XVI : Discussion

"Aine?"

Baru saja kami membahas Aine dan tepat saat itu, Syo memberikan informasi mengejutkan barusan.

"Kami akan keluar. Suruh saja dia tunggu di ruang tamu," pesan Ai.

Kutunjuk diriku sendiri kemudian berucap, "Aku juga keluar?"

"Tentu saja. Kau orang pertama yang bertemu dengannya kan? Kenapa kau malah cerita kepada Reiji dulu dan bukan aku orangnya?"

Ah -- saat itu aku canggung dan terkurung sehingga yang bisa kuceritakan mengenai pertemuanku hanyalah Reiji.

"Maaf, deh. Nggak marah kan?"aku menyeringai kaku.

Ia melipat tangan. "Entahlah."

Cih. Jawaban apa itu?

Aku menatapnya bingung. Di satu sisi ia bisa saja begitu dewasa, memperhatikanku dan mengucap kata manis kemudian ia mengucap sepatah kata kecut berikutnya.

Ai membuka gagang pintu, disusul olehku yang berjalan di belakang. Terdapat sosok Aine yang duduk membelakangi kami di ruang tamu. Di seberang sofa yang Aine duduki terdapat Reiji dan Camus.

Kurosaki yang awalnya berada di luar villa menatap Ai dan Aine bergantian kemudian berucap, "Wah, aku nyaris tidak bisa membedakan kalian."

Aine menoleh kemudian tersenyum tipis. Entah sebenarnya kami harus merasa terancam, khawatir, atau tenang saja karena ekspresi wajahnya barusan.

"Maaf."

Suasana langsung benar-benar hening. Bukannya ancang-ancang mengeluarkan sebilah pedang mengilat namun permohonan rasa bersalah yang ia ucapkan.

"Atas apa?" Ai bertanya.

Aine tersenyum getir. Secangkir teh hitam seduhan Reiji masih mengepul, belum sempat disentuhnya.

"Atas kesalahan yang telah kulakukan. Kalau saja aku tidak melakukan percobaan bunuh diri, semua ini pasti tidak akan terjadi."

Pasalnya, Ai diciptakan setelah insiden itu di kala Aine koma. Aine memegang tangan sang raja yang identik dengannya itu.

"Kau pasti membenciku kan? Kutahu pamanku benar-benar keji terhadapmu. Disiksa kemudian dibuang itu pasti menyakitkan,"

"Aku akan merebut apa yang hilang. Aku harus bisa ..., karena utang budi ini ...,"

Sekilas kuingat kembali perkataan Aine yang mengawali pertemuan ketika aku sengaja kabur dari istana.

"Aine, mungkin kau tidak mengingatku. Tapi apa kau punya utang budi?"

Aine beralih menatapku, menyunggingkan senyuman tipis. "Tentu saja aku ingat. Kau adalah gadis yang berbaik hati membopongku ke penginapan, bukan?"

Aku mengangguk kaku. Aku bisa merasakan Ai menunjukkan kecurigaan -- menyipitkan maniknya penuh selidik kepadaku.

"Ah, kapan itu?" singgung Ai.

"Wa-waktu aku masih dikurung selama seming--"

"Oh."

Ai ... marah ?

Walau awalnya aku sudah terbiasa akan sikapnya, aku tidak bisa mengelak kalau aku sudah dibuat sweat drop olehnya.

Karena kehadiran selain orang yang dipercaya Ai datang, Reiji memberitahuku bahwa penjaga lainnya turut masuk ke dalam ruang tamu bila terjadi hal yang tidak diinginkan -- Aijima dan Kurosaki berada di sana dalam keadaan siaga.

"Jadi, sekarang apa yang kau lakukan dengan kehadiranmu ke sini?"tanya Camus menyilangkan kaki kanannya, bertumpu di atas kaki kiri menyesap teh yang selalu kuanggap kemanisan itu.

Aine mengatupkan jemarinya sesekali menunduk. Reiji menepuk tangannya, membiarkan semua perhatian berpindah kepadanya.

"Aku ingin kita bekerja sama. Aku yakin kalian pasti masih ragu dengan diriku. Aku bahkan merasa seperti itu,"

Ketika aku mendengar ucapan lirih Aine, aku tidak menemui niat jahat yang terselubung. Entah aku yang terlalu mudah ditipu namun sejujurnya dari awal pertemuan, tidak terasa adanya ancaman terkecuali kehadiran pamannya saat itu.

