04
10 Oktober
"Kau sudah siap, Natha?"
Pertanyaan mengalun lembut tertuju pada gadis berambut perak yang tengah bercermin.
"Sudah, Ma."
Gadis itu mematutkan diri, midi dress coklat tua selutut terbalut di tubuhnya, gaya rambut french braids terjalin rapi, ditambah kalung pemberian Tenn 6 hari lalu menambah kesan baru untuknya. Ia terlihat menarik napas lalu diembuskan, tatapan tajam tersirat lembut menatap cermin rias di depannya.
Gadis itu atau Nathalia bangun dari duduknya, memutarkan daksa dan melihat ibu dari aktor sekaligus idol berbakat tengah tersenyum tipis.
"Kau terlihat cantik, Sayang."
Beliau memuji membuat dirinya tersipu malu.
"Mama berlebihan, semua perempuan cantik termasuk Mama sendiri," elaknya dibalas gelakan kecil, merasa lucu dengan gestur tubuhnya.
"Aku sama sekali tidak menyangka kau akan menikah lebih dulu dibanding Minami." Nyonya Natsume berkomentar sembari menghampiri Nathalia. "Dan kupikir kau akan menikah dengan Minami," sambungnya diiringi kekehan halus.
Nathalia hanya tersenyum canggung, tidak tahu harus membalas apa dari komentar bermaksud menggoda dari wanita cantik puluhan tahun lebih tua dibanding dirinya.
Nyonya Natsume hanya bisa terkekeh melihat ekspresi Nathalia, kedua tangan menangkup wajahnya dan mengusap pelan.
"Aku hanya bercanda ... apapun keputusanmu, kami akan mendukung. Termasuk menikah dengannya," tandasnya lembut.
Nathalia menatap orang yang bersedia merawatnya dengan haru, segera memeluk dengan erat, membenamkan wajah di bahu sang wanita itu.
"Terima kasih ... terima kasih sudah bersedia merawatku." Gadis itu berterima kasih, pelukannya semakin erat seakan tidak mau dilepas. "Maaf selama ini telah merepotkan kalian, maaf ...."
"Kau sama sekali tidak merepotkan kami, justru kami merasa senang akan kehadiranmu di sini." Wanita tersebut berkata demikian, membalas pelukannya sembari mengusap kepalanya dengan lembut. "Lagipula ... kami telah menganggapmu bagian dari keluarga ini, Sayang ...."
Anggukan kecil dilakukan oleh Nathalia, mengerti akan diucapnya. Perlahan melepaskan pelukan, senyuman kecil tersemat di sana.
"Terima kasih sudah menyayangiku, Ma. Kaulah yang terbaik!" pujinya sembari memberikan sign love ke nyonya Natsume.
"Kau juga." Wanita itu tetap menampilkan senyuman tipis dan teduh persis seperti anaknya, tangan kanan bergerak ke atas puncak kepala Nathalia, merapikan rambut perak dengan jemari lentiknya. "Lekas turun dan temui dia."
Lagi-lagi anggukan kecil dilakukan gadis berusia 20 tahun, mereka lekas keluar dan menemui orang yang telah menunggu kedatangannya serta berpamitan pergi ke suatu tempat.
𖥔
"Kita akan kemana?"
Satu buah pertanyaan terlontar dari bibir mungil berwarna pink di tengah hiruk-pikuk stasiun kota.
"Kyoto."
Jawaban super singkat diterima olehnya dan langsung berpikir sejenak.
"Kyoto? Untuk apa kita ke sana?"
Sang penerima pertanyaan segera melirik ke sebelah kirinya, sedikit kerutan dahi terhias di sana.
"Tentu saja kita akan berfoto sekaligus liburan di sana," jawabnya sedikit berbisik. "Apa kau melupakannya, Nathalia?"
Sang penanya atau bisa dipanggil Nathalia kembali terdiam sejenak, mengingat kembali pesan yang dikirim oleh pria di sampingnya. Beberapa detik kemudian, tepukan pelan dilakukan olehnya.
