Bab 10

"And I can't tell you why

Because my brain can't equate it

Tell me your lies

Because I just can't face it"

--------------------------------------------------------------------

Pagi ini aku terbangun dengan kantung mata yang sangat mengerikan. Aku tidak bisa tidur, memikirkan apa yang akan dikatakan oma nanti. Aku baru bisa terlelap, saat waktu menunjukkan pukul 3 pagi. Aku mengernyitkan mata saat notif line muncul di handphoneku.

Stefan, ngapain dia nge-line aku. Aku pun mengabaikannya, dan lebih memilih bangun dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi. Setelah selesai mandi, aku pun keluar lengkap dengan seragamku. Sekeluarnya aku dari kamar mandi, aku melihat Bik Asih yang menatapku dengan tatapan aneh. Aku menaikkan satu alisku.

"Ada apa bik?" Tanyaku ke Bik Asih. Bik Asih hanya menunduk.
'Ada apa sih' Pikirku berkecamuk.
"Bik...?" Tanyaku sekali lagi ke Bik Asih, Bik Asih menaikkan pandangannya dan menatapku gugup.
"Anu... Anu non... Ini non...?" Ucap Bik Asih dengan gugup.
"Anu, ini, anu apaan sih Bik Asih. Kalau ngomong yang jelas. Ada apa?" Ucapku greget, karena ucapan Bik Asih yang gugup dan juga ngeselin.
"Ini non, tadi nyonya besar telpon. Trus yang ngangkat nyonya, non. Sekarang, nona diminta turun ama nyonya" Ucap Bik Asih yang langsung menunduk.

Nyonya besar, berarti.... Oma. Firasatku langsung terjawab. Aku yang gak bisa tidur, karena memikirkan apa yang akan terjadi dan sekarang terjawablah.
Aku pun hanya mengangguk dan meminta Bik Asih untuk keluar. Aku menatap jam dinding, waktu masuk sekolah adalah jam 7. Dan sekarang, jam 6.30, 15 menit, aku punya waktu 15 menit untuk berdebat dengan mama, papa, dan mungkin juga Bella.

Huft, Tuhan bantu aku.

Aku menuruni tangga sambil membawa ranselku, chat line dari Stefan tadi memberitahuku jika dia akan menjemputku. Aku membalasnya dengan iya.
Sekarang, aku melangkahkan kakiku ke ruang makan. Melihat mama dan papa yang menatapku dengan sinis.
Tidak ada bella. Mungkin dia sedang dikamar dan menertawakan nasibku saat ini, atau dia sudah pergi. Entahlah aku juga tidak perduli.

Aku hanya menyender di dinding, melipat tanganku di dada, dan menatap mama dan papa dengan datar.
"Apa yang kamu adukan dengan oma-mu" Ucapan pertama mama dengan suara yang sinis. Well, berarti gak akan lama perdebatan ini dimulai.
"Tidak ada" Ucapku singkat dengan raut wajah yang masih datar.
"Gak ada apanya. Tadi oma kamu nelfon, bilang kalau kamu itu gak diurus, gak dianggap, gak dibutuhkan, selalu merasa tersendiri. Apa itu maksudnya, hah!" Ucap mama dengan ngotot. Sambil menatapku dengan wajah yang merah padam.
"Anda bertanya maksudnya apa? Memang benarkan itu semua. Kalian menganggapku seolah-olah aku anak pungut, seolah-olah aku hanya menumpang disini.
15 tahun saya mengemis kasih sayang dari kalian, 15 tahun saya menyelipkan nama kalian, agar suatu saat nanti kalian sadar jika kalian mempunyai 2 anak. Tapi, ..... Ah sudahlah. Bicara dengan kalian hanya membuat keadaan bertambah buruk." Ucapku dengan kalem yang langsung pergi dari hadapan mama dan papa.

Aku mendengar mama dan papa yang berteriak memanggil namaku. Namun, aku hanya mengabaikannya saja dan pergi. Saat aku membuka pintu depan, aku terkejut. Stefan dengan tampang bodohnya dan senyum idiotnya berdiri di depanku. Sontak aku terkejut dan langsung terduduk di lantai.
Wajahku menatapnya, yang masih dengan tampang bodohnya dan senyum idiotnya.