"Masalahnya, pamanmu kan yang membuat rakyat Asvagarde terkecoh? Belum lagi kau hadir dan suasana di sana benar-benar buruk." Kurosaki menopang dagunya, melontarkan fakta tajam yang memang benar adanya.

"Benar. Pamanku memang salah. Aku sebagai keponakannya mewakili permintaan maaf itu. Semua karena ambisiku dan dia benar-benar khilaf,"

"Kalau begitu kau yang harus menyelesaikannya. Bukankah kau ingin jadi pemimpin?"tanya Ai memandang Aine.

Aine tertawa kaku, "Ah, aku belum punya keberanian apalagi potensi seharusnya un--"

Ai berkata, "Aku bersedia menyerahkan jabatanku karena dari awal aku memang tidak berminat menjadi pemimpin."

"Bohong."ucapku sengaja menyudutkan Ai. "Kalau kau tidak berminat, kau pasti tidak memikirkan perasaan rakyat yang membutuhkanm. Kau bahkan rela tidak tidur, pergi keluar untuk menyelesaikan sengketa antar wilayah lain. Kau kira aku tidak tahu?"

Ai memejamkan matanya sejenak kemudian menghembuskan napas yang tertahan. "Aku hanya melakukan yang semestinya."

Reiji membungkukkan tubuhnya menghadap Ai, "Mikaze-sama, kita hanya harus meyakinkan rakyat kalau mereka salah dan ini harus diluruskan. Tidak harus sampai be--"

Ai melipat tangan memandang penasihatnya, "Bukankah dengan cara seperti ini kau tidak akan merasa bersalah lagi kepada Aine?"toleh Ai kini berdiri dari sofa.

"Merasa bersalah?"Aine mengernyitkan dahi.

"Reiji merasa bersalah karena kau gagal dan ia lulus. Ia merasa semua ini salahnya karena kau melakukan percobaan bunuh diri."

Kulihat manik Aine telah berkaca-kaca, memecahkan tetesan maniknya perlahan. Ia memegang pundak sahabatnya penuh penyesalan. Menyalahkan dan disalahkan masa lalu yang kini mesti terangkat kembali demi menyelesaikan masalah.

"Maafkan aku, Reiji. Aku tidak bermaksud menyalahkan dirimu karena kau lulus. Aku melakukannya karena aku membenci diriku sendiri yang tidak bisa menjadi lebih baik!"

Reiji menepuk pelan bahu Aine. Dari situlah aku bisa merasa kehangatan persahabatan yang memulai berbagi dan saling menopang perasaan satu sama lain berawal dari kejujuran.

"Tidak apa. Yang penting sekarang kau harus berada di jalan yang benar. Besok kita bahas saja. Kau perlu istirahat dan kami juga," Reiji yang menerima beban berat itu kini masih tetap bisa tersenyum dalam kondisi apapun -- betapa tabahnya ia menutupi perasaan gelap bernama kesedihan.

Aku merasa perlu membantu sejak kerjaanku di villa menjadi cukup membosankan selain termenung di kala nasib terancam. "Aku akan bantu mencuci cangkir di meja ini."

Ai ikut berdiri, "Aku ikut denganmu. Kurasa kalian pasti masih ada yang perlu dibincangakan di luar masalah ini."

Dan well, beberapa orang sisanya menatap kami dengan senyum penuh misteri -- entah maksudnya apa.

Aku berjalan lebih dulu membawa cangkir-cangkir ke dalam wastafel. Kubuka keran yang membasahi cangkir yang menumpahkan sisa teh bercampur dengan air. Ai berdiri di sampingku, melipat lengan kemeja panjang birunya sampai ke siku. Ia membuka kabinet kemudian mengambil sarung tangan berbahan karet berwarna merah tua.

"Kau tidak perlu memban--"

Tahu-tahu Mikaze malah memakaikan sarung itu kepadaku.

"Aku tidak membantumu. Kulitmu itu perlu dijaga. Aku tidak mau menyentuh tangan yang kasar tepat di hari aku ingin meresmikan ikatan."