"Aku lupa."
"Tidak biasanya kau pelupa," sindirnya dibalas cubitan kecil di lengan.
"Diamlah," desis Nathalia sembari melirik sinis. "Wajar jika aku pelupa, itu menandakan bahwa aku manusia. Tidak seperti kau, Kujo Tenn."
Tenn mengelus lengannya sembari terkekeh pelan, "Aku hanya bercanda, maaf ...."
Nathalia sedikit mendengus kesal, kemudian melihat kereta dengan arah tujuan Kyoto sudah tiba di peron. Saat ingin melangkah, tangannya terasa dipegang oleh seseorang dan ditariknya pelan seolah tidak mengizinkan untuk jalan sekarang. Mata peraknya melirik ke arah pelaku penghentian langkah dengan penuh tanda tanya.
"Kita tunggu agak sepi dulu," ucap si pelaku, Tenn begitu singkat.
Awalnya Nathalia bingung apa maksudnya, tetapi dia mengerti dalam kurun waktu dua detik. Anggukan kecil disematkan Nathalia, sedikit mundur untuk mensejajarkan berdirinya dengan pria di sampingnya lalu menunggu semua penumpang untuk masuk maupun keluar dari kereta. Beberapa waktu kemudian, pintu masuk maupun keluar kereta agak sepi dari penumpang, hanya segelintir orang melakukannya. Melihat hal itu, mereka berjalan bersisian untuk masuk kereta dengan pegangan tak dilepas. Pintu perlahan tertutup setelahnya dan kereta mulai bergerak, meninggalkan stasiun kota Tokyo dan meluncur ke destinasi berikutnya.
🏯
"Kuil Ginkakuji ...."
Lirihan lembut teralun, mata peraknya menatap nama dari torii yang menjulang tinggi. Sesaat ia melirik ke arah pria di samping-yang sebentar lagi menjadi suami sahnya-sedang membungkuk di depannya, sekelebat suruhan dari pikiran bawah sadar untuk mengikuti tindak-tanduk yang dilakukan tiap masyarakat Jepang sebagai penghormatan akan budaya mereka. Gadis itu ikut membungkuk sembari berkata dalam hati, 'Kedatangan kami tidak akan membuat reputasi tempat suci ini buruk.'
Sedangkan pria di samping tersenyum tipis, menunggu pasangannya selesai membungkuk sebagai bentuk hormat sebelum memasuki kuil. Pasangannya telah selesai melakukan penghormatan lalu menoleh ke arahnya membuat mereka saling bersitatap.
"Kau bahkan melakukan apa yang biasa dilakukan kami, ya."
"Yah begitulah, itu kebiasaan kecilku." Gadis itu mengangguk pelan, tatapannya teralihkan beberapa saat ke torii sebelum kembali bersitatap. "Untuk melakukan apa yang biasa dilakukan oleh masyarakat setempat, sebagai bentuk penghormatanku akan budaya mereka. Meski ... tidak semuanya bisa kulakukan, Kujo Tenn."
Tenn paham dengan penuturan itu dan langsung menilai jika pasangan di sampingnya begitu menghormati kebudayaan mereka.
"Menurutmu tidak masalah bukan?"
Tenn menggeleng pelan sembari mengulas senyuman tipis, "Tidak masalah."
'Justru aku menyukai kebiasaanmu itu,' lanjutnya di dalam hati.
Terlihat Nathalia mengembuskan napas perlahan, mata cantiknya menatap begitu lembut terhadap obyeknya. "Maaf sudah menyubitmu tadi," katanya meminta maaf.
"Daijoubu." Merangsek maju melewati torii dan meninggalkan gadis, tidak, wanita di sampingnya beberapa langkah. Kemudian berhenti dan membalikkan tubuh agar bisa menatapnya. "Ikou, kita tidak bisa berlama-lama di sini."
