Scar on The Wing
Orientasi pertama berlangsung lancar. Kami diperbolehkan masuk ke dalam Deversorium masing-masing. Chastine berlarian di sekeliling jalan yang dilapisi batu putih menuju Deversorium di blok 3.
Sungguh beruntung karena Revel menghilang entah ke mana, aku dan Chastine tidak perlu melihat tingkah lakunya yang memuakkan.
Beberapa murid senior mengamati setiap anak baru yang menuju Deversorium dari jendela bulat mereka. Salah satunya seorang senior cewek berambut pirang emas panjang. Dia membiarkan rambutnya terjuntai lewat jendela, mengingatkanku pada dongeng Rapunzel.
Di tengah-tengah kerumunan anak-anak baru, terdengar jeritan keras dari Theresa Hellsing menghentikan kegiatan semua orang.
"Ada apa?" tanyaku heran. Chastine mengangkat bahunya. "Ayo, kita periksa saja,"
Chastine menarik tanganku ke Theresa Hellsing yang sedang memandang horor ke pita panjang. Ketika aku melihat lebih dekat, ternyata pita itu adalah seekor cacing sepanjang lengan orang dewasa sedang membuka mulutnya lebar-lebar. Kulit cacing yang berwarna merah muda terlihat basah. Cacing itu menggeliat-geliat.
"Cacing besar Alaska?" Theresa memasang ekspresi jijik. "Ini akan jadi bahan pembelajaran kita?"
Aku berlutut di sebelah cacing itu. Mengamati setiap pori-pori cacing yang basah. "Ya,"
"Bagaimana cacing ini bisa ada di sini?" tanyaku pada Theresa dan empat orang cewek lainnya. "Bukankah barang-barang kalian sudah dibawa oleh kurcaci?"
Seorang cewek berambut cokelat cepak mengangkat bahu. "Sepertinya ada yang sengaja melepaskannya,"
Setauku, cacing besar Alaska tidak berbahaya jika dia tidak merasa terancam. Namun, jika dia merasa terancam, duri-duri tajam akan muncul dari pori-pori tubuhnya. Ada yang berbeda dengan cacing ini. Cacing ini memiliki luka panjang di bagian ekor belakang. Seperti bekas goresan kawat. Tidak kuketahui penyebabnya, aku berpikir kalau ada yang sengaja melepas cacing ini.
Aku bangkit berdiri lalu melangkah mundur. Chastine memegang bahu belakangku erat-erat. "Menjijikkan," matanya menatap risih cacing besar Alaska.
"Bagaimana cacing itu bisa sampai ke sini?!" sebuah suara bariton dari belakang terdengar. Ternyata sesosok cowok jangkung berkulit putih pualam dengan mata mutiara hitam. Sayapnya berbentuk sayap gagak. Warna sayapnya juga segelap langit malam yang tak berbintang.
Ketika dia melangkah maju, dia menyibakkan surai hitamnya. Iris mutiaranya menatapku dengan tajam. Dan aku baru menyadari, ada sebuah bekas luka panjang yang melintang di sayapnya. Dia... Nyaris sama dengan cowok dalam mimpiku itu. Anak Jenderal yang bahkan tidak aku ketahui namanya.
"Cacing ini datang dari sana," Theresa menunjuk deretan pohon pinus yang mengakhiri deret Deversorium. "Menuju ke arah kami, Kak Sylas,"
Sylas? Seperti nama tengahku. Tapi mungkin saja itu nama keluarga cowok ini.
Sylas melemparkan semacam bubuk ke tubuh cacing dari kantongnya. Cacing itu menggeliat-geliat aneh. Seluruh pori tubuhnya memerah dan mengeluarkan desisan sesuatu yang terbakar. Cacing itu segera melata secepat mungkin ke balik pepohonan pinus.
"Berhati-hatilah di sini," Sylas berbalik pergi. "Jangan pernah memasuki kawasan hutan. Mengerti?"
Kami mengangguk pelan. Sylas terus berjalan. Cahaya kuning remang-remang dari lampu jalanan Deversorium menyinarinya. Dari sini, aku melihatnya seperti seorang Malaikat yang hendak kembali ke Surga.
Aku dan Chastine terus berkeliling sampai kami menemukan Deversorium 37. Deversorium kami terletak di deret tiga, paling pojok. Dari Deversorium, kami bisa melihat kegelapan di balik pepohonan pinus. Sepertinya di sini juga merupakan best view untuk melihat bulan yang bergantung di langit.
