XI : No!
Hari ini aku berbunga-bunga.
Tepatnya, aku bahagia.
Sepulang dari bangunan tua itu, Ai berkata, "Besok datanglah ke ruanganku,"
Kyaaaa! Aku seperti bermimpi saja!
Aku menelusuri lorong yang sepi kemudian belok kanan agar tiba di ruangannya. Aku tersenyum memegang gagang pintu ruangannya itu.
Krek.
Hal pertama yang kulihat adalah postur tubuh bidangnya yang terekspos -- topless. Sebelum aku mulai berimajinasi liar, aku menutup wajahku dengan telapak tanganku yang menyisakan spasi kecil yang masih bisa terintip keluar untuk melihatnya.
"A-Ai! Ke-kenakan bajumu dong! Bikin syok sa--" aku pun memilih berbalik badan.
Camus ternyata keluar dari sebuah ruangan yang tergabung jadi satu dengan ruangan ini, "Kau lagi. Tiba-tiba galau, kemudian heboh. Aneh."
"T-tapi,"ungkapku malu.
Camus menghela napas, "Aku sedang memeriksa kondisi tubuhnya. Dia menyuruhmu ke sini karena suruhanku,"
Aku bergeming. Rasanya malu sekali karena sempat heboh 'kyaa kyaa' dan ternyata masih ada kesamaan.
EMAK KAMUS.
Muncul perempatan siku-siku di dahiku, aku menatap Camus sinis sambil melipat tangan. "Jadi? Kenapa aku disuruh ke sini?"
Oke, sekarang aku jadi khawatir karena Ai malah ditempeli beberapa plester putih di bagian tubuhnya.
"Ai demam?"aku menghampirinya segera memegang dahi Ai namun ditepis Camus.
"Kau yang menyebabkannya seperti itu. Hei, kalian prajurit yang di luar! Bahaya. Kenapa kau malah membawanya balik juga, Mikaze-sama?"tegur Camus menatapku kemudian beralih memanggil dari dalam.
Cih.
"Tapi dia manis. Aku tidak mau dia pergi,"
Sebelum aku siap terlena oleh kalimat di atas, muncul Syo dan Shinomiya.
Camus menunjukku, "Angkat si [Reader] dari sini. Mulai hari ini sampai seminggu, dia dikurung,"
Aku melongo parah. Dikurung dalam sebuah ruangan secara temporer lagi. Demi apa?
"Maafkan kami, [Reader]. Kau akan menemukan jawabannya setelah dikurung di ruanganmu,"Shinomiya mengernyitkan dahi mengekang tangan kiriku.
"Lagi pula, seharusnya kau senang karena tidak perlu berlatih."Syo yang mengekang tangan kananku mencoba memberi poin positif namun tidak membuatku bersorak sorai.
Kenapa aku dikurung? Apa salahku ini?
Dan kenapa Ai tidak mencegat mereka?
"Dia milikku,"
Padahal aku yakin aku tidak bermimpi. Aku baru saja kembali ke sini. Yang ada, aku diusir keluar. Padahal kemarin baru saja kejadian dramatis itu hadir di antara kami setelah pertemuan usai diriku terculik.
Tapi ada satu hal yang kuketahui, kehidupan happy ending ini masih berada dalam jalur panjang. Masih cukup jauh. Terlalu jauh.
♡ ♡ ♡ ♡ ♡
Tapi bukan [Reader] namanya, kalau dia adalah anak kalem yang menunggu penantian panjang. Kenekatan adalah sumber utama dari semua situasi yang kualami sepanjang sepuluh episode berakhir.
Aku tetap dikurung di dalam ruanganku. Beruntung, ruangan ini memiliki celah ventilasi udara berupa jendela yang cukup lebar untuk bisa kulompati keluar -- ruanganku ada di lantai dasar, jadi aku pasti selamat dari kasus patah tulang.
Aku menggeser jendela itu dari bawah ke atas dan ...
"Sedang apa kau?"
Glup. Aku meneguk ludah. Aku melirik ke sebelah kiri takut-takut. Ternyata Kurosaki yang mengangkat wajahnya dengan tatapan tajam. Itu sudah lumrah baginya untuk menatapku sehari-hari.
"Maaf. Aku mau kabur." Dengan jujur aku melompat keluar meninggalkan istana.
"O-oi! Kau ini dikurung, mana bo--"
"Aku kabur ke luar. Nanti aku akan pulang. Aku tidak akan menemui Ai kok! Aku janji"
"Oi! Kembali! Sini!"
Aku tidak peduli. Aku merindukan berjalan-jalan dengan nyaman. Apalagi sejak kehidupanku bisa dikatakan lebih tenang sejak insiden sebelumnya. Aku melihat beberapa prajurit mengejarku tapi aku berhasil menemukan jalan tikus berupa kolong di sudut gerbang. Dengan gerakan fleksibel, aku berguling dengan cantik.
Kudengar kasak-kusuk penduduk yang menjalankan kesibukan. Aku berjanji akan kembali ke ruanganku tanpa menemuinya. Hanya saja aku ingin menjalankan kebebasanku kembali.
