tahu kebiasaannya di kampus, tahu ke mana ia akan menuju pada jam-jam ini, tahu toilet mana yang sering ia datangi. Sepertinya aku tahu segala hal tentang Emily kecuali warna celana dalamnya hari ini.
"Kau membuat daftar?" tanya Chad.
Aku beralih padanya dan menggeleng. "Sebenarnya, aku sudah dapat."
Chad tercengang. "Brengsek."
Aku tak mengerti mengapa ia menyumpah padaku padahal ia sendiri tahu bahwa tidak seharusnya memberikan tantangan semacam ini padaku―yang jauh lebih beruntung darinya soal wanita. Bukan berarti menyombong. Tapi siklusnya memang terlihat jelas bahkan bagiku sendiri.
"Siapa wanitanya?"
Aku membuka sodaku hingga berdesis. "Emily Archer."
"Hah?"
Aku menatapnya. "Apa?"
"Kau mengajak... siapa?"
Aku mendengus. "Emily Archer. Kau bukannya tak kenal dia."
Chad mengangguk mesku wajahnya terguncang. "Aku tahu siapa itu Emily. Dia itu sepupumu. Dia tidak masuk hitungan wanita yang bisa diajak kencan. Mengajak Em sama sekali tidak terlihat menantang."
Aku menatapnya dengan serius. Astaga, apa Chad tahu bahwa Emily adalah tantangan terbesar? Aku bisa mendapatkan wanita di luar sana, tapi aku harus mempermalukan diri demi memohon padanya.
Catat, aku memohon.
Aku tak pernah memohon pada wanita. Dan tantangan ini masih tidak ada apa-apanya dibanding setelah aku meminta ijin pada Paman Will―tentu saja syarat itulah yang Emily minta, seharusnya aku tahu. Setidaknya, aku harus menyiapkan salep penghilang memar untuk berjaga-jaga.
"Kau jelas tidak akan melakukan seks dengannya!" tukas Chad. "Itu inses."
Aku memajukan tubuh dan berkata dengan suara rendah. "Acak-acak isi kepalaku, Chad. Aku bersumpah yang kuinginkan seumur hidupku adalah bercinta dengan Emily Archer. Dan, tidak, itu bukan inses. Brengsek, aku bahkan tidak memiliki hubungan darah dengannya. Aku anak adopsi, ingat? Ayahku dan Ayah Em bahkan tidak berasal dari DNA yang sama. Mereka hanya terlihat seperti keluarga."
Chad membuat raut mual. "Aku masih tidak bisa membayangkannya. Aku punya sepupu adopsi tapi aku tak sekalipun berniat gila sepertimu."
Aku mendengus. "Ini hanya kencan untuk pesta, oke? Aku tidak akan melakukan yang tidak perlu." Meskipun, yah, aku berharap.
Perhatianku teralihkan oleh kehadiran Emily. Rambut gelapnya yang selalu pendek seolah mengolokku untuk menerjang lehernya yang terbuka. Ia mengenakan jaket kulit yang melekat pada tubuhnya dan aku berani bertaruh setelah jaket itu hanya ada tanktop dan bra―atau mungkin ia hanya menggunakan tanktop karena berusaha menggodaku. Hari ini ia tidak mengenakan rok seperti kemarin―sebelumnya ia tak pernah memakai rok ke kampus, aku menyesal merusak hari rok yang menawarkan akses untukku―tapi ia selalu luar biasa dengan jins hitam. Tatapan mata gelapnya kunantikan untuk menatap jengkel padaku, namun sialnya, yang kudapati adalah dirinya yang menatap jengkel pada pria lain.
"Siapa dia?" tanya Chad. Dagunya menunjuk ke arah pria yang membuntuti Emily.
"Akan kucaritahu." Aku bangkit, membawa ranselku di satu lengan, dan menuju ke arah meja yang dituju Emily bersama teman perempuannya yang berambut pirang gelombang dengan tubuh berisi dengan lekuk, yang kuketahui bernama Hilda.
Pria itu bahkan masih membuntuti hingga meja mereka. Emily jelas-jelas memutar mata dan mendengus. Semakin aku mendekat, aku pun bisa mendengar apa yang dikatakannya. Aku bisa semakin bisa melihatnya, yang berambut ikal cokelat, yang mengenakan kemeja necis dan jam tangan mahal. Lebih dari itu, pria ini keparat sungguhan.
"Jadi, jika kau tidak menerimaku sebagai pasangan, setidaknya aku tahu apa alasanmu akhir pekan ini," kata pria itu.
"Enyahlah, Brian," dengus Emily.
Pria itu, Brian, terkekeh. "Jangan jual mahal, Sayang. Aku hanya berencana untuk menyenangkanmu."
Brengsek.
"Jika aku jadi kau, aku akan berhenti bicara sekarang, Brian," cetus Hilda. Ia melirik ke balik bahu Brian, ke arahku. "Alasan akhir pekan Emily sudah ada di belakangmu."
Brian menengok dan menatap sinis padaku. Aku memberikan tatapan bermusuhan tapi para pria selalu memperingatkan tanpa kata-kata pada tahap pertama.
Tanganku terkepal dan siap melayangkan peringatan tahap kedua, namun Chad menarikku mundur.
Brian kembali pada Emily. "Kau pergi dengannya ke pesta itu?"
"Yap." Itu Hilda yang menjawab dan Emily melotot pada sahabatnya seolah telah membocorkan rahasia. "Dan, astaga, kau tidak akan berhasil, Brian. Ajaklah siapa saja. Emily sudah berkata tidak ribuan kali!"