Bulan malam ini memancarkan cahaya keemasan. Dikelilingi bintang-bintang perak.
Chastine membuka pintu kayu berbentuk bulat. Ketika pintu itu terbuka, Chastine langsung menyerbu masuk. Dia berteriak senang. Aku hanya melangkah santai mengikuti Chastine.
Bagian dalam Deversorium kami lumayan juga. Ada dua kamar tidur berukuran kecil dilengkapi kamar mandi dalam. Ditambah ruang tamu kecil yang pertama kali menyambut kami. Ruangan ini dilengkapi sebuah sofa putih, mesin cuci dan sebuah rak buku. Dinding ruang tamu diberi wallpaper krem bercorak daun-daunan hijau.
"Wow," aku bergumam pelan. Tempat ini menyenangkan. Aku suka desain minimalisnya. Chastine sudah memposisikan dirinya di atas sofa. "Hoahm... Aku lelah sekali,"
"Istirahatlah, Chas," kataku. Aku membuka pintu kamar yang berada di pojok. Lampu belum menyala. Aku meraba-raba dinding untuk mencari sakelar lampu.
Sakelar lampu berada tidak jauh dari pintu. Aku menekannya. Cahaya terang langsung membanjiri kamar ini.
Kondisi kamar ini cukup baik. Lampunya terang, ada jendela di sisi tembok kiri, lemari pakaian berwarna putih gading dan sebuah meja belajar. Wallpaper bergambar bulu-bulu sayap putih kelihatannya cukup segar. Walaupun tidak terlalu besar, kamar ini cukup nyaman. Ditambah kamar mandi minimalis di sebelah jendela.
Mirip dengan kamarku di St. Merryweather. Kecil dan sederhana, namun nyaman. Ranjang putih terletak di pojokan.
Kelihatannya barang-barangku sudah ada di sini. Koper dan kotak kayu ada di atas lantai kayu. Aku menutup pintu kamarku pelan-pelan.
Apa yang harus pertama kali kulakukan? Aku memutar otakku untuk mencari jawaban. Bagaimana dengan menata barang-barang? Sepertinya bukan ide buruk.
Aku mendorong kotak kayu berisi Andreanna ke bawah ranjang. Setelah itu, aku membuka lemari pakaian. Aroma kapur barus langsung merasuki indra penciumanku.
Ada empat sekat dalam lemari untuk meletakkan pakaian. Sekat pertama aku isi dengan seragam Draserra Academy dan seragam Gelminis, pakaian sehari-hari aku letakkan di sekat kedua. Sedangkan sekat ketiga, aku membiarkannya kosong. Begitu pula sekat keempat. Pakaianku tidak terlalu banyak. Magister Karmel hanya memberikanku beberapa pakaian lungsuran entah dari siapa.
Setelah menata pakaian, aku mulai merasa lelah. Segera kujatuhkan tubuhku diatas kasur putih yang belum diberi sprei. Masa bodoh, yang penting aku tidur.
Lagu-lagu tidur anak kecil seperti berlagu dikepalaku. Tangan-tangan lembut dari alam mimpi menarikku masuk. Baru saja aku hendak terlelap, suara Chastine merusak suara-suara lembut mimpi yang memanggilku.
"Allegra! Ada berita penting!" suara teriakannya menembus dinding kamarku. Aku mengerang pelan. Padahal aku nyaris terlelap, gara-gara Chastine, keinginanku untuk tidur gagal total.
Aku keluar menuju tempat Chastine. Chastine sudah duduk di sofa. Tangannya gemetar memegang sebuah kertas. Matanya memandangku seakan-akan dia baru saja mendapati hantu yang bergentayangan.
"Apa?" aku bersungut kesal.
"Berdasarkan pengumuman ini, besok kita diminta bangun pukul tujuh pagi untuk memulai Masa Orientasi," jelas Chastine. "Eh, Allegra?" Chastine terdengar agak ragu.
Lagi-lagi aku hanya mengucapkan satu kata. "Apa?"
"Bolehkah aku tidur bersamamu?" pipi Chastine merona merah. "Seumur hidup aku belum pernah tidur sendiri,"
Tidak lucu. Umur Chastine sudah 16 tahunkan? Bukankah dia harusnya terbiasa tidur sendiri? Aku terpaksa mengangguk karena melihat wajah lucunya yang memohon. "Baiklah."
