1. Mysterious Encounter

AKU tidak mati.

Kenyataan itu menyebabkan Hale kebingungan sekaligus lega. Hal terakhir yang Hale ingat sebelum ini adalah kegelapan lautan yang menelan tubuhnya bulat-bulat, nyaris mencengkeramnya dalam kematian yang tidak terperi. Akan tetapi, langit terang yang terpapar di atasnya kini membuka satu jawaban baru untuknya; bahwa dia tidak mati, belum.

Pertanyaan selanjutnya; Ini di mana?

Hale duduk dengan hati-hati. Setiap gerakan otot mengirimkan rasa sakit di sekujur tubuh. Leher, pundak, dan kepalanya berdenyut-denyut nyeri seirama detak jantung. Pun saat jemarinya menyeka kepala, pasta darah kering mengotori telapak tangannya. Robekan di pelipis belum menutup sempurna, tetapi setidaknya darah sudah berhenti mengalir. Hale menebak luka-luka ini muncul karena tubuhnya terguling jatuh dari kapal dan menghantam pagar geladak dengan keras.

Hale bernapas pelan, melihat sekeliling. Di sekitarnya merupakan daratan dangkal yang menjorok ke lautan. Batuan karang tajam dan bercadas menjadi alas tidurnya yang menyakitkan. Barangkali gelombang laut semalam memuntahkan kembali tubuhnya dan mendamparkannya ke tempat ini. Beruntung dia tidak tewas―kelak ini akan menjadi kabar baik untuk kakaknya yang menunggu kepulangan Hale di rumah.

Ketika Hale tengadah, tepian pantai rupanya terletak tidak jauh dari daratan karang. Syukurnya, ada jalur darat yang bisa Hale seberangi dengan mudah dari sini. Di dekat pantai sana, sekitar setengah lusin sekoci terdampar bersama awak-awak kapal yang menaikinya. Semua orang kepayahan dan terluka seperti Hale. Beberapa pria terhuyung-huyung menuju tepi pantai lalu ambruk di pasir begitu saja. Segelintir yang masih cukup bertenaga, bergotong-royong menarik sekoci ke daratan demi menyelamatkan awak kapal yang lainnya. Hale pun berusaha bangkit―yang semuanya dilakukan sambil meringis menahan sakit. Dia berputar menghadap laut, memeriksa apakah ada barang dari kapal yang ikut hanyut bersamanya.

Di bawah karang-karang besar yang menonjol, lautan begitu biru dan tenang. Sinar matahari membias ke permukaan air yang beriak, mengungkapkan isi di dalamnya.

Tersembunyi di antara ganggang yang mengapung, ada sesuatu yang mirip seperti wajah perempuan, dengan mata sebiru es yang berpendar tajam.

Napas Hale tercekat; tetapi reaksi itu tidak membuatnya gegabah. Keterkejutan Hale ditutupi dengan ketenangannya mengamati wajah perempuan di dalam air. Hale yakin tidak ada awak kapal yang ikut dalam perjalanan kemarin berjenis kelamin perempuan dan bermata biru. Keyakinan itu diperkuat dengan apa yang dia lihat selanjutnya;

Sosok itu pelan-pelan menyembulkan kepala dari kedalaman laut, bagaikan kelopak lotus yang mekar. Seorang gadis. Helaian rambutnya yang merah dan panjang berjumbul-jumbul di permukaan air laksana lahar api abadi. Sepasang mata birunya lebih terang dari lautan, tetapi menyimpan misteri seperti halnya dasar laut yang tidak tersentuh. Gadis itu tidak berkata apa pun. Berkedip pun tidak. Hanya saja, caranya menatap entah bagaimana mengingatkan Hale dengan predator laut yang hendak memangsa buruannya.

Sedetik kemudian, gadis itu kembali menyusup ke air, lalu kepala serta pundak telanjangnya berbalik pergi. Hale menyipitkan mata manakala melihat ekor berukuran besar berpendar akibat paparan sinar. Ekor tersebut meliuk turun ke kedalaman, mengikuti tubuh sang gadis yang berenang menjauh.

Dari segala kemungkinan serta pelajaran hidup yang Hale dapat, dia pun segera menyimpulkan apa gerangan gadis ini.

Siren, si makhluk legenda.

Harta karun yang menjadi target buruan para awak kapal.

Hale merasakan jantungnya berdebar cepat―mendorongnya untuk melakukan apa yang seharusnya dia lakukan. Matanya seketika jelalatan ke sekitar untuk mencari sesuatu untuk menangkap makhluk itu. Tidak ada jala ataupun tombak, tetapi ada cukup banyak bongkahan karang tajam di tempat ini. Hale menyambar salah satu yang terdekat, namun ketika hendak mengayunkan lemparan ke arah makhluk itu, kesempatan emasnya telah hilang.

