The Welcome and The Ten Core Rules

Ada beberapa kurcaci membawakan barang kami ke dalam bagasi kapal. Mereka sebenarnya cukup lucu, namun judes. Bastian hendak menyentuh salah satu dari mereka, tapi mereka malah menggeram marah.

Baru sepuluh menit kapal ini berlayar, aku sudah mabuk laut. Isi perutku seperti dikocok-kocok dan dipaksa keluar. Aku tidak bisa menahannya lagi setelah berganti pakaian dengan seragam resmi Draserra Academy.

Aku muntah. Seluruh isi perutku yang baru sempat kuisi roti sarapan tadi keluar ke laut. Bastian memberiku kantong muntah bergambar anak kucing yang bermain bola benang.

"Keluarkan saja, Allegra."

"Kau baru pertama kali naik kapal?" Laren menyodorkan selembar tisu

Aku mengelap bibirku. "Ya."

Bastian mengajak kami masuk ke dalam kapal. Isi dalam kapal sudah jauh beda dengan yang aku lihat di filmnya. Seluruh kapal diisi oleh ruangan kaca berbentuk kotak. Kami dapat satu tempat kosong di pojok.

Di dalam ruang kaca itu cukup nyaman. Sebuah AC dan karpet merah beludru dilengkapi bantal-bantal empuk yang kelihatannya nyaman dipakai. Bastian dan Laren langsung menerjang masuk. Mereka seperti anak anjing yang menemukan suatu mainan baru.

Aku duduk di pojok ruangan. Dindingnya terbuat dari kaca cermin, sehingga kami bisa melihat pantulan diri. "Kalian sudah lama kenal?"

"Kami satu markas." Laren menunjuk Bastian dengan kakinya. "Dia, si Basbas
Leingences, anak dari Tawon Leingences."

Aku tertawa mendengar nama ayah Bastian. Tawon? Nama macam apa itu? Dan Laren membuat plesetan Leicester menjadi Leingences.

"Bukan tawon, tapi Taveon." geram Bastian marah. "Kami memang satu markas di Los Angeles."

"Oh." Manusia Serigala memang hidup berkelompok. Mereka biasanya memiliki suatu tempat bawah tanah di kota atau hutan untuk membentuk markas.

Kami larut dalam keheningan. Ternyata kedua teman baruku sudah tertidur lelap. Aku memejamkan mataku. Tidak lama kemudian, aku terlelap.
***
Musim dingin sudah datang. Seluruh permukaan pulau Dragomir tertutup oleh salju. Udara dingin menyelimuti kami.

Ayahku, Wang Severin mengajakku ke pusat penjualan di tengah Dragomir. Sebuah kereta barang dan seekor kuda jantan bernama Lakki menemani kami. Aku duduk di antara senjata-senjata buatan Ayah.

Kami harus menembus hutan untuk mencapai pusat penjualan. Tempat tinggal kami memang cukup jauh dari pusat penjualan yang biasa disebut Black Store. Kata Ayah, Black Store adalah tempat toko-toko penjualan barang-barang yang dibutuhkan Gelminis.

Saat kami sudah setengah jalan, seorang Jenderal bersama rombongannya lewat. Jenderal itu merupakan atasan Ayah. Ayah hanya menjabat sebagai ketua pasukan East.

Seperti tradisi, Ayah menyempatkan diri untuk memberi hormat pada sang Jenderal. Aku hanya mengintip dari balik pagar kereta barang. Jenderal itu bertubuh tinggi dengan pakaian mewah yang indah. Di samping Jenderal itu ada seorang anak laki-laki berambut hitam legam, mata sekelam malam tak berbulan dan kulit putih. Bentuk matanya indah, sama sepertiku, mirip kelopak bunga mawar. Hidungnya mancung. Jika dia tinggal di dunia manusia, aku yakin, dia pasti sudah jadi artis.

Anak itu menatapku dengan tajam, seperti gagak yang sedang mengawasi mangsa. Aku bergidik ngeri. Tatapannya sungguh aneh. Tidak hanya tatapannya, tapi sayapnya juga. Sayap berbentuk burung gagak yang terdapat luka melintang panjang di bagian atas sayap kirinya. Bulu hitam di sayap kirinya yang terluka juga agak sedikit.

Ayah memanggilnya namaku. "Allegra Sylas Severin, anakku." aku turun dari kereta barang kemudian berdiri di samping Ayah. Jenderal itu tersenyum ramah. "Dia benar-benar mirip denganmu. Sayapnya seperti diciptakan khusus untuk bertarung. Dia akan menjadi Gelminis yang hebat, Wang."

