2. Bad News
KEDATANGAN Hale dan rekan-rekan seperjalanannya, seperti yang dia duga, melahirkan gunjingan baru di seantero desa Bleakmere. Bisikan-bisikan penasaran mengiringi sepanjang langkah mereka menyusuri area perkampungan yang berbau asam dan lembab, seperti kayu pinus yang membusuk. Salah seorang kakek-kakek, yang sejak tadi sedang menarik-narik katrol sumur di pekarangannya sendiri, menegur rombongan Hale;
"Kupikir kalian menghilang di laut!"
"Kami selamat, tapi kapal diserang monster," balas Rowan, berusaha terlihat tidak peduli. Pakaian dan rambut mereka yang basah barangkali mengundang celetukan ingin tahu warga.
"Monster?"
"Persis seperti desas-desus yang beredar."
"Itu, itu! Sekarang kau tahu siapa yang lebih pantas dipercaya, Nak!" Jawaban itu diiringi tawa meledek dari sang kakek, seakan-akan nasib dari perburuan itu sudah diprediksi sejak jauh-jauh hari. "Sudah banyak yang memperingati, tapi malah tutup kuping. Hanya karena punya kapal, kalian pikir bisa menguasai lautan? Sekarang rasakan sendiri akibatnya! Sudah untung kalian tidak jadi bangkai di dasar laut!"
"Jaga mulutmu, sial―" Rowan sudah hampir melempar tinju, tetapi Hale yang ada di dekatnya menahan dada Rowan dan menyeretnya menjauh.
Sang kakek, yang masih asyik menarik katrol sumur, hanya cengar-cengir meremehkan, tetapi kemudian dia terbatuk-batuk heboh sampai bunyi napasnya mendengih-dengih. Hale mendengar rekan satu kapal yang melangkah di belakangnya menyumpahi orang tua itu dengan suara keras; "Sebaiknya kau mulai memeriksakan diri, pak tua. Jangan-jangan sebentar lagi giliranmu terserang wabah itu!"
Semua kru kapal tertawa, kecuali Hale. Mereka terus melangkah hingga keluar dari area pemukiman lalu masuk ke gang pertokoan. Beberapa kru kapal akhirnya berpisah dari rombongan dan pergi mengurus diri masing-masing, termasuk Rowan, yang sebelumnya menyempatkan diri meludah ke jalanan berbata lalu berpamitan malas kepada Hale.
Seorang diri, Hale pun meneruskan perjalanan hingga sampai di sebuah rumah yang ruang depannya disulap menjadi toko roti. Ketika mengintip dari jendelanya yang buram, belum ada pelanggan satu pun.
Hale naik ke undakan toko roti yang sepi, lalu masuk dari pintu yang terbuka.
Seorang wanita berkulit pucat kemerahan, berperawakan gemuk, serta berwajah ramah muncul dari lorong toko setelah mendengar genta lonceng di pintu. Usianya tidak jauh dari ibu Hale seandainya ibunya masih hidup. Sejak berusia delapan tahun dan mulai masuk sekolah, Hale memang cukup dekat dengan perempuan satu ini. Namanya Morwen, yang kini menyapa Hale bagaikan bertemu anak kandungnya.
"Hale! Kau kembali!"
Hale tersenyum kecil. Morwen lekas melemparinya dengan ocehan; "Astaga! Kenapa kau basah dan babak belur begini?"
"Kapal tenggelam. Orang-orang menyelamatkan diri." Hale merapat pada rak yang berisi keranjang-keranjang kue, membuka kain yang digunakan untuk menutup keranjang dan mengambil setangkup roti gandum putih keras dari dalamnya. Banyaknya lalat yang mengerubung di atas roti seharusnya membuat Hale jijik, tetapi pemuda itu sudah terbiasa hidup di tengah kampung kecil kumuh di mana lalat menjadi sahabat erat para pedagang. Hale hanya mengusir lalat yang hinggap di rotinya dan menepuk-nepuk bagian yang terkena sentuhan. "Akan kubayar nanti, setelah mendapat upah kerugian."