Chastine bersorak kegirangan. "Kau baik sekali, Allegra!"
Aku sedikit tercengang mendengar ucapan Chastine. Aku baik? Seumur hidup, aku sama sekali tidak pernah beranggapan diriku itu baik. Malah kukira aku ini agak egois dan licik.
Suara gedebum keras terdengar ketika Chastine berlari masuk kamarku. Untung saja aku belum menata beberapa barang kecil di kamarku. Jika aku menata barang-barang seperti snow ball Markas Vampir, barang-barang itu akan musnah karena Chastine.
"Bisakah kita memberi ranjangmu dengan sprei dulu?" Chastine berteriak dari dalam. Aku segera meraih gagang pintu dan berdiri bersandar di pintu. "Ambil saja di koperku. Di situ ada satu sprei."
Chastine memasang sprei berwarna hitam bergambar awan-awan biru di ranjangku. Tangan Chastine cekatan merapikan ujung-ujung ranjang. "Selesai!"
Mataku sudah memberat. Mungkin hanya tinggal segaris. Tanpa mempedulikan posisi tidur yang akan kuambil, aku menjatuhkan diriku di ranjang. Belum ada semenit, kesadaranku sudah hilang.
***
Tidak ada cahaya dari bulan maupun bintang yang menghiasi langit malam Dragomir Village. Langit malam ini sesuram kelopak mawar hitam. Gelap. Hampa. Sama sekali tak ada suara. Bahkan seekor jangkrik dan hewan-hewan malam lainnya tak berani bersuara. Sangat hening. Aku seperti berada di tengah film bisu.
Apa yang terjadi?
Kenapa seluruh isi desa sepi? Hampir setiap rumah yang aku lewati semua yang ada tidak memancarkan cahaya lampu. Bahkan toko bahan senjata milik Paman Candance kosong melompong, pintunya terbuka lebar namun kosong.
Aku baru saja pulang dari berburu taring naga di gunung salah satu pulau Segitiga Bermuda bersama sepasukan anak-anak yang mengisi liburan. Summer Hunter, begitulah mereka menyebutnya. Ayah dan Ibu bilang acara itu bagus untukku. Memang sih, lumayan seru.
Tikungan menuju rumahku sudah terlihat. Aku melangkah semakin cepat. Ketika aku sampai di sebuah rumah besar yang ada di ujung tikungan jalan, aku mendengar sesuatu.
"Aaaaaaa!" terdengar suara jeritan dari jendela kiri.
"Aku mohon hentikan!" kali ini terdengar suara merintih yang penuh rasa takut dan permohonan.
Setelah itu, terdengar suara benda terjatuh keras dan derai tawa melengking yang terdengar janggal dari dalam rumah itu. Apa yang terjadi di rumah Jenderal Brick?
Langkah kakiku gemetar hebat. Perasaan tidak enak mulai merambati hatiku. Aku mengendap-endap menuju jendela. Gumaman-gumaman berat terdengar.
Kepalaku bergerak takut untuk mengintip keadaan di balik jendela.
Aku memekik tertahan ketika melihat isi dalam ruangan.
Mayat Jenderal Brick di depan perapian yang masih menyala dikelilingi oleh 3 Iblis laki-laki. Mereka memotong sayap cokelat Jenderal Brick. Sebuah pedang panjang menembus bagian dada Jenderal Brick. Laki-laki tua itu tewas dengan mata membelalak takut. Mengerikan.
Sekilas, ketiga Iblis itu mempunyai ciri fisik yang sama dengan Gelminis maupun Malaikat. Sayap mereka berwarna hitam jelaga. Mereka memakai jubah panjang yang terbuka di bagian punggung. Pada bagian punggung yang terbuka itu, aku bisa melihat lambang Iblis yang menjadi ciri khas bangsa mereka. Tato bintang bersisi lima yang lancip berwarna hitam. Bintang pentagram.
Aku tidak bisa menahan jeritanku ketika salah satu dari mereka memenggal kepala Jenderal Brick. Menyadari jeritanku yang tidak pelan, aku segera membekap mulutku sendiri. Tapi terlambat, si Iblis laki-laki berambut cokelat panjang sudah menyadari teriakanku. Dia menoleh ke arah jendela tempat aku mengintip.
Tanganku mencengkeram gagang kayu Andreanna kuat-kuat. Aku merasa diriku menciut dan menjadi lemah. Tidak! Tidak boleh! Aku harus mengambil tindakan!
