Bab 14

"Love that once hung on the wall
Used to mean something, but now it means nothing
The echoes are gone in the hall
But I still remember, the pain of december"

----------------------------------------------------------------------------

Pagi yang indah membuat semua orang akan senang dalam menjalankan aktivitas. Tapi, tidak dengan perempuan yang satu ini. Dia terlihat gelisah, dan takut. Xenia, nama perempuan tersebut. Bolak-balik di ruang tamu, menunggu seseorang yang katanya akan menjemputnya.

Ting Tong...
Ting Tong...

Suara bel terdengar, menandakan ada seseorang di luar. Xenia, langsung melangkahkan kakinya untuk membuka pintu apartemennya. Stefan, laki-laki yang memencet bel pintu apartemen Xenia.

"Ayo" Ajak Stefan, sambil mengangkat tangannya menunggu Xenia untuk mengenggamnya.
"Gw, takut" Ucap Xenia lalu menunduk.

Stefan yang melihatnya hanya tersenyum. Lalu, mengelus puncak kepala Xenia dengan sayang.
"Kalau gini terus, kapan move on-nya." Ucap Stefan dengan tersenyum geli.
"Tapi, gw beneran takut. Gw gak siap" Ucap Xenia dengan pandangan yang masih menunduk.

Stefan menghela napas, lalu menarik Xenia ke dalam pelukannya. Membisikkan kata-kata yang membuat Xenia menaikkan pandangannya, lalu masuk ke apartemen untuk mengambil tasnya.
"Kalau cinta gak akan kemana" Bisik Stefan.

Aku sedang dalam perjalanan menuju sekolah dengan Stefan. Berbagai macam pikiran datang dan masuk ke dalam otakku.
Belum siap. Itu pikiran yang aku pikirkan dari tadi. Aku takut, tapi apa yang dikatakan Stefan benar. Aku harus bisa move on. Aku harus bahagia. Aku harus bisa mengembalikkan hatiku, walau aku tau itu tidak akan sempurna.

"Udah siap?" Tanya Stefan, aku menatap Stefan dan mengalihkan pandanganku ke depan. Ternyata udah sampai sekolah. Aku menghembuskan napas dan menganggukkan kepalaku.

Duduk manis, itu yang aku lakukan sekarang di dalam kelas. Menatap sekeliling kelas dan menghembuskan nafas. 1 bulan lagi ujian kenaikkan kelas, yang berarti aku akan menjadi kelas 12. Dan tak lama, oma akan membawaku bersamanya.
Penat dan pening itu yang aku rasakan, namun mau bagaimana lagi. Inilah hidupku. Aku menundukkan kepalaku. Ternyata pening di kepalaku bertambah. Kenapa lagi ini?

Aku terdiam, tak lama aku meraksakan ada yang mengalir dari hidungku. Aku memegangnya dan menegang, darah. Aku, mimisan. Aku pun mengambil tissue dan handphone-ku. Mengaca, dan ternyata benar aku mimisan. Aku mengelap darah yang mengalir dari hidungku. Berharap, tidak ada yang melihat.

"Xiaaaaa" Ucap seseorang. Aku melihat dan ternyata yang memanggilku adalah Cara. Untung saja, aku sudah selesai membersihkan darah yang mengalir dari hidungku.
"Akhirnya lo masuk juga. Lo gak kenapa-kenapa kan?" Tanya Kristina. Aku hanya tersenyum.
"Gw gak apa-apa kok. Kata dokter kemarin gw cuma kecapekan." Ucapku menenangkan.
"Kecapekan, lo gak pernah kecapekan Xia" Ucap Cara dengan sengit.
"Gw emang bener kecakpean Car, kenapa lo gak percayaan sih ama gw" Ucapku dengan marah.
"Ada ya yang kecapekan ampe gak bangun selama 3 hari. Mau lo apa sih Xiaa!" Ucap Cara dengan marahnya, wajahnya sudah memerah.
"Mau ampe kapan lo kaya gini sih, Xia? Hati lo udah hancur, dan lo kasih darah lo buat si brengsek itu. cukup Xia, cukup. Gw capek liat lo kaya gini" Ucap Kristina dengan sedihnya. Aku menatap Kris dan Cara bergantian. Menunduk itu yang aku lakukan sekarang.
"Maaf" Setelah mengucapkan kata itu, aku melangkahkan kakiku menuju keluar kelas. Mencari tempat yang tepat untuk pelampiasanku.

Bolos lagi, itu yang aku lakukan sekarang. Menatap jalanan lewat jendela taksi itu yang aku lakukan juga sekarang. Handphoneku terus berdering. Namun, aku mengabaikannya. Menatap jalanan yang lenggang, aku terdiam. Memikirkan dengan baik-baik keputusanku.

Dulu, aku bertekad untuk berjuang mendapatkan hati mama, papa, Bella, dan juga Alex. Dulu, aku bertekad walaupun hatiku terluka aku akan tetap berjuang mendapatkannya. Tapi, itu dulu. Sebelum semua ini terjadi.

Sekarang, aku berfikir berulang kali dengan tekadku yang dulu. Mendapatkan hati mama, papa, Bella, dan juga Alex. Musnah. Satu kata yang melewati otakku. Musnah sudah harapanku untuk mendapatkan hati mereka semua. Saatnya untuk menghilangkan mereka semua di hidupku.

"Neng, kita mau kemana ini?" Tanya supir taksi. Aku terdiam. Bingung ingin kemana. Apa lebih baik aku mengambil pakaian dan juga barang-barangku yang lainnya.
"Ke Perumahan Presidence aja ya, pak" Ucapku. Lalu mengalihkan pandanganku ke jalanan lagi.

"Udah sampai, neng" Ucap supir taksi yang menyadarkan ku dari lamunan yang tidak jelas.
"Berapa pak?" Tanyaku ke supir taksi.
"30.000 ribu neng" Ucap supir taksi. Setelah memberikan uangnya. Aku turun dan menatap rumah di hadapanku ini.

Rumah ini rumah yang bagi orang-orang adalah rumah yang terkesan mewah, dan terlihat penuh keharmonisan. Namun, kenyataan berbeda dengan ekspetasi, bukan. Rumah ini menyeramkan bagiku. Penuh dengan kebencian dan kesakitan.
Menghela napas, dan berharap tidak ada orang yang mengubah tekadku ini.

tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top