"Jangan pikirkan itu, anak malang. Sini, menunduk, biar kuseka darahnya." Morwen menarik Hale mendekat dan menggunakan celemeknya yang agak kusut untuk mengusap pelipis Hale yang berdarah. "Sebelumnya aku sudah melarangmu datang ke perburuan siren. Kau sudah tahu apa yang terjadi pada kebanyakan orang yang nekat menembus laut untuk berburu. Mereka―"
"Menghilang di lautan," Hale melanjutkan kalimat Morwen dengan bosan. Roti di tangannya dalam sekejap sudah hampir habis.
Morwen menjauh darinya seraya mempertahankan ekspresi cemas.
"Kau tahu betul risikonya, lantas mengapa masih berani ikut? Hanya karena menteri istana sudah melegalkan perburuan siren, bukan berarti mereka menjamin keselamatan orang-orang. Kau lihat sendiri, sejak pengumuman dari menteri istana muncul, bahkan sampai detik ini, belum ada yang berhasil menangkap siren. Kebanyakan dari mereka menghilang di laut atau pulang dalam keadaan trauma parah―katanya kapal mereka diserang monster lautan!"
"Aku ikut perburuan itu karena butuh uang," kata Hale.
"Dan sudah berapa kali aku menawarimu pinjaman?"
"Morwen, sudah kubilang berkali-kali juga; kau tidak akan sanggup meminjamiku. Utang yang ditinggalkan ayahku kelewat besar, dan aku juga harus merawat wanita hamil di rumah," suara Hale pekat oleh kepenatan yang ditahan-tahan. Dia menghindari tatapan Morwen lalu beralih duduk di kursi pelanggan. Setelah nyaris tewas dalam kecelakaan di laut, ocehan Morwen terdengar bagai lagu sumbang yang membuat kuping sakit. "Mereka membayar kru dengan upah besar. Perjalanan laut di atas kapal selama lima hari―menurutku itu sepadan dengan upaya kerja yang ditawarkan. Bagiku, pekerjaan begini jauh lebih efektif mencapai target yang kubutuhkan dibandingkan kerja harian di tempat-tempat kecil."
"Sepadan dengan risikonya? Kau bisa mati, Hale!"
"Kapal mereka penuh dengan senjata pertahanan diri. Kami pikir perjalanan akan aman."
"Tidak mengecilkan kemungkinan kau lolos dari maut."
"Ya, aku tahu itu keputusan sembrono, tapi ...." Hale terdiam. Memikirkan beban kehidupan yang melarat terkadang membuatnya nyaris kehilangan akal sehat. Risiko kematian sudah pasti diketahui oleh semua kru, tapi tidak ada di antara mereka, termasuk Hale, yang peduli dengan keselamatan ketika iming-iming uang sudah di depan mata.
"Aku hanya ceroboh, itu saja," Hale berkata lirih. Nadanya berlumur penyesalan. Saat Morwen hendak menyemprotnya lagi, dia keburu memotong, "Morwen, yang sudah berlalu biarlah berlalu. Sekarang lihat aku―kembali ke hadapanmu hidup-hidup! Bukankah itu yang terpenting?"