Mengabaikan kakiku yang gemetar dan keringat dingin yang membasahi sekujur tubuhku, aku berlari mundur sambil mengepakkan sayap hitam mungilku. Aku terbang rendah melintasi trotoar cokelat dari batu tua, sehingga ujung kakiku yang hanya terbalut sepatu tipis merasakan kasarnya permukaan jalanan.
Seperti dugaanku, si Iblis tadi mengejarku. Di tangannya tergenggam sebuah pedang panjang, mata hijau cemerlangnya berkilat-kilat dan sayap hitam besarnya berkepak-kepak kasar. Aku menambah kecepatanku dan mengibaskan sayapku lebih kuat daripada tadi, sampai aku melewati atap-atap rumah.
Melihat situasi yang aku alami, memiliki sayap menyerupai burung elang seperti ini membuatku merasa beruntung. Aku bisa menembus udara lebih cepat daripada kebanyakan Gelminis. Walaupun begitu, Iblis ini masih bisa mengejarku.
Pisau perak dilemparkannya secara tiba-tiba. Aku berputar ke samping untuk menghindarinya. Kurasa, aku butuh tempat yang cukup besar--aku biasa bertarung jarak jauh--. Pisau-pisau perak berdatangan dari si Iblis. Aku harus lebih cepat.
Setelah berputar-putar sekeliling tikungan untuk membuang waktu, aku mendapatkan ide. Aku harus membawa si Iblis ke jalanan di depan rumahku. Itu tempat yang cukup bagus untuk melawannya. Cukup lebar, sehingga memberiku potensi untuk menyerang dia.
Aku kembali menambah kecepatanku. Sesekali, aku menoleh ke belakang untuk mengecek jarak antara aku dan si Iblis. Seringai di wajah Iblis itu membuatku merinding. Jarak kami sudah agak dekat, aku harus segera sampai.
Pandanganku terfokus ke depan. Tidak jauh lagi, aku akan sampai di depan rumah. Hanya sekitar 100 meter. Aku berhasil menempuh setengah jalan. Hanya saja, waktuku tidak cukup. Iblis itu lebih cepat. Terlambat, kalau aku menghindar, aku akan tertusuk puing-puing sebuah bangunan yang nyaris hancur.
Dia menabrakku dari belakang. Sehingga aku terpental cukup jauh, menabrak kaca jendela hingga pecah. Cairan hangat mengalir di belakang kepalaku. Berdasarkan berbagai pengalamanku dalam terluka maupun bertarung, aku tau kalau itu darah.
Aku mencoba bangkit berdiri. Pangkal sayapku sepertinya terkilir, rasa nyeri memghantam-hantam ujung sayapku. Aku tetap menggerakkannya walaupun susah dan sakit.
Iblis dihadapanku ini sudah melaju sembari mengacungkan pedangnya. Cengkeramanku pada gagang Andreanna semakin menguat, mata kapak Andreanna aku persiapkan untuk menangkis pedang itu.
Tepat ketika pernah si Iblis berada sekitar seperempat meter dihadapanku, aku mengayunkan mata kapakku. Saking cepat dan tajamnya Andreanna, aku sampai tidak bisa merasakan kerasnya tulang Iblis ini. Aku berhasil memotong pergelangan tangannya dengan mudah. Darah menetes deras, menodai ujung Andreanna.
Ada yang tidak beres di sini. Aku rasa, terjadi penyerangan di sini.
Iblis yang tangannya sudah buntung ini menggeram rendah. Mata hijaunya berkilat-kilat samar. Kedua alisnya bertaut tajam. "Dasar bocah sialan. Kau pikir, kau bisa lolos dengan mudah?"
Pada waktu pedangnya mulai berayun lagi, sayapku menekan tanah dan melemparkanku tepat ke depan pintu rumah. Aku harus mencari ayah dan ibu. Mereka pasti masih hidup. Tidak mungkin mereka tewas, orangtuaku bukan orang yang lemah.
Tekanan darahku melonjak sepuluh kali lipat dari biasanya. Tanganku yang basah oleh air keringat dingin membuatku sulit membuka gagang pintu. Yes! Pintu berhasil terbuka, aku segera masuk ke dalam rumah dan membanting pintu sekuat tenaga untuk mencegah Iblis tadi masuk.
Dari jendela, aku bisa melihat Iblis sialan itu terbang ke atas, menghilang di balik kegelapan malam. Perasaan lega langsung membanjiriku. Tenggorokanku yang semula kering, seperti baru saja meminjm segelas air dingin.
