VII : Scenario of Fiction

Warning : Ada adegan yang bikin Ai super ooceh, juga adegan bikin mual karena terlalu dramatis.

Satu minggu.

Tujuh hari.

168 jam. 10.080 menit. 604.800 detik.

Hari ini, Ai kembali menuju Asvagarde.

♡ ♡ ♡ ♡ ♡

Bisikan akan kehadiran pengunjung mulai terdengar berisik.

Dan demi apapun, ini kali pertama aku menggunakan pakaian formal. Dress one shoulder dengan bawahan model mermaid berwarna putih yang membalut tubuhku.

Tepat di meja kamar tidurku, masih tergeletak kompas berwarna keemasan yang dibalut rantai, pita rambut, dan kalung safir yang ia berikan.

Kuambil kalung safir, menggenggamnya dengan luapan perasaanku di sana. Ketika hari ini tiba, jantungku tidak berdetak dengan normal. Adrenalin ini menggelitik hatiku.

Ada banyak sekali yang ingin kubicarakan dengannya.

"[Reader]-chan," Tomochika membuka pintu kamar tidurku. Memang sengaja tidak kukunci karena dia telah berjanji akan datang satu jam sebelum acara penyambutan Ai.

"Tomo-chan! Cantiknya,"pujiku melihat tampilan tubuhnya yang dibalut gaun merah yang panjang hingga menutupi mata kaki. Tidak lupa selendang berwarna dadu yang membalut di sekitar lengannya.

"Kau lebih. Perlukah aku menambahkan riasan bunga di kepalamu? Aku sengaja membawanya."

Salah satu impian ketika ingin bahagia di luar menara adalah memiliki teman wanita. Tomochika sudah termasuk di dalamnya, mewujudkan impianku. Kutatap pita rambut yang Ai berikan, aku ingin mengenakannya tetapi aku takut merusakkannya. Akhirnya kusimpan kembali ke dalam laci.

Ai merupakan pecahan dari kebahagiaan yang kumiliki sambil menahan rindu yang berlabuh, entah sampai kapan, aku akan terus menganggapnya seperti ini.

Saat aku dan Tomochika berjalan bersama-sama setelah makan juga berbincang dengan sejumlah penduduk (aku bersyukur ketiga inspektur yang mendidikku tidak menyemprotku dengan kata menusuk), terdapat seorang gadis mungil yang terbalut gaun hitam selutut menatap ke arah kiri dan kanan dengan tatapan khawatir.

"Ada apa?"langsung saja aku menghampirinya. Bisa kutebak, dari manik abu-abunya yang besar dan paras wajah imut gadis itu berusia delapan tahunan.

Gadis itu memberenggut sambil menyelipkan rambut cokelat ke telinga. "Seharusnya paman Reiji tidak membuatku menunggu seperti ini!"