Sebagai balasan atas ajakannya, Nathalia melangkah maju diiringi semilir angin kecil membuat midi dress-nya beterbangan, mengikuti arah mata angin. Seusai itu, mereka berjalan bersama. Mencari fotografer yang mereka sewa di suatu lokasi dekat dengan kuil Ginkakuji.
📷
Cekrek! Cekrek!
Suara memotret terdengar berulangkali, sedikit cahaya keluar dari lensa. Seorang fotografer melihat hasil karyanya, mengangguk pelan lalu menatap dua sejoli yang tengah menjadi obyeknya.
"Hasilnya lumayan, bagaimana jika kita berpindah tempat?"
Kedua sejoli itu saling melemparkan pandang lalu mengangguk kecil, menyetujui sarannya.
"Tentu, arahkan kami di mana tempat yang menurutmu cocok."
Setelah mendengar persetujuan tersebut, mereka langsung berpindah tempat. Sebuah hamparan rumput tertutupi oleh dedaunan kering menjadi obyek mereka, di tengahnya terdapat karpet tergelar dan beberapa buku serta gitar. Fotografer mengarahkan bagaimana seharusnya mereka berpose, arahan pertama Nathalia duduk sembari membaca buku dengan Tenn berada di sebelahnya. Mereka mematuhinya dikarenakan pose tersebut terkadang suka dilakukan dan begitu enjoy oleh mereka. Semua arahan dipatuhi sampai arahan keempat di mana Tenn mengangkat Nathalia setinggi yang dibisanya, sedangkan wanita berambut perak menangkup wajah sang pria sembari mendekatkan wajahnya.
Sontak saja reaksi mereka merona malu, saling melirik dan bertukar pikiran diam-diam.
"Ekhem ... apa pose itu boleh diganti?" Tenn bertanya dengan wajah menampilkan rona malu begitu samar.
"Eh? Apa itu mengganggu kalian?"
Nathalia mengangguk kecil, membuat fotografer mendesah kecewa.
"Sayang sekali, padahal itu terlihat bagus jika kalian melakukannya." Ia berkata demikian, sejenak berdiam diri. "Tapi baiklah, aku tidak akan memaksa kalian."
Kemudian berpikir untuk mencari bagaimana pose mereka untuk berfoto yang pas, sejenak sebuah bayangan terlintas membuatnya mengulas senyum.
"Bagaimana jika kalian berkeliling saja sebentar?" sarannya dibalas kerutan dahi oleh mereka.
"Berkeliling?" ulang Nathalia dibalas anggukan kecul.
"Lalu pemotretannya?"
"Itu setelah kalian berkeliling saja." Fotografer masih tersenyum, mengambil penutup lensa dan memasangnya. "Aku juga akan berkeliling untuk menentukan tempat yang pas nanti."
Kedua sejoli saling bertukar pandang, dua sudut bibir perlahan tertarik membentuk ulasan senyum samar.
"Baiklah, kami menyetujui ide itu."
Fotografer tersebut menghela napas lega, mengambil langkah menjauh dari sejoli tersebut dan berkata, "Sampai bertemu nanti!"
֥֍
Ratusan pepohonan dengan beragam jenis warna daun sebagai latar taman kuil Ginkakuji, usia setiap pohon pun juga demikian, beranekaragam dan sepertinya mencapai ratusan bahkan ribuan tahun. Di sekitar kuil terdapat danau kecil dan dedaunan berguguran berada di atas riak air.
Tap! Tap!
Derap langkah yang ditimbulkan dari sepatu bot berwarna coklat muda sebagai pengisi kekosongan, langkah itu diikuti oleh sepatu coklat tua. Kedua pasang sepatu itu menyisir jalan di sekitar taman kuil.
"Indah, ya."
Pujian singkat keluar dari bibir mungil berwarna pink kala melihat suasana tempat mereka bersinggah.
"Tempat ini memang dikenal akan keindahannya, terutama saat musim gugur."