"Ayah? Ibu? Kalian di rumah?" aku berteriak dengan suara yang agak keras.
Rumahku terlihat kosong melompong. Meja kayu di tengah ruang tamu yang menjadi satu bersama ruang makan masih diisi oleh semangkuk sup dingin. Di mana Ayah dan Ibu? Api panas kembali membakar tenggorokan dan dadaku. Aku takut. Apa yang terjadi?
Setitik air mata menetas dari ekor mataku. Aku segera mengusapnya.
Tanganku masih menggenggam Andreanna. Goresan-goresan kukuku menghiasi gagang Andreanna. Aku berlari secepat mungkin menaiki tangga. Saat aku berada di pertengahan tangga, aku mendengar jeritan Ibu.
Langkahku semakin lebar, semakin cepat. Aku sudah memasang kuda-kuda ketika mencapai ujung tangga. Aku harus siap menghadapi apapun yang terjadi.
"ALLEGRA! PERGI DARI SINI! SELAMATKAN DIRIMU!" jeritan Ibu menyambut langkah pertamaku di lantai dua. Seorang Iblis wanita berambut pirang menjambak rambut Ibu ke atas, tangannya memegang sebuah pedang yang siap memenggal kepala Ibu.
Wanita Iblis ini agak janggal di mataku. Aku seperti pernah melihatnya. Rambut seperti warna tembaga, tinggi semampai, kedua alis tebal disertai bulu mata lentik yang membingkai matanya yang sehijau rumput laut. Matanya sangat tajam. Seakan-akan, ketika kita menatapnya, dia membawa kita ke dunia buatannya sendiri.
Dua macam argumen berkecamuk di batinku. Apakah aku harus kabur atau berusaha menyelamatkan Ibu? Aku terpaku untuk beberapa lama. Tidak ada keberanian sama sekali pada diriku untuk melawan Iblis wanita yang hendak membunuh Ibu.
Dari sini, aku bisa melihat tubuh Ayah yang tergeletak tewas di atas kubangan darahnya sendiri. Air mataku menetes. Apa yang bisa dilakukan anak berumur 10 tahun sepertiku? Ada. Aku tau jawabannya.
Keberanian. Ayah bilang, keberanian adalah kunci dari awal pertarungan. Aku bisa, aku bisa. Dalam waktu singkat ini, aku berusaha memupuk keberanianku.
Dengan seluruh keberanian yang terkumpul di dalam jiwaku, aku maju mengayunkan kapakku untuk membelah kepala si Iblis wanita. Kedua sayapku menukik ke belakang.
Berhasil.
Aku bisa merasakan ujung mata kapak Andreanna membelah tempurung kepala si Iblis wanita hingga mengiris otaknya. Walau aku berhasil membunuh si Iblis, aku gagal menyelamatkan Ibu. Si Iblis sudah lebih cepat memenggal kepala Ibu. Pasti Iblis ini tidak menduga seranganku yang begitu tiba-tiba.
Tepat saat aku mencabut kapakku, aku tidak sanggup lagi melihat jenazah Ayah dan Ibu. Kepalaku seperti dihantamkan ke tembok dan pandanganku menggelap. Saat itulah aku tau, wanita ini bukan Iblis biasa. Dia adalah Illicit kelima, Illicit dari Iblis.
***
Aku kembali terbangun dengan keringat membasahi bajuku. Sedikit kulirik jam dinding yang ada di tembok kiri. Pukul 03.00 pagi.
Chastine masih tertidur nyenyak di sampingku. Matanya terpejam erat.
Nafasku memburu. Dadaku terasa terbakar dan butuh air. Mulut serta kerongkonganku sekering padang pasir. Aku duduk bersandar pada tembok kamar untuk memulihkan tenaga.
Kenapa aku memimpikan masa laluku? Perasaanku menjadi kurang enak. Ditambah aku teringat pada mimpiku tentang si anak laki-laki dan Jenderal.
Apa yang akan terjadi? Apakah itu buruk? Seandainya ada Magister Karmel di sini. Dia pasti bisa membantuku mengartikan mimpi.
***
Terima kasih!
Mohon maaf jika cerita ini tidak memuaskan kalian. Aku harap kalian berkenan memberi vote untuk cerita ini dan meninggalkan kritik/saran di kolom komentar.
-ShioriChiasa26
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top