"Semoga saja." Ayah menepuk kepalaku. "Dan siapa nama jagoan kecil ini?" Ayah melambaikan tangannya pada si anak laki-laki.

"Cass..."
***

"Allegra! Bangun, Allegra!"

Suara cempreng Laren yang kukenali merasuk ke telingaku. Aku terbangun. Keringat dingin membasahi tubuhku. Nafasku memburu. Aku terlihat seperti orang yang habis berlari ribuan kilo.

"Kau kenapa?" Bastian mengerutkan keningnya.

"Hanya mimpi." jawabku lirih. Mimpi itu lagi. Aku sering mengalami mimpi yang sama. Tentang si Jenderal, anak laki-laki yang tak kukenal dan Ayah. Peristiwa itu seperti bagian dari memori hidupku, tapi aku sama sekali tidak mengingatnya. Hanya dalam mimpi. Mimpi yang selalu terputus di saat si Jenderal menyebut nama si anak.

Bastian melemparkan blazer lengan pendek milikku. "Pakailah."

Aku memakai blazer itu. "Kita sudah sampai?"

"Sudah." Laren membuka pintu. "Ayo."

Di luar ada si Magistera Vampir tadi. Dia memperkenalkan dirinya dalam bahasa Latin, namun logat Perancisnya sangat kental. "Et Antoinette Abellard , Magistera Vampire. Vos can mihi Magistera Abellard."
"Apa sih artinya?" tanya Laren. Aku memandang heran pada Laren. Dia tidak lancar berbahasa Latin? "Jangan heran begitu." Laren mencebik. "Aku belum terlalu lancar. Bastian juga."

Bastian nyengir, tangannya membentuk lambang V. "Hehehe... Aku juga belum
terlalu lancar. Maklum, kami lahir di antara Manusia Serigala, bukan Gelminis."

"Artinya, wanita di depan ini adalah Magistera Vampir dan namanya Antoinette Abellard." terjemahku. "Mungkin kalian harus ambil kelas bahasa Latin besok."

Laren tertawa tertahan. "Ya, ya, ya. Kita belum tau sistem pembelajaran di sana kan?"

Magistera Abellard membawa kami keluar dari kapal melewati pintu bawah. Ada ratusan anak bersama kami. Mereka semua berbaris rapi. Tiga gadis Peri di depan kami berbicara dalam suara melengking. Sayap tiga Peri itu bergerak-gerak kecil. Sayap Peri memang indah. Mungil dan seperti Kristal tipis. Begitu juga tubuh mereka, mungil dan pendek, bahkan lebih pendek dariku.

Ternyata hari sudah gelap.

Mulut Laren menganga dengan sedikit air liur menetes. Dia kenapa sih?

Baru kusadari, mata Laren terpaku pada bagian bawah belakang seorang Peri. Peri itu hanya memakai gaun berpotongan rendah dan hanya menutupi bagian belakangnya, rok yang sangat pendek.

Bastian meninju punggung Laren dengan kuat. "Jangan terpesona begitu! Kau mau jadi makanan mereka?"

"T-Tidak!" Laren memalingkan wajahnya. "Semoga aku kuat dari godaan ini."

Seluruh siswa baru dibawa berjalan menyusuri sebuah jembatan panjang dari pintu kapal. Pasir pantai di sini agak berbeda dari pasir lainnya. Warnanya biru tua. Airnya juga sedikit bercahaya.

Jembatan yang digunakan kami untuk lewat terbuat dari kayu dan dirambati semacam tumbuhan bercahaya ungu, biru dan putih. Beberapa cowok-cowok Manusia Serigala di belakang kami tertawa-tawa heboh. Mereka sepertinya sedang melihat cewek Peri atau apa.

"Bastian!" panggil seorang cowok Manusia Serigala berambut pirang cerah. "Kau sudah dapat cewek huh?"

Semburat merah menghiasi pipi kecokelatan Bastian. "T-Tidak! Dia teman kami. Namanya Allegra Severin."

"Allegra, perkenalkan, tiga orang ini." Bastian menunjuk tiga cowok Manusia Serigala di belakang kami sembari terus berjalan menyusuri jembatan yang di sekelilingnya hanya ada pepohonan lebat.

Tiga cowok itu memiliki tinggi, wajah dan gaya rambut yang sama. Mata hijau besar, hidung ramping, bibir penuh dan rahang kotak yang persis. Gaya rambut acak-acakan mereka juga persis. Hanya warna rambut mereka yang berbeda.

"Sebut saja mereka Trio Lenvine." ujar Laren.

Cowok pirang cerah melambai. "Panggil saja aku, Sun Lenvine."

