XIV : Story [Part 1]

Sambil merasakan sakit yang berdenyut, aku memegang lenganku. Kugunakan sepasang kakiku yang menjadi penopang agar aku bisa berdiri.

Laki-laki yang menyambutku itu adalah seseorang yang tidak kukenali. Memakai jas putih kedokteran, rambut hitam acak-acakan, dan sebingkai kacamata hitam. Ia membuang puntung rokoknya kemudian menginjaknya dengan sol sepatu.

"Ka-kau siapa?" aku mundur beberapa langkah.

Laki-laki itu terkekeh, "Seseorang yang seharusnya mengincar asetmu sejak awal."

"Kalau kau mengincarnya, langkahi nyawaku dulu,"

Laki-laki paruh baya itu menoleh ke arah belakang, disusul aku yang menatap eksistensi di hadapanku.

Ai!

Laki-laki yang menggores lenganku itu kini menghampiri Ai. Bertepuk tangan dengan senyum mengerikan. Bagaikan pertemuan yang ia alami adalah kejutan indah -- namun sebenarnya ia sedang membawa kehancuran.

"Kutemui dirimu, wujud replika,"

Deg.

Ai menunjukkan pedang panjang dengan ketebalan yang tipis itu -- rapier. Tatapan yang selalu tenang itu kini sedikit berkerut ditemani raut wajahnya yang mengeruh.

"Sekali kau lukai dia lagi, kau mati,"ancam Ai menodongkan pedang tipis itu, menyisakan jarak dua sentimeter dari leher pria itu.

Namun meskipun diancam, laki-laki itu melipat tangan dengan santai, "Jadi kau mau membunuh 'ayah' sendiri?"

Aku mengernyitkan dahi. Tidak ada kemiripan sama sekali di antara mereka secara fisik. Syo dan Shinomiya segera menyusul berada di belakang Ai.

"Aku tidak ingat punya 'ayah' yang kau maksudkan," Ai menatapnya sinis.

"Mikaze-sama!" Kurosaki berlari menghampiri situasi yang terjadi di antara kami.

Aku mengepalkan tanganku, menghampiri laki-laki paruh baya itu. "Katakan kepadaku apa maksudnya wujud replika?"

Aku bergantian menatap mereka -- tidak ada di antara mereka yang terlihat bingung apalagi terkejut. Ketika aku usai bertanya, laki-laki itu malah tertawa keras.

"Dia itu adalah ciptaanku,"

Jantungku seolah berhenti berdetak. Seolah darah berhenti mengalir. Aku langsung merasakan goyah terhadap keseimbangan memijak daratan pun jatuh terduduk.

"Kau tidak tahu? Sepertinya hanya kau saja yang syok,"kekeh pria itu lagi.

Ai mengarahkan rapier-nya, beralih menusuk kerah kemeja pria itu sampai berlubang namun sengaja tidak membiarkan jejak luka, "Kenapa kau datang lagi di saat kau membuangku?"

Aku hanyut dalam lamunan singkat. Sepertinya aku ingat bahwa aku dilarang melakukan sesuatu.

Ah iya, Ittoki mencegatku di episode empat.

"Jangan berikan ini kepada Mikaze-san, ya,"

Mungkin inilah jawabannya. Bahwa Mikaze bukanlah manusia dan aku tidak bisa berbuat apa-apa dalam hal itu. Aku tidak menyalahkannya karena baru mengetahui kenyataan itu tetapi batinku perih.

Gerbang yang didobrak dari luar secara terus menerus itu perlahan hancur -- tidak akan lama lagi. Pria itu merapatkan letak kacamatanya kemudian berjalan menjauhi kami.

Daripada menjawab pertanyaan Ai, pria itu menjauhi kami, "Lainkali kita pasti akan bertemu lagi, tentu saja dalam waktu dekat,"

Suasana saat itu begitu panik tetapi aku belum bisa meresapi informasi singkat namun membawa makna dalam itu sepenuhnya. Jadi aku masih terduduk dengan kaki bersimpuh namun kurasakan rangkulan yang menopang tubuhku.

Aku menoleh sosok yang merangkulku itu -- Ai. Ia membopong tubuhku tanpa suara. Aku memeluk tengkuknya, menitikkan tetesan dari manik milikku.

"Maaf karena aku membiarkanmu terluka,"

Aku menggeleng. Aku yang lengah. Aku belajar pertahanan, tapi aku tidak bisa mempertahankan diri sendiri. Aku menatapnya dalam diam, menjatuhkan tetesan manik.

Aku mencintainya. Aku terlanjur merasakannya dan enggan melepas perasaan itu.

"Ai, apakah ucapan pria itu benar?" tanyaku memastikan kembali walau jawaban itu tidak akan berubah meskipun aku ingin.

Ia mengangguk menghapus tetesan yang mengalir di pipi kananku, "Apa kau akan membenciku kalau aku mengiyakan hal itu?"

Manikku menitik lagi meskipun ia menghapusnya. Kenapa aku harus membenci penyelamatku sendiri?

Aku menggeleng. "Kurasa aku semakin menyukaimu,"

Di tengah perasaan yang bercampur aduk, ia mencium dahiku. Aku menggenggam lengan jas putihnya yang kini kotor oleh noda.

Seiring Ai membawaku jauh dari area istana. Dengan berat hati aku menatap wilayah kehormatan itu perlahan ambruk dirusakkan. Bukan hanya itu, namun seluruh wilayah Asvargade mungkin sedang berada diambang kehancuran.