"Lo ngapain sih, berdiri di depan rumah orang" Ucapku kesal karena kelakuannya.
"Gw mau jemput lo. Kan tadi gw udah chat lo. Gimana sih, gw jadi ragu kalo lo pinter" Ucapnya dengan tampang sok berfikir.
"Aahh.... Tau ah. Lo ngeselin. Udah ayo cepetan, keburu telat nih" Ucapku yang mendahuluinya, dan berjalan ke arah mobilnya.

Aku berhenti, merasa ada yang aneh. Aku pun berbalik dan menatap Stefan. Stefan yang aku tatap, hanya menaikkan satu alisnya.
"Kenapa lo?" Tanya Stefan.
"Mobil lo ganti lagi?" Tanyaku.
"Astaga, gw pikir apaan. Lo jalan duluan dan tiba-tiba berhenti cuma buat nanya 'mobil lo baru', idiot banget sih lo" Ucapnya kesel, aku yang mendengar ucapannya hanya terkikik geli.

Lumayan, pagi-pagi bisa ngeselin orang.
"Udah, ayo. Keburu telat cuma ngeladenin lo dan ucapan bodoh lo itu" Lanjutnya yang sekarang sudah membuka pintu mobil.
Aku pun hanya mengangguk, dan masuk ke mobilnya.

Sesampainya di sekolah, aku dan Stefan berjalan beriringan di lorong sekolah. Karena kelasku dan Stefan sama.
Saat sedang bercanda di lorong dengan Stefan, aku melihat Alex dan Bella sedang bercanda.
Bella yang melihatku pun hanya tersenyum sinis.
Aku yang melihatnya hanya menatapnya dengan datar. Dan berlalu dari hadapan mereka berdua.

"Gw tau" Ucap Stefan. Aku menatapnya dengan bingung.
"Tau apaan?" Tanyaku ke Stefan.
"Yang lo rasain" Ucapnya. Aku hanya menatapnya dan berlalu pergi meninggalkannya.

Saat ini aku sedang berada di cafe. Breazh Cafe lebih tepatnya.
Setelah pulang sekolah, oma menelfon dan memintaku untuk bertemu disini. Sambil menunggu oma, aku menatap ke sekeliling cafe ini.

Interior yang indah, nyaman, dan menakjubkan membuat para kalangan remaja maupun dewasa menjadi betah untuk berlama-lama di cafe ini. Warna yang didominasi hitam putih dan coklat. Membuat kesan yang terlihat adalah indah dan kalem.

Aku yang masih menganggumi keindahan cafe ini, tak sadar jika ada seseorang yang sudah berada di hadapanku.
"Oma..." Ucapku yang terkejut, karena kaget dengan kedatangan oma yang tiba-tiba.
"Hallo, dear" Ucap oma dengan kalem. Berbeda denganku yang sangat terkejut.
"Oma... Oma kapan duduk disitu?" Tanyaku dengan bodoh.

Oma hanya menghela napas dan menatapku malas.
"Well, oma duduk disini saat kamu masih menganggumi keindahan cafe ini. Dan tidak menghiraukan oma." Ucap oma dengan kesal.

Aku hanya terkikik geli melihat oma yang kesal.
"Maaf, oma" Ucapku ke oma.

Oma hanya mengangguk, lalu berpindah tempat duduk disampingku. Dan langsung memelukku.
"Oma merindukanmu, sayang" Ucap oma dengan lirih. Aku hanya mengangguk dan mempererat pelukan oma.
"Xia, juga rindu oma." Ucapku dengan lirih. Dan tanpa aku sadari, aku menangis. Merindukan oma. Sangat merindukan oma.
"Jangan menangis, kamu sudah besar. Malu ah sama oma yang sudah tua ini." Canda oma, yang mencoba mengubah suasana.

Aku yang mendengar oma berbicara seperti itu hanya tertawa dengan air mata yang masih menghiasi wajahku. Oma pun memelukku lagi, namun bukanlah air mata yang keluar. Melainkan tawa. Tawa bahagia.
Oma melerai pelukannya, dan menatapku dengan tatapan seriusnya. Kenapa, perasaanku tidak enak.
"Oma sudah tahu semuanya. Dan oma mengajakmu bertemu, untuk membahas sesuatu sayang" Ucap oma.
Aku hanya meneguk ludahku.
Tuhan, bantu aku.
"Maksud, oma?" Tanyaku.
"Oma....."





tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top