Morwen membuang napas berat saat melihat Hale memasang cengiran miring, yang membuat figur wajah maskulinnya lebih lembut, sekaligus tampak nakal; bagaikan anak badung berusia belasan. Saat melihat senyuman Hale yang jarang-jarang muncul, Morwen selalu dihantam haru―terperenyak atas fakta bahwa anak dari sahabatnya ini telah beranjak menjadi pria dewasa, bukan lagi bocah kurus yang dulu selalu dilihatnya berlarian di kebun dan bermain prajurit-prajuritan sambil mengayunkan ranting pohon apel. Sekarang Hale telah tumbuh jangkung dan kuat. Otot-otot di tubuhnya liat dan padat, terbentuk dari pekerjaan serabutannya mengangkat karung-karung beras dan jerigen-jerigen ikan di pasar. Kendati wajahnya berpotongan tajam dan gagah, dan bahkan pada sudut-sudut tertentu dia tampak seperti seorang penjahat, Hale memiliki mata yang tulus dan lembut. Irisnya cokelat, lebih terang dibandingkan rambut gelapnya yang tebal. Terkadang, pada sorot mata itulah Morwen membaca kesulitan-kesulitan yang dialami Hale sepanjang hidup, sehingga dia bisa memahami kerentanan Hale melampaui apa yang dipikirkan orang-orang. Betapa cepat waktu berlalu dan mengubah si kecil Hale menjadi sosok penuh pemikiran yang menaruh beban keluarga di pundaknya.
"Kalau begitu," kata Morwen, memastikan sesuatu, "kau sudah mendapatkan uang yang kau inginkan, bukan?"
Bukannya menjawab, Hale menatap Morwen seolah kebingungan mencari kata-kata.
"Hale?"
Hale membuang napas berat. "Sebenarnya, perjalanan itu dinilai gagal. Kapal dan semua harta benda tenggelam. Kami juga tidak menangkap siren satu ekor pun."
"Setidaknya kau memasukkan kerugianmu ke dalam daftar tagihannya. Kau harus dapat kompensasi, bukan?"
"Ya, tapi kami tidak akan dapat kompensasi yang layak. Kapten kami trauma dan nyaris gila atas kejadian itu. Bisa lolos dari maut saja sudah melegakan."
"Astaga! Sudah kuduga, perburuan itu hanya akan memberimu dua hal. Kalau bukan kematian, trauma seumur hidup!"
"Trauma lebih baik. Aku sudah biasa dilanda tragedi."
Morwen membuang napas seraya bergumam, "Ayolah, Hale. Aku tidak keberatan kalau kau bergantung padaku. Kau kuanggap sebagai anakku sendiri."
"Tak perlu khawatir." Seketika, raut muram Hale menghilang. Pemuda itu berdiri lalu tersenyum sambil menepuk pundak Morwen. "Aku sudah cukup dewasa untuk mengurus masalahku sendiri. Lagi pula aku tidak ingin membuatmu kewalahan membesarkan dua pemuda sekaligus. Nah, omong-omong bagaimana keadaan Sahim? Demamnya sudah sembuh, bukan?"
"Sahim ... dia ...." Ekspresi Morwen berubah, seolah-olah ada kepahitan baru yang terpaksa dia ungkapkan.
"Kenapa? Sahim baik-baik saja, kan? Minggu lalu dia memang demam, tapi sekarang sudah baik-baik saja, kan?"
"Bukan demam biasa."
Cengiran Hale menghilang perlahan. Morwen mendongak pada Hale, dan tampaklah kedua matanya yang berkaca-kaca.
"Sahim ... menderita wabah itu juga ...."[]
-oOo-
.
.
.
.
Pembaca lama mungkin beranggapan, "Wabah lagi wabah lagi. Apa buku ini bakalan nyampur jadi tema monster-monster kayak The Leftovers, The Pioneers, dan Snowblood?"
Pembelaanku: "ENGGAK KOOKKKK! YANG INI WABAH BIASA, NGGAK SEEKSTREM ITU AWKWKWK!"
Pokoknya nikmati aja deh yaa. Karena novel ini goalnya buat project di penerbitan, mau nggak mau aku harus mengurangi kebiasaanku buat nambahin gore dan adegan ekstrem karena itu terlalu eksplisit buat dibaca kalangan pembaca muda.
Oh ya btw ini adalah chapter terakhir yang bisa kupublikasikan di wattpad-ku. Sisanya kalian bisa baca sendiri di Wattpad Haebara Publisher, ya. Kapan? Tanggal 3 Februari.
"LAMA BANGET????"
Ya Anda pikir cerita saya mie instan yang bisa disajikan dalam 3 menit???
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top