♡ ♡ ♡ ♡ ♡

Kami berada di sebuah villa luas yang tidak berpenghuni. Tepatnya, milik Ai. Kini di ruang tamunya, aku duduk memeluk lutut kemudian menatap nanar tungku api yang hanya menampung kayu kering.

Beberapa saat kemudian, Ai duduk di sampingku dengan sekotak putih. Ia memegang lengan atasku yang menampilkan bekas darah yang mengucur.

Ia mengelapnya dengan sapu tangannya.

"Biar aku saja,"aku memegang jemarinya.

Ia terfokus ke arah lukaku, "Setidaknya biarkan aku bertanggung jawab."

Aku berhenti mencegatnya kemudian menunduk. Memandang luka fisik yang kualami tidak seberapa dengan luka miliknya. Pasti yang ia alami jauh lebih menyakitkan. Kurasakan dahinya menyandari dahiku di tengah ia mengobatiku.

Aku meringis ketika ia mengoles alkohol ke lukaku kemudian menatapnya meniup lenganku yang basah berikutnya karena diolesi obat merah.

"Bolehkah aku bercerita?" Ai memecah keheningan yang segera kuiyakan dengan anggukan.

Sekilas, aku melihat anak buahnya yang masih berjaga di luar kemudian beralih menunggunya bercerita.

"Kau tahu, aku memang bukan manusia. Aku bahkan tidak tahu mau menyebut diriku sendiri apa, tetapi sebenarnya mungkin aku diciptakan oleh 'ayah' sebagai pengganti,"

Kulihat wajahnya yang tetap terlihat tenang dalam kondisi apapun. Tapi kuyakin yang dialaminya dulu mungkin tidak bisa membuat wajahnya setenang ini.

"Kau bilang dia membuangmu?" aku pun memeluk lutut sambil mendengar lanjutan ceritanya.

"Ayah menciptakanku karena Aine saat itu dirawat. Mungkin ia bermaksud membuat 'teman'. Sejak aku diciptakan, kami selalu berselisih pendapat. Saat itu dia benar-benar kecewa dan mengusirku. Dia bahkan sempat menyebutku produk gagal karena tidak sesuai dengan harapannya."

Aku menekap sebagian wajahku. Kurasakan perkataanku tercekat di tenggorokan, tidak mampu kuutarakan.

"Jauh sebelum ia menciptakanku, 'ayah' sudah menginginkan batu mistikmu dari awal. Kutahu dari Camus yang merisetmu sejak dikurung bahwa batu itu rupanya berfungsi sebagai penunjang kehidupan yang diwariskan kepada seseorang setiap tiga abad sekali."

Dan akulah korban yang mengalami nasib batu ini. Aku mengerjap mataku beberapa kali setelah menerima informasi soal batu ini. Padahal aku kerap membayangkan bahwa mungkin api atau air yang keluar dari batu ini namun aku terlalu banyak berkhayal.

"Camus pernah bilang sih meski aku tidak mengerti."

Ai beralih membalut lukaku dengan kain kasa. "Batu itu bisa memperpanjang usia aslimu paling tidak sebanyak dua kali lipat. Kurasa 'ayah' membutuhkannya demi dirinya sendiri, berhubung usianya sudah berkepala enam."

Aku bergeming sejenak. Kalau aku tinggal menyerahkannya, mungkin nasib Ai tidak akan lebih buruk lagi. Mungkin aku bisa memperbaiki masalah ini. Mungkin semua ini bisa beres jika aku bergerak dalam situasi ini.

"Bagaimana kalau aku menyerahkan batu ini kepadanya? Dia akan bisa bernegosiasi dan kondisi akan kembali ke semula kan?"

Kudengar tepuk tangan dari belakang di antara kami.

"Hidup tidak semudah itu, [Reader]-chan. Tanpa Life Saver's Stone, kau akan langsung mati," Camus pun hadir sambil melipat tangan, masih dengan tatapan sinis kesehariannya.

Mati. Keadaan yang berkali-kali kuinginkan namun tidak kesampaian sebelum bertemu Ai.

"Bagaimana kalau kita lengkapi semua misteri ini?" Reiji tersenyum getir.

Kedua penasihat itu kini berada di dekat kami. Aku menatap laki-laki berambut sebahu kecokelatan itu penuh keterkejutan.

"Reiji! Kau ke mana saja selama semuanya mencarimu?"

Reiji terkekeh kemudian mengangkat fedora-nya, membungkukkan tubuhnya menghadap Ai.

"Maaf telah membuat Mikaze-sama dan teman lainnya khawatir. Akan kuceritakan apapun yang kalian butuhkan."

Aku menggigit bibir bawahku, "Termasuk Aine?"

Camus dan Reiji saling bertatapan namun Reiji mengalihkan lebih dulu, "Tentu, karena eksistensiku yang kalian cari berkaitan dengannya."

Kurasa pertemuan kali ini bisa saja membongkar keping demi keping misteri. Entah aku bisa menemukan jawaban baik atau buruk setelah mendengar informasi dari mereka.

To be Continued

Huwee -- masih ada yang membaca karya ini? Sebelumnya, terima kasih!
Serial ini telah kurencanakan lebih panjang dibandingkan serial utapri sebelumnya yaitu Princafé. Dan memang, konflik di sini jauh lebih berat dibandingkan karya sebelumnya / maso ah lu / eh.

And well, aku menikmati perjalanan karya ini dibandingkan karya sebelumnya -- menjejaki genre yang berbeda dibandingkan karyaku yang lain.

Kalau kalian ada yang mau memuat ff utapri baik one shot atau serial, beritahu aku ya! Akan kubaca dengan senang hati! :3

See you on the next part!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top