Siren itu lenyap dari jarak pandangnya.

Tidak!

Hale buru-buru menghampiri tepian karang, mendarat dengan lututnya lalu menceburkan separuh tubuh bagian atas ke dalam air. Kepalanya celingukan ke segala penjuru arah, mengintip melalui ganggang yang bergoyang mengikuti arus dan terumbu yang menghalangi pandangan. Selain ikan-ikan seukuran jemari yang berenang ke sana-kemari, Hale tidak menemukan apa-apa. Makhluk barusan telah berenang terlalu jauh. Kabur.

Sialan!

Diliputi sakit kepala dan nyeri yang mencabik-cabik bahunya, Hale terpaksa menyerah. Dia pun bersusah payah naik ke permukaan, meringis pedih pada memar di bahunya ketika tidak sengaja melakukan gerakan berlebihan. Pemuda itu kembali ke pantai dengan langkah terpincang-pincang; dalam hati bertekad, setelah bertemu dengan para awak kapal, dia akan menceritakan apa yang baru saja dia lihat. Semua orang pasti terkejut dan ingin kembali ke lautan untuk berburu.

Sesampainya di pantai, para awak kapal selamat yang berkeliaran di sana tidak menghiraukannya. Hanya satu atau dua orang yang melangkah melewati Hale sambil menatap sekilas cara jalannya yang pincang. Hale pikir, mereka pasti tidak melihat makhluk apa yang baru saja dia temui di daratan karang sana lantaran sibuk menyelamatkan diri.

Hale secara spontan menghampiri seorang pemuda seumuran dengannya yang duduk bersitirahat di atas pasir. Lengan bagian kanan pemuda itu terluka dan sudah dibebat dengan potongan kain lusuh. Kelihatannya baru saja mendapatkan pengobatan dari awak lainnya.

"Kukira kau mati." Begitulah kalimat pertama Rowan saat menyambut Hale, yang masih memandangi pemandangan laut seakan menyayangkan kepergian siren tadi. Tidak kunjung mendapat jawaban memuaskan, Rowan pun berdiri dan mendekati Hale.

"Kau juga lihat monster yang semalam?"

Hale mengernyit. Atensinya otomatis terpaku pada Rowan. "Monster?"

"Besarnya melebihi kapal yang kita naiki. Makhluk terkutuk itulah yang mengguncang kapal dan melempar semua orang ke laut!" Mata Rowan bergetar dengan ketakutan sekaligus amarah, seakan masih tidak terima atas kerugian yang menimpanya.

Hale mendadak kehilangan kata-kata. Satu-satunya monster yang dia lihat adalah siren yang tadi―gadis yang memiliki ekor seperti halnya ikan. Bermata biru laksana es, dan berambut merah menyala. Barangkali di balik bibirnya yang rapat seperti tiram juga tersembunyi gigi-geligi tajam bak hiu. Namun satu hal yang pasti, ukuran tubuh gadis itu tidak melebihi kapal. Jelas ada yang salah dari kesaksian Rowan.

"Aku tidak lupa apa yang terjadi semalam. Kapal kita diserang badai. Aku jatuh ke lautan dan hanyut sampai sana." Hale menunjuk daratan tempatnya terbangun tadi. "Monster apa yang sebetulnya kau bicarakan?"

"Aku melihatnya!" Rowan seakan tidak sabar dengan reaksi Hale. "Monster itu muncul tidak lama setelah badai datang. Ular yang besar sekali! Dia melilit kapal kita lalu menjungkirkannya―Aldric dan Theron juga melihat! Kami bertiga menaiki sekoci dan cepat-cepat mendayung sampai ke pantai!"

Hale mendongak dan menyipitkan mata memandang para awak kapal yang tersebar di tepi pantai. Sejak tadi dia luput memperhatikan, tetapi orang-orang di sekitarnya memang kelihatan heboh bercerita satu sama lain. Raut mereka dibasuh oleh kepanikan persis seperti ekspresi Rowan. Barangkali, kesaksian Rowan mengenai monster lautan itu memang benar. Hale belum sempat melihat monster itu lantaran semalam sungguh kacau; hujan badai mengaburkan pandangan. Teriakan komando dan sumpah serapah bergulung bersama guntur yang menggelegar. Kapal berguncang keras, sementara volume besar air meraup haluan dan menghantam tiang. Hale diberi perintah oleh Kapten untuk mengawasi lambung kapal dari potensi kebocoran. Namun, huru hara yang terjadi membuat kewaspadaannya menurun. Langkahnya tersandung tali jangkar ketika hendak turun ke dek, lalu tubuhnya terpelanting melewati pagar, yang mengakibatkan Hale jatuh ke dalam laut.