"Hai, Allegra!" cowok kedua berambut perak seperti rembulan. "Aku Moon Lenvine."

Cowok terakhir memiliki warna rambut paling bagus menurutku, warna biru langit di siang hari yang cerah. "Sky Lenvine. Senang bisa mengenalmu, Allegra."

Sun, Moon dan Sky, tiga bersaudara Manusia Serigala dari markas yang sama seperti Bastian. "Senang bisa bertemu kalian."

"Jangan kaget, Allegra." kata Sky padaku. "Manusia Serigala biasa memiliki banyak anak. Mereka terlalu rajin membuatnya dan sangat bersemangat."

Apa? Aku tidak tau maksudnya.

Menurutku itu tidak lucu. Tapi Lenvine bersaudara, Laren dan Bastian tertawa terbahak-bahak sampai Magistera Abellard menegur mereka. "Lima Lupus di belakang! Bisakah kalian tenang sedikit? Sebentar lagi kita akan melewati Deversorium! Harap jaga ketenangan!"

Tawa mereka tidak berhenti. Aku mendesis kesal. "Heh, Magistera Abellard menegur kalian!"

"Kami bukan Lupus, Allegra." Bastian tertawa lebar. "Kami ini Werewolf!"

Astaga, kenapa mereka gila sekali? Ingin rasanya memukul mereka satu-persatu. Magistera Abellard kelihatan kehabisan kesabarannya. Dia berjalan sangat cepat ke tempat kami. Tiba-tiba saja dia sudah berada persis di sebelah Bastian. Kecepatan Vampir.

"Aku tau kalian terbiasa liar seperti ini di got kalian. Tapi ini Draserra Academy, bukan kandang anjing." tegurnya dingin. Aku memandang ke arah lain untuk menghindari sosok Magistera Abellard yang dingin saat ini. Aku kurang suka caranya menegur sekawanan Manusia Serigala ini. Menyebut mereka anjing, itu sangat merendahkan.

Tawa para Manusia Serigala berhenti. Mereka memandang Magistera Lenvine. Pandangan mereka menyiratkan kesan kurang suka. "Kami anjing? Lalu kau apa? Kelelawar? Atau nyamuk?" Sun berbicara dengan sorot mata yang seakan menantang Magistera Abellard.

Moon dan Sky menahan tangan Sun. "Sun, tenanglah."

Magistera Abellard terlihat menahan emosinya. "Dasar anjing kot--"

Belum selesai Magistera Abellard mengumpat, seorang Magister lain yang tadi kami lihat dari atas kapal mencengkeram bahu wanita Vampir itu. Magister Manusia Serigala. Laki-laki di depan kami memiliki lengan yang kekar dan dipenuhi tato. Dia hanya mengenakan kaos ketat hitam.

Rambut cokelat laki-laki itu ditata asal-asalan. Sangat khas Manusia Serigala. "Magistera Abellard, aku rasa larangan menghina ras tercantum di Kesepuluh Peraturan Inti sekolah."

"Tapi murid baru ini..." Magistera Abellard berbicara dalam nada tinggi langsung terpotong oleh tatapan tajam Magister itu. Magistera Abellard berjalan pergi begitu saja dalam kecepatan Vampirnya yang melebihi kecepatan cahaya.

"Kalian bisa memanggilku Magister Wolvestes." si laki-laki kekar itu tersenyum. "Jangan panggil aku 'Paman Carl', Laren. Di sini kau tetap muridku."

Ternyata Magister ini adalah pamannya Laren. Hmm... Belum kuduga, mereka tidak mirip. Magister Wolvestes bertubuh kekar sedangkan Laren sangat kurus.

Laren mengerucutkan bibirnya. "Ufft..."

"Ngomong-ngomong," mata keemasan Magister Wolvestes memandang kami bergiliran, tapi berhenti begitu sampai di diriku. "Abaikan saja omongan Magistera Abellard. Dia agak sensitif dengan Manusia Serigala."

Mata Magister Wolvestes masih memandangku. Lebih tepatnya sayapku. Sayapku mengatup erat ke belakang dengan kaku. "Kau Gelminis?"

Aku mengangguk kecil.

"Baguslah." Magister Wolvestes tersenyum hangat. "Aku senang kau bisa berteman baik dengan serigala-serigala kecilku."

"Kecil? Kami sudah cukup besar, Magister." gerutu Moon.

"Ssst..." Magister Wolvestes meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. Kami masih di atas jembatan. Di sekeliling kami, ada banyak rumah-rumah kecil. Masing-masing rumah kecil memiliki bentuk yang sama. Pintu kayu dan dua jendela teralis di depannya dilengkapi tangga kecil dan tumbuh-tumbuhan.