Raut Brian yang tadinya lunak pada Emily berubah sinis. "Suatu hari nanti, Archer. Kau tidak selamanya tidak membutuhkanku. Kau tidak akan selamanya menolakku."
"Kau bisa tutup mulut, bajingan," balasku.
Brian melotot namun tak menjawab. Ia hanya mengambil langkah berbalik dan meninggalkan kafetaria.
"Orang idiot," kata Hilda. "Beritahu aku sesuatu yang lebih keras dari batu, otak Brian pasti terbuat dari itu."
"Um, besi? Baja?" jawab Chad ragu-ragu.
Aku melirik ke arah Chad yang tiba-tiba menyambar pembicaraan dengan Hilda padahal aku yakin mereka tidak saling kenal. Hilda mengerjap dan bibirnya berkedut mengamati Chad. Oke, itu aneh. Tidak ada wanita yang berkedut malu-malu seperti itu ketika menatap Chad.
"Kau mungkin ingin mengenalkanku," usul Hilda pada Emily.
Emily mendengus. Ia menunjukku dan Chad bergantian. "Jason Walsh, sepupuku. Ini Chad―uh, Charlie Dean. Terserah. Semua orang memanggilnya Chad."
Hilda hanya mengulurkan tangan pada Chad dan dibalas antusias oleh pria itu. "Hilda Abelard."
"Apakah Brian tadi mengganggumu?" tanyaku pada Emily.
Yang tentu saja dibalas dengusan Emily.
Hilda menjawab. "Pesta penyambutan junior, ingat? Brian meminta Emily menjadi pasangan―"
"Memaksa," koreksi Emily.
"Memaksa," Hilda membenarkan. "Dia menyambar kesempatan itu setelah tahu Lincoln March sudah punya pasangan."
Aku tahu siapa itu Lincoln March. Dia adalah ketua panitia untuk pesta itu. "Ada apa dengan Linc March?"
Hilda menyeringai. "Emily naksir Linc sejak tahun petama."
Brengsek.
"Hill!" bentak Emily. Ia melotot padaku. "Bukan urusanmu, Jason."
Hilda mengangkat bahu. "Astaga, memangnya siapa yang tidak suka dengan Linc?"
"Kau suka?" tanya Chad sekali lagi. Dan dia bicara tiba-tiba.
"Um," Hilda berpikir. Ia mengamati Chad untuk sesaat dan entah ini hanya halusinasiku atau sesuatu, tapi aku melihat Chad merona. "Kupikir, yah, tidak. Maksudku, tidak realistis menyukai seseorang yang bahkan butuh waktu beberapa detik untuk mengingat namaku. Jadi, buat apa?"
Aku bersumpah mendengar Chad menggumamkan, "Hilda Abelard."
"Kenapa kau tidak bilang bahwa kau adalah pasanganku?" tanyaku pada Emily.
Emily menatapku seolah kata-kataku menyulut perang. "Ada beberapa hal yang perlu kaubayangkan, Jason. Bayangkan jika aku berkata bahwa aku akan berkencan dengan junior, Brian tak akan menyerah. Bayangkan jika aku berkata bahwa orang yang jadi kencanku adalah sepupuku, Brian masih tidak menyerah. Jadi aku tidak mengaku. Tidak ada yang berubah, kan? Nilai positifnya, belum ada yang tahu kalau kau akan menjadi pasanganku."
"Kecuali aku," sambar Hilda.
Emily memutar mata. "Trims untuk itu. Sekarang dia tahu."
Hilda terkikik. "Sekarang, temanku yang jarang berpesta akan mengikuti yang satu ini. Tentu aku tak akan melewatkan ini. Aku hanya punya satu masalah tersisa."
"Apa?" Itu Chad yang bicara.
Hilda memiringkan kepala menatap Chad. Mulai dari rambut kecokelatannya yang lurus, warna kulit yang terlalu pucat, rahang wajah yang terlalu tegas, sampai ke kausnya yang kumal. "Aku harus mencari pasangan dalam waktu tiga hari. Karena, yah, aku tidak mau merecoki temanku yang punya kencan."
Chad mengerjap cepat. Ia mengeluarkan kertas tiga nama dari sakunya. Merogoh pulpen secepat dari tas selempangnya. Ia mencoret seluruh nama dan menuliskan: Hilda Abelard. "Hilda... Hilda Abelard. Aku ingat namamu dalam nol koma nol dua detik. Apakah dengan begitu kau mau jadi kencanku ke pesta nanti?"
Apa―apa-apaan dia ini?
Semua yang ada di meja ini tercengang menatap keberanian Chad. Meskipun di sini hanya aku yang mengerti apa arti tiga nama itu. Aku tak pernah melihat Chad memusatkan tujuannya karena ia selalu mengambil segala pilihan yang tersedia. Bagaimana mungkin kali ini hanya menginginkan Hilda?
Hilda pun tertawa anggun. Nyaris seperti menggoda ketika tawanya untuk Chad. "Sebenarnya, yang tadi itu nol koma lima detik."
Chad merona. Dan kali ini aku tidak berhalusinasi. "Aku yakin akan memperbaiki catatannya."
Hilda tersenyum dan mengendik. "Oke. Akhir pekan."
Chad tersenyum lebar dan entah mengapa aku ikut merasa senang untuknya. "Omong-omong, Hilda Abelard, kau cantik hari ini."
Hilda merona dan menggumamkan, "Trims."
Aku menatap Emily dan tersenyum. Dan aku mengambil setiap kesempatan yang ada untuk berusaha. "Um, Em, kau selalu cantik dengan jaket hitam."
Tetapi yang kudapat hanya dengusan Emily.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top