"Monster, katamu? Oh ...," Hale bergumam. Benang pikirannya agak kusut. Daripada monster yang belum Hale lihat dengan mata kepala sendiri, ada hal lain yang saat ini lebih menguras perhatiannya; siren. Makhluk legenda yang menjadi buah pembicaraan utama di desa Bleakmere, kampung kelahiran Hale. Bila dibandingkan dengan kehadiran monster laut yang merusak kapal, topik mengenai siren harusnya sanggup membuat mata semua orang melotot keluar dari rongganya.

"Sudah kuduga, Bung," kata Rowan, masih dengan api kepanikan yang menyala-nyala. "Ternyata desas-desus yang menyebar di desa kita benar. Lautan ini dihuni oleh monster yang tidak suka bila kita berlayar di atasnya! Hei, kau dengar aku, kan?"

Hale menatap Rowan, mengalihkan topik. "Aku baru saja bertemu siren."

"Si-siren?"

"Ya, siren sungguhan."

"Kau mengarang cerita karena barusan kau pikir aku mengarang monster laut itu."

"Bukan begitu, Rowan. Aku percaya ceritamu, dan aku ingin kau juga percaya dengan apa yang kulihat." Hale menunjuk lagi titik jauh di belakangnya. "Aku baru saja bertatap muka dengan siren di daratan karang yang ada di sana. Gadis muda. Kulitnya terang pucat, berambut merah panjang, bermata biru, dan punya ekor. Dia kabur sebelum aku menangkapnya."

"Ya, ya, kelihatannya cantik sekali. Apa kau sempat mencium gadis itu?"

Hale mematung. "Kau pikir aku bohong?"

"Hale, ayolah. Apa kau tahu bagaimana rupa siren yang asli?"

Pertanyaan barusan membuat Hale bungkam. Selain Raja di Bleakmere yang kabarnya pernah menangkap siren hidup-hidup, Hale tidak yakin ada orang di desanya yang pernah melihat siren secara langsung. Dia memang mendengar desas-desus yang memberitakan bagaimana rupa siren―walaupun menurut Hale, rumor itu tidak pernah benar-benar terbukti, sebab penduduk desa sejak dulu hanya menyebar gosip dari mulut ke mulut. Semua orang termasuk Rowan percaya bahwa siren memiliki wajah seperti predator hiu―geligi tajam, mata hitam kecil nan berbahaya, dan insang merah gelap yang mengatup-ngatup liar di kedua sisi lehernya. Bahkan tidak ada yang bisa membedakan siren berjenis kelamin betina atau jantan, sebab penggambaran keduanya sama-sama buruk rupa; mengingatkan Hale dengan penyihir terkutuk yang senang memangsa anak-anak di buku-buku dongeng. Satu-satunya yang indah dari siren adalah suaranya yang memukau, tetapi itu saja tidak cukup untuk meloloskan kesaksian Hale mengenai apa yang dia temui.

"Yang kau lihat bukan siren. Mana ada siren yang ciri-cirinya seperti itu?" Rowan menegaskan keresahan itu lewat ekspresinya yang berubah prihatin. "Kepalamu terbentur cukup parah, Hale. Lihat darahnya. Kau mungkin agak linglung dengan semua ini."

"Aku tidak bohong. Makhluk yang kulihat tadi sungguhan memiliki ekor!"

"Hanya kau yang melihat, bukan?" Rowan menarik napas, menatap Hale lurus-lurus. Ketika bantahan hendak meluncur keluar dari mulut Hale, Rowan buru-buru menepuk pundaknya. "Sudahlah, akui saja bahwa misi kita memburu siren telah gagal. Kapal kita karam di tengah perjalanan karena serangan monster yang luput dari daftar ancaman kita. Jadi, tidak usah merepotkan dirimu dengan imajinasi liar bertemu siren."

Hale terperenyak dengan reaksi itu. Namun dia menatap Rowan dengan pandangan datar dan tidak terbaca, sementara lawan bicaranya melanjutkan dengan tenang, "Percayalah, Hale, bertemu dengan siren tidak semudah itu. Kau butuh banyak senjata untuk menjebaknya, itulah mengapa kita melakukan perburuan siren bersama-sama; sebab kita semua tahu satu orang saja tidak mungkin bisa melawan siren. Mereka liar, brutal, dan kejam."

Lalu, kalimat terakhir Rowan dilesatkan dengan seringai ironis;

"Kalau kau seorang diri bertatap muka dengan siren, kau tidak akan sempat berdiri di hadapanku seperti ini. Camkan kata-kataku; tubuhmu keburu dicabik-cabik sampai binasa."[]

-oOo-

.

.

.

.

.

.

.


Aku bayangin Hale sebagai cowok pendiam yg tampangnya badboy tapi sinar matanya tulus. Tipe siape nie 🙂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top