"Ini adalah Deversorium, tempat kalian tinggal." ujar Magister Wolvestes, ditunjuknya sebuah rumah yang paling depan. Dari rumah itu keluar percikan-percikan cahaya dan suara ledakan kecil. "Penyihir suka bereksperimen. Itu bagian Deversorium Penyihir."

"Deversorium Gelminis dan Deversorium Manusia Serigala cukup berdekatan lho." kali ini Magister Wolvestes berganti menunjuk rumah-rumah kecil di sebelah kiri. "Itu Deversorium Gelminis dan di belakangnya Deversorium Manusia Serigala."

Bastian menepuk bahuku. "Untung Deversorium kita berdekatan. Kau jadi tidak kesepian. Kau agak sulit bersosialisasikan?"

Tentu saja aku sulit bergaul. Aku jarang keluar dari St. Merryweather dan bertemu anak-anak Gelminis lainnya. Sekalipun bertemu, aku nyaris tidak pernah bicara.

"Dari mana kau tau?" tanyaku. Bastian tersenyum sungkan. "Aku bisa mengenali orang dalam waktu singkat. Insting Manusia Serigala."

"Oh, hebat." komentarku pendek. Mungkin orang akan mengenaliku dengan sebutan cuek bebek, aku tidak peduli. Tidak ada gunanya kan?

Setelah melewati Deversorium, di depan kami ada sebuah kastil besar menjulang. Tembok-temboknya berwarna putih. Ada sebuah menara besar yang cukup tinggi dikelilingi beberapa anak menara. Kuhitung ada 5 anak menara. Pagar besar dari batu melintang diantara kastil. Akhir dari jembatan langsung memasuki bagian lorong kastil.

"Baiklah!" Magistera Abellard berteriak dari depan. "Kalian para murid tahun pertama diharapkan menuju Praetorium! Ikuti aku dan Magister Wolvestes!"

Mereka kembali menggiring kami ke dalam kastil. Bagian dalam kastil ternyata jauh dari apa yang aku bayangkan. Dindingnya tidak terbuat dari batu tua, melainkan tembok modern dengan cat putih bersih.

Ada 4 lorong di bagian depan. Kami memasuki lorong pertama. Lorong pertama tidak terlalu panjang. Langsung nampak sebuah aula besar dengan jendela-jendela kristal di setiap sisinya.

"Ini adalah Praetorium!" Magister Wolvestes menjelaskan. "Aku harap di Praetorium kalian tidak terlalu berisik. Untuk Penyihir jangan sampai menimbulkan satu sihir pun, Peri jangan menggunakan er... Jerat Pesona."

Magister Wolvestes sedikit malu saat mengucapkan nama keahlian Peri. "Vampir diharapkan untuk tidak bergerak secepat kemampuan kalian. Manusia Serigala, seperti biasa, jangan pernah mencoba bertransformasi atau er... Berisik."

Anak-anak Manusia Serigala langsung tertawa keras. Bahkan Sun, Moon dan Sky melolong-lolong aneh. Magister Wolvestes mengabaikannya. "Untuk Gelminis, kalian diharapkan untuk tidak bermain senjata di dalam Praetorium."

Setelah itu, kami dibawa masuk ke dalam Praetorium. Di dalam Praetorium ada lima meja panjang yang ditata membentuk segilima. Di tengah meja yang ditata segilima itu, ada sebuah pondasi batu pualam tinggi yang terisi oleh meja besar lingkaran. Meja untuk para Magister dan Magistera.

Di meja-meja siswa, ada banyak murid-murid lama. Mereka duduk berdasarkan ras. Meja Manusia Serigala paling ribut diantara lainnya. Meja Gelminis terlihat cukup tenang, walau beberapa diantara mereka ada yang diam-diam mengasah pisau perak.

Magistera Abellard membawa murid baru untuk berkeliling diantara pondasi pualam. Dari bawah sini, aku bisa melihat meja diatas pondasi pualam yang terisi oleh Magister dan Magistera. Seorang Magister yang sangat kukenal duduk di sisi kanan.

Mata Magister itu memandangku lekat-lekat. Sayap hitamnya yang berbentuk sama persis denganku terkulai santai dipunggungnya. Magister Benet Severin, pamanku.

Aku berdiri di tengah Bastian dan Laren. "Ini bagian paling membosankan." gerutu Laren. "Mereka akan membacakan Kesepuluh Peraturan Inti."