Yang terpikir setelah lolos, aku menghampiri klinik Tomo-chan. Tidak terlalu jauh dari sini. Tomo rupanya berada di luar klinik.
"[Reader]!"panggilnya menemukan eksistensiku ketika dia sedang membalut luka ringan di lengan gadis kecil.
Tomo begitu cantik dalam balutan apapun. Seragam perawatnya begitu menawan. Sahabatku.
"Aku dengar kau diculik! Syukurlah kau tidak apa-apa! Sebentar ya, masuk saja dulu."ia menepuk bahuku dengan menyiratkan kekhawatiran.
Aku mengangguk. Begitu banyak hal yang terjadi kepadaku. Melihat mentari yang menyambutku membuatku tidak berhenti untuk terus bernapas lega. Tidak menunggu waktu lama, aku bisa menghirup semilir earl grey yang asam di hadapanku.
"Tomo-chan keren, ya."pujiku.
Ia menatapku bingung, "Loh? Kenapa?"
Aku tersenyum, "Aku gadis yang lemah. Payah."
Dicubitnya pipiku. Bekas tarikannya cukup kuat hingga meninggalkan jejak merah di pipiku. "Kau gadis yang paling unik selama hidupku. Mana ada gadis yang begitu berani menentang Mikaze-sama?"
Aku memberenggut. Entah itu pujian atau hinaan.
Tomo melanjutkan ucapannya lagi, "Kau harus sadar, kalau hidupmu baru saja dimulai. Ada banyak yang akan menjabat tanganmu bukan karena kasihan tapi karena mereka ingin bersamamu. Seperti aku, menganggapmu seperti adikku sendiri."
Tersentuh, aku menitikkan air mata. Aku tidak sendirian.
Kasihan? Aku tidak mau dikasihani lagi.
Aku terisak, "Tomo-channnn,"
Menerima kebahagiaan adalah hal terindah yang bisa kudapatkan tanpa menggunakan material. Sambil menghapus air mata, aku menyeruput teh hitam itu.
"Ehm, tapi kurasa aku akan semakin kesepian. Saking beraninya, kau berani juga menyentuh raja Asvagarde ya?"
Aku langsung menyemburkan teh itu dengan refleks. "Menyentuh? K-kenapa kau bisa berkata seperti itu?"
Tomo memasang cengiran penuh percaya diri. "Aku ini bukan peran figur yang selalu berdiam di balik layar. Oke, intinya, semua personil perompak sudah mengetahuinya, kok kalau kau mencuri ciuman pertamanya!"
Aku menganga lebar. Wajahku memanas, menampilkan semburat merah. Aku memegang pipiku. Aku kira semua ini hanya kuketahui di antara kami. Menjadi rahasia di antara kami.
Tapi dunia tidak seluas itu untuk menampung sebuah rahasia dalam yang aku duga. Tomo menampilkan senyum lebar.
"Aku ingin kau berbahagia, [Reader]. Sebenarnya aku kecewa karena aku tidak tahu soal ini darimu lebih dulu."
Aku tertawa kaku, "Maafkan aku."
Walaupun aku janji bilang tidak akan menemuinya, masih terselip rasa penasaran yang berbalut rindu terhadap Ai.
♡ ♡ ♡ ♡ ♡
Aku melihat hari mulai gelap.
Ternyata berbincang terhadap sesama perempuan memakan banyak waktu tanpa disadari saking serunya.
Aku berjalan menyusuri jalanan yang mulai menyepi karena banyak usaha yang sudah tutup. Dengan penerangan lampu malam, aku menjejakkan kaki sambil mencari arah pulang. Aku jadi kebingungan sendiri, tapi segera kutepis begitu menyadari bahwa aku masih menyimpan peta Asvagarde.
Seorang laki-laki berjalan berlawanan arah denganku, tapi kurasakan wajahnya familier. Mirip Ai. Mungkinkah dia itu Ai?
Tapi biasanya dia akan menggunakan kusir kemana pun dia berada. Tidak berjalan kaki seperti ini tanpa siapapun di malam hari.
Aku melihat gerakan tubuhnya yang oleng. Sepertinya ia sempoyongan. Aku langsung bergegas mendekatinya. Laki-laki bersurai biru pucat itu memegang tiang lampu sebagai sandaran tubuhnya agar tidak tumbang.
"H-hei, kau tidak apa-apa?"
Aku dijawab oleh sorotan wajahnya. Sama persis dengan Ai tapi rambutnya tergerai halus.
"A-Ai?" Aku mencoba memanggilnya.
Dia kembali menunduk. "Aku akan merebut apa yang hilang. Aku harus bisa ..., karena..., utang budi ini ...,"
Bruk.
Laki-laki ini pingsan di hadapanku. Membuatku terdiam dalam kebingungan. Siapa dia?
Berpenampilan mirip dengan Ai?
Apanya yang utang budi?
Di malam, yang begitu sepi, kutemukan eksistensi yang begitu serupa namun asing bagiku.
Dia ini siapa?
• To be Continued •
Untuk one shot yang kujanjikan, aku merilisnya di buku lain sebagai challenge one shot hehehe~
Sila cek profilku. Tolong divote ya, kalau tidak keberatan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top