Suara khas pria menyahuti pujian itu, memberikan sedikit penjelasan apa yang diketahuinya.
"Oh, ya?" tanya wanita di samping tidak percaya.
"Iya, tempat ini dikenal dengan keindahannya." Pria itu mengangguk dengan mata sedikit melirik ke arahnya. "Bahkan keindahannya mampu menyaingi kuil Kinkakuji, pavilion emas."
Nathalia mengangguk paham, mata cantiknya menerawang langit. "Aku bisa membayangkannya."
Pria dengan rambut pink lembut mengulum senyum samar kala mendengar pernyataannya. "Apa kau ingin ke sana?"
"Sepertinya," jawab Nathalia begitu singkat.
"Jika ingin, kau bisa pergi setelah ini." Ia memberi saran seraya terus menjejakkan kaki di atas rumput dan gaun berguguran. "Ataupun mengganti tempat berfoto di sana," lanjutnya dibalas gelengan kecil.
"Aku tidak ingin mengganti-ganti tempat secara spontan," tutur Nathalia pelan, ditolehkan ke arah kanan, menatap sahabatnya yang sebentar lagi menjadi pasangannya. "Kasihan dengan fotografer itu dan kemungkinan tempat itu ramai dikunjungi wisatawan, bukan? Jika mereka melihat kita mendatangi tempat itu, bukankah menjadi buah bibir nantinya?"
Tenn tertegun mendengarnya, dalam pikir dan hati membenarkan perkataan meskipun itu pertanyaan yang harus dijawab. Dengan ringan mengangguk, "Kau benar."
Nathalia berhenti secara tiba-tiba tepat di depan miniatur pasir seperti gunung Fuji, kedua tangan disembunyikan di balik punggung. Matanya menatap miniatur tersebut dengan saksama, sesekali menerawang jauh. Penghentian langkah Nathalia membuat Tenn ikut berhenti, ditatapnya wanita asal Inggris lamat.
"Ada apa?"
"Entah kenapa aku merasa kau selalu mengiyakan perkataanku," celetuk Nathalia membuat Tenn mengernyitkan dahi. "Maksudmu?"
"Setiap aku berkata sesuatu, kau dengan mudahnya mengiyakan perkataan itu." Wanita itu mulai menjelaskan, atensi teralihkan ke arah calon suaminya. "Kau seperti itu karena kehabisan kata untuk membantah atau bagaimana, Kujo Tenn?"
"Tidak semua aku iyakan, ada yang aku bantah perkataanmu." Tenn melontarkan argumen, mata khas kucing menatap tajam bak predator. "Aku membantah jika perkataanmu salah atau tidak sejalan dengan apa yang kupikirkan. Tetapi apa yang kaukatakan tadi memang benar adanya," ungkapnya.
"Begitukah?"
Anggukan kecil sebagai balasannya.
"Aku pikir kau kehabisan kata untuk membantah."
"Sama sekali tidak," tegas center TRIGGER diiringi gelengan tegas jua. "Aku bisa saja membantah perkataanmu tiap saat, tetapi terasa bodoh saja jika perkataanmu benar sedangkan aku masih membantahnya."
Nathalia diam tidak bergeming disusul Tenn menghela napas, tanpa segan meraih tangan calon istri dan menggenggamnya erat. "Ayo, ke tempat lain."
Cekrek!
Suara jepretan khas kamera terdengar samar, sumbernya berada tak jauh dari mereka.
"Hasilnya memuaskan! Kenapa tidak dari tadi saja aku melakukannya?"
Bisikan penuh sorakan senang datang dari semak-semak, bisikan itu milik fotografer yang disewa salah satu top idol di Jepang. Mata hitamnya menatap layar kamera berbinar, merasa puas akan hasil potretannya.
"Aku rasa Tenn-kun puas dengan foto ini," bisiknya berharap dan mulai meninggalkan tempat persembunyian, mengikuti sepasang calon suami istri pergi.
