Bab 13

"Maaf, bukannya aku tidak mau. Tapi, aku berfikir berulang kali. Untuk apa, aku mempertahankanmu dengan mengorbankan hatiku. Padahal, aku tau kau tidak pernah menatapku. Walaupun sekali."
-XD-


-----------------------------------------------

"Gw bantu, dengan syarat..."

Saat ini, Xenia sedang berada di apartemennya. Sudah 5 hari Xenia tidak menginjakkan kaki di rumah. Tidak ada yang mencarinya, bahkan tidak ada yang mengkhawatirkannya. Xenia mengusap wajahnya dengan kasar. Lalu, pandangannya menatap ke langit yang mendung.

Pikirannya kosong, tatapannya pun kosong. Terdiam. Hanya itu yang Xenia lakukan, setelah pulang dari rumah sakit kemarin. Tidak ada yang Xenia lakukan. Bahkan, setelah pulang dari rumah sakit Xenia tidak makan sampai sekarang.

Drtt...
Drtt...
Drtt...

Xenia menengok ke handphonenya, yang bergetar di sampingnya. Xenia melihatnya dan terdiam, tanpa ada niatan ingin menjawab.

Alex's calling

Mengalihkan pandangannya lagi, ke depan. Menghembuskan nafasnya dengan kasar, lalu beranjak ke arah balkon meninggalkan handphonenya yang bergetar. Membuka pintu balkon, dan terdiam. Pikirannya kembali mengingat pembicaraannya dengan Stefan.

-flashback-
"Gw bantu, dengan syarat..." Ucap Stefan, sambil mengenggam tangan Xenia. Xenia menatapnya dengan tatapan bingung, masih diiringi isakannya. Stefan yang mengerti arti tatapan Xenia, menarik tangan Xenia menuju taman rumah sakit.

Sesampainya di taman rumah sakit, Stefan mendudukkan Xenia dan juga dirinya. Terdiam, itu yang mereka lakukan sekarang. Stefan menghembuskan nafasnya dan menatap Xenia, yang terlihat sangat menyedihkan.

"Gw capek" Ucap Stefan.

Xenia terdiam, tanpa ada niatan mengalihkan pandangannya. Dia, hanya menatap depannya dengan tatapan kosong. Stefan yang merasa Xenia terdiam, mengenggam tangan Xenia. Yang otomatis membuat Xenia menatap Stefan.

"Apa maksud lo?" Tanya Xenia.
"Gw emang gak pernah berada di posisi, dan gak berharap juga buat ada di posisi lo. Tapi, gw gak bisa liat lo kaya gini. Gw juga punya hati" Ucap Stefan.
"Lo bilang lo mau move on kan. Gw bakal bantu, tapi dengan syarat" Lanjut Stefan. Xenia menatap Stefan, dengan tatapan datarnya.
"Buang semuanya" Ucap Stefan dengan yakin dan tegas.
"Apa maksud lo, dengan buang semuanya" Ucap Xenia dengan marah. Stefan yang melihatnya hanya menghembuskan nafas.
"Terus sekarang maunya lo apa. MENETAPKAN HATI DAN CINTA LO BUAT SI BRENGSEK ITU. MEMBERIKAN HARAPAN KE KEDUA ORANG TUA LO, DENGAN HARAPAN MEREKA SADAR KALAU MEREKA PUNYA 2 ANAK. ATAU LO BERHARAP BELLA SADAR, KALAU ADIKNYA INI PUNYA RASA SAMA PACARNYA. itu mau lo?" Teriak marah Stefan, membuat Xenia terdiam.

Benar, itu lah pemikiran yang ada di otak Xenia. Xenia menghembuskan nafas, mengusap wajahnya dengan kasar.
"LO GAK TAU APA-APA TENTANG GW!" Geram Xenia.
"KALAU GW GAK TAU APA-APA, KENAPA LO DIAM. KENAPA LO GAK NYANGKAL KALAU LO PUNYA KELUARGA YANG HARMONIS, KAKAK YANG BAIK, ORANG YANG DISUKANYA TERNYATA JUGA SUKA SAMA LO. KENAPA DIAM, HAH!" Teriak Stefan dengan marah. Mukanya sudah merah padam.

Xenia terdiam, air matanya sudah menumpuk. Dia menatap Stefan dengan pandangan nanar, menunduk, dan terisak itu yang dilakukan Xenia. Stefan menghembuskan nafas, mengusap wajahnya dengan kasar lalu menarik Xenia ke dalam pelukannya.

"Gw cuma mau yang terbaik buat lo. Lo udah gw anggap seperti adik gw sendiri. Gw takut ngeliat lo yang kaya gini" Ucap Stefan dengan lembut. Xenia hanya mengangguk dalam pelukan Stefan.
"Apa syaratnya?" Tanya Xenia kepada Stefan, setelah menguraikan pelukannya.

Stefan menyelipkan anak rambut Xenia, dan menakupkan wajah Xenia sambil menghapus jejak air matanya.
"Hapus semuanya, buang semuanya. Memori, hadiah, kenangan, semuanya yang bersangkutan dengan mereka. Jangan ungkit lagi. Jadilah Xenia Deli yang baru. Jadilah Xenia Deli yang jangan memendam semuanya sendiri. Jadilah Xenia Deli, yang lo ingini." Ucap Stefan dengan lembut.