Seorang Magister Gelminis berambut pirang panjang yang disisir ke belakang menggerakkan sayapnya, sehingga dia terbang dan mendarat dengan mulus di tangga pondasi pualam. Matanya berwarna biru muda, menampilkan kesan dingin yang tidak ramah. Dia kelihatan baru berumur 40-an.

"Selamat datang para murid baru. Selama 4 tahun, kalian akan menimba ilmu di sini." ujarnya tenang. "Aku Danisharo Deicola, Ductor dari Dewan Draserra."

Bastian berbisik. "Atau sebut saja orang pirang itu kepala sekolah. Ductor adalah pemimpin Dewan dan seluruh sekolah.

"Dia baru menjabat sebagai Ductor tahun lalu." Laren menjelaskan, sorot matanya terlihat serius. "Paman Carl, eh maksudku Magister Wolvestes kurang menyukainya."

Karena tidak terlalu mengenal seluk-beluk sekolah ini, aku bertanya pada mereka. "Siapa Ductor yang pertama?"

"Cerelia Dativo." jawab Sun.

Kembarannya yang kedua langsung menyambung. "Seorang wanita Gelminis tua yang sangat bijak. Dia menghilang begitu saja."

"Banyak orang bilang dia menjadi anggota Fallen Angels." Moon berbisik dalam nada rendah sehingga hanya kami berenam yang bisa mendengarnya.
Cerelia Dativo, aku tau orang itu. Pada ulang tahunku yang kesembilan, ibuku menghadiahiku sebuah buku tebal yang berisi biografi orang-orang penting dalam sejarah Gelminis. Seingatku, Cerelia Dativo memperjuangkan hak Manusia Serigala untuk turut bersekolah di Draserra Academy. Dia orang yang sangat baik, aku pernah bertemu dengannya di salah satu acara pertemuan Ayah. Mustahil baginya bergabung dengan Iblis.

"Aku tidak percaya jika dia menjadi Fallen Angels." bantahku. Kelima Manusia Serigala ini mengangkat bahunya. "Tidak ada yang tau. Itu masih misteri."

Ductor Deicola mengisyaratkan sesuatu pada seorang Magister tua bertopi runcing, Penyihir. Magister tua itu mengadahkan tangannya ke atas langit-langit. Di atap, ada sebuah batu besar yang melayang-layang. Tangan keriput si Magister menarik turun, batu besar itu juga ikut turun sampai di depan persis wajah Ductor Deicola.

"Ada Kesepuluh Peraturan Inti di sini yang harus kalian taati." Ductor Deicola tersenyum miring. "Jika ada yang melanggarnya, akan ada sanksi berat. Berikut peraturannya.

Ductor Deicola membaca tulisan yang tertera di batu itu.

"1.Semua siswa diharapkan untuk tidak membeda-bedakan antara ras, baik itu Gelminis, Vampir, Manusia Serigala, Peri atau Penyihir.
2.Siswa dilarang berkeliaran di Pecunia Foramen pada malam hari tanpa pengawasan.
3.Siswa dilarang meninggalkan area Draserra Academy tanpa seijin dari pengajar.
4.Siswa tidak diijinkan membawa hewan berbahaya.
5.Siswa hanya bisa mendapat 25 peringatan. Selebihnya akan ada sanksi dari Magister dan Magistera.
6.Diharapkan untuk tidak berkeliaran di sekitar Pulau Levans tanpa pendamping.
7.Dilarang menuju tangga di lorong ketiga lantai pertama.
8.Pada pukul 10 malam, siswa sudah tidak boleh keluar dari Deversorium masing-masing.
9.Dilarang ada kegiatan sihir, transformasi dan penggunaan senjata di Praetorium.
10.Siswa dilarang keras terlibat dalam kegiatan gelap."

Selesai peraturan itu dibacakan, terdengar bisik-bisik dari murid baru. "Apa itu Pecunia Foramen?" tanyaku pelan pada Bastian.

Bastian balas berbisik. "Kakakku bilang, Pecunia Foramen adalah kota bawah tanah yang digunakan sebagai pusat perdagangan. Terletak di bawah pulau."

"Kita dilarang ke sana?"

"Tidak juga." Bastian menggeleng. "Hanya pada pagi dan siang hari kita boleh ke sana."

"Memangnya ada apa di sana pada malam hari?" aku terus bertanya.

Bastian menggelengkan kepalanya. "Entahlah. Namun aku rasa, semua itu ada hubungannya dengan Kristal Clauditis."

Ketika Bastian menyebut Kristal Clauditis, Ravel menatap tajam ke arah kami. Kilat perak sedikit melintas di mata merahnya.
***
Terima kasih!
Mohon maaf jika cerita ini tidak memuaskan kalian.
-ShioriChiasa26

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top