Jika dipikir-pikir, tindakannya mirip seorang paparazzi, ya?
ᘡ✦ᘞ
"Kujo Tenn."
"Hn."
Dehaman dari pemilik nama seakan jawaban atas panggilan terhadap dirinya, Nathalia memegang pagar jembatan, tempat berikutnya mereka tandangi.
"Apa menurutmu ... para penggemar kalian, terlebih kau menyetujui pernikahan ini?"
Pertanyaan simple keluar dari bibir mungilnya setelah beberapa hari ditanggung dan mencari jawabannya sendiri, Tenn segera menoleh dengan raut wajah berpikir.
"Jika belum bisa menjawabnya sekarang, kau bisa menjawabnya lain kali," sambung Nathalia.
"Aku akan menjawabnya sekarang," putus Tenn dibalas tatapan ingin tahu namun menyembunyikan kegundahan. "Aku tidak bisa menebaknya, tetapi kurasa mereka akan menerima pernikahan ini meskipun dilanda kesedihan bagi mereka. Kau tahu, banyak dari mereka berandai menjadi istri dari idol disukai."
Nathalia mengangguk paham, tak bisa dipungkiri memang, bahkan dirinya pernah berandai seperti itu.
"Apa kau merasa gundah, cemas dengan pernikahan ini?" tanya Tenn sontak membuat Nathalia memalingkan wajah.
'Bagaimana dia bisa tahu?' batinnya terkejut.
"Apa aku benar?" desak Tenn, mau tak mau Nathalia mengangguk pelan.
"Bagaimana bisa kau tahu itu?" tanyanya dibalas senyuman kecil.
"Entahlah, aku hanya merasa saja dan melihat raut wajahmu."
"Begitu, ya ...." Nathalia menggumam pelan, anak rambut beterbangan dibiarkan begitu saja olehnya. "Aku memang cemas dengan ini, beberapa hari terakhir, Kujo Tenn."
"Aku tahu," ucap Tenn pelan. "Jangan khawatir, aku akan melindungi dan selalu bersamamu."
"Terima kasih, aku merasa lega mendengarnya."
Ucapan terima kasih disusul hela napas lega terdengar samar, tangan kanannya bergerak untuk menyampirkan anak rambut nakal ke belakang daun telinga. Mata perak memandang kuil Ginkakuji atau dikenal sebagai pavilion perak memuji, tangan kirinya masih memegang pagar pembatas jembatan. Sesekali matanya melirik ke atensi lain hinggs melihat ke jam tangan miliknya;
"Kujo Tenn, lebih baik kita kembali ke tempat awal."
"Baik."
Baik Tenn maupun Nathalia meninggalkan jembatan yang sejak tadi disinggah menuju titik awal mereka melakukan pemotretan. Awalnya tampak biasa saja, sampai Nathalia yang merasa bosan menyenggol Tenn dengan sengaja, senggolan itu dibuahi lirikan kesal hingga pria di samping menyenggol sedikit kuat membuat Nathalia mulai kehilangan keseimbangan. Idol berjulukan 'malaikat modern' lari meninggalkannya setelah melakukan balas dendam, sedangkan wanita berusia sebaya dengan pria itu mulai mengejar.
"Jangan lari!"
"Aku tidak lari, hanya mempercepat langkahku saja~"
"Sama saja, stupid!"
Gelakan tawa menghiasi keadaan mereka, pasangan calon suami istri itu bermain kejar-kejaran dengan wajah ceria seakan baru mengangkat beban begitu berat. Momentum ini tentu langsung diabadikan dengan cepat dan tangkas oleh fotografer sedari tadi mengikuti mereka.
Cekrek! Cekrek!
"Ckckckck ... mereka bermain kejar-kejaran saja sudah bagus hasil potretannya," komentar fotografer kembali memotret.
"Tapi tidak apa-apa, setidaknya aku bisa mengirim hasil potretan ke Tenn-kun. Aku yakin dia akan menyukainya."
To Be Continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top