Xenia menghembuskan nafas, berpikir inilah yang terbaik. Inilah jalannya. Inilah takdirnya. Mungkin bukan dengan Alex dia bahagia. Mungkin bukan dengan Bella dia merasakan kasih sayang seorang kakak. Dan mungkin bukan dari mama dan papanya dia merasakan kasih sayang orang tuanya.

Menghembuskan nafas sekali lagi, lalu menatap Stefan. Tak lama senyuman terbit dari bibir Xenia dengan anggukan kepala Xenia. Stefan yang melihatnya tersenyum pun ikutan tersenyum, dan sekali lagi menarik Xenia kedalam pelukan hangat. Pelukan hangat yang sudah dianggap keduanya, sebagai pelukan adik kakak.
-flashback off-

Pikiranku dipenuhi oleh kata-kata Stefan kemarin. Aku bingung, di satu sisi aku masih ingin berjuang untuk mendapatkan Alex dan di satu sisi aku lelah, capek, dan takut akan hatiku. Menghembuskan nafas dan mengusap wajah adalah kebiasaanku sekarang ini. Berfikir, mungkin ini yang terbaik untukku dan untuk hatiku. Memantapkan pikiran. Mungkin aku harus melakukan apa kata Stefan, menjadi Xenia Deli yang baru. Tanpa Alex, tanpa Bella, tanpa mama dan papa, dan tanpa nama Watson.

'Mulai saat ini, aku adalah Xenia Deli yang baru' Batinku.

Aku baru saja selesai menelfon oma, meminta izin agar aku tinggal di apartemenku saja. Dan beruntungnya oma menyetujuinya. Sekarang aku menatap sekeliling apartemenku ini. Hasil dari jerih payahku menjadi model. Mungkin aku akan mengambil pakaian dan barang-barangku yang ada di rumah.

Tak lama, handphoneku pun berdering. Aku menatap layar handphoneku.

Stefan's calling

'Halo' Ucapku saat mengangkat telfon darinya
'Halooo' Jawabnya
'Ada apa Stefan?' Ucapku menanyakan kenapa dia menelfonku
'Gak ada, cuma pengen nelfon lo aja'
'Oohh iya, lo dimana?' tanyanya kepadaku.
'Di apartemen'
'Lo dimana' Tanyaku kepadanya.
'Di rumah'
'Gw mau main ke apart lo, boleh?' Aku mengangguk dengan bodohnya, tanpa sadar bahwa Stefan tidak bisa melihatnya.
'Boleh-boleh aja' Ucapku
'Ya udah tunggu gw ya. 10 menit lagi gw nyampe'
'Ok'

Telfon berakhir, aku berjalan ke arah dapur dan membuka kulkas. Tidak terlalu banyak makanan, namun cukup untukku dan Stefan nanti.

"Jadi, filmnya begini toh" Ucap Stefan. Yap, Stefan sudah datang dari 4 jam yang lalu. Dan sekarang jam di dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam.
"Emangnya kenapa ama film ini. Lo baru tau atau gimana?" Tanyaku ke Stefan, sambil memakan potongan pizza yang terakhir.
"Ya, gw bingung aja gitu. Kan judulnya the 5th wave, yang artinya gelombang ke 5. Tapi, gak ada airnya tuh." Ucapnya dengan bodohnya.

Kunyahanku terhenti mendengar Stefan yang berbicara seperti itu. The 5th wave. Film yang diperankan oleh Chloe .G. Moretz, yang menceritakan tentang serangan alien. Aku menontonnya karena Stefan yang katanya penasaran dengan filmnya.

"Gw jadi ragu kalau lo pinter" Ucapku meledeknya.
"Ya kan wave, artinya kan gelombang" Ucapnya dengan ngotot. Ake meliriknya dengan sinis.
"Gak semuanya wave itu gelombang, dongo. Ah tau ah, terserah lo lah, mau ngomong apa. Mending lo pergi dari apart gw" Ucapku dengan sinis.

Stefan tertawa, lalu berdiri sambil memunguti sampah diatas meja. Sampah kita berdua.
"Ngusir nih ceritanya" Ucap Stefan, setelah selesai membersihkan meja.
"Nah, tuh tau" Ucapku sambil mencuci tangan.

Lalu, kita tertawa. Menertawakan kebodohan kita.

Aku mengantar Stefan ke depan. Dia menatapku, aku pun menatapnya. Tidak ada apa-apa diantara kita. Aku bisa memastikan itu. Dan tatapan itu, adalah tatapan sayang antara adik-kakak. Kenapa, aku bisa memastikan diantara aku dan Stefan tidak akan ada rasa. Karena Stefan punya Diane dan aku punya segala kekosongan yang mengisi hatiku.

"Ngelamun aja, ngelamunin apaan" Tanya Stefan yang berdiri di depan pintu. Aku menggeleng sambil tersenyum.
"Ya udah gw balik dulu ya" Ucapnya, aku mengangguk dan masih menatapnya yang memasuki lift. Masuk ke dalam apart dan menutup pintu.

'Terima kasih, Tuhan. Untuk sehari ini aku tidak memikirkannya' Batinku.

tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top