Aku mengerjap ketika menerima sarung tangan itu di kedua jemariku. Ikatan? Refleks, aku menyikutnya pelan karena salah mengira-ngira.

"HAHA! Ikatan? Kita baru saja paca--" aku sengaja fokus menggosok cangkir dengan spon kuning yang telah mengeluarkan busa.

Ai memegang pinggangku dengan tangan kanannya. "Setelah kupikir-pikir, aku bahkan tidak akan melepasmu kepada Aine jika kau begitu ingin bersamanya."

Wajahku memerah padam.

Ia beralih menyandarkan tubuhnya ke dinding. "Aku ingin kita bisa bersama-sama sebagai pasangan hidup. Seusai masalah ini kelar."

Aku membatu sejenak. "Ja-jangan bilang ini mim--"

Sebuah cangkir putih tergelincir dari tanganku nyaris pecah jika tidak ditangkap oleh Ai. Ia membilas perlahan kemudian meletakkan di rak. Ai melakukannya tanpa komentar maupun omelan terhadap kecerobohanku barusan -- maksudku, umumnya dia akan spontan mengucap cela seseorang dan aku telah menolerirnya.

Ia mencubit pipiku, "Sadar, kau ini tidak bermimpi."

Aku menggigit bibir bawahku. "Ini terlalu aneh. Aneh sekali."

Dan tepat saat itu Ai memegang bibirku dengan jemarinya.

"Daripada kau gigit bibirmu seperti itu, lebih baik aku yang akan melakukannya,"

Belum sempat aku menjawab, Ai malah bergerak duluan. Membungkam ucapanku dengan bibirnya yang lembut. Membuatku terhanyut oleh suasana yang mengalir. Membuatku seolah lupa oleh segalanya. Tidak peduli, kini jemariku yang masih terbalut sarung karet mengenggam lengan kemeuanya.

Ia melepas ciumannya. Dan saat itulah jemariku menyentuh dahinya.

"Kau ... tidak overheat?"

Suhunya normal.

Ia menggeleng kemudian mengusap dagunya, "Mungkin aku telah terbiasa karena mengetahui 'cinta' darimu."

Awalnya aku terdiam kemudian beralih terkekeh, "Haha! Jawaban apa itu?"

Melihat garis tipis yang terbentuk huruf 'u' di kedua sudut bibirnya seperti ini adalah kebahagiaan yang tidak bisa kudeskripsikan. Syukurlah, aku masih bisa melihat senyumannya walau rintangan masih terus merundungi kami.

♡ ♡ ♡ ♡ ♡

"[Reader]-chan!"tegur Reiji.

Kini ruang tamu telah menyepi -- ketika orang-orang yang berkumpul kini telah sibuk dengan urusan mereka masing-masing.

"Ada apa?"tanyaku melihatnya bersandar di sofa.

"Eto, kau tahu, kamar tidur villa ini hanya tersedia empat. Kemarin sih, kau bisa tidur sendiri. Namun Aine memutuskan menginap."

"Terus?"

Reiji menjelaskan, "Nah iya, jadi ruangannya mesti dibagi lagi. Jadi ruang pertama itu Syo, Shinomiya, dan Cecil. Ruang kedua itu aku, Kurosaki, dan Camus. Dan sebelumnya Ai tidur sendiri dan kau juga di ruang yang terpisah."

"Jadi?"

"Aine dan Ai tidak mau tidur bersama. Jadi Ai memutuskan ingin seruang denganmu."

Manikku membulat penuh. "E-EH? Kok aku dan Ai yang sekamar?"

Dan di hari sebelum pemecahan masalah dimulai, aku tidak menyangka akan terjadi kejadian seperti ini.

To be continued •

... apakah fic ini terlalu dewasa? Haruskah daku mencentang mature content? / plak. Karena terhitung dari episode sebelumnya ini adegan kissu yang ketiga :"3 / no.

Namun jujur selain itu, aku tidak akan membuat adegan ekstrim di luar itu, kok. Hehe~

Karena mungkin ada yang rada jenuh untuk dua / tiga episode sebelumnya yang cukup melodrama, aku menyisipkan sedikit AiRea [Ai x Reader] moment haha!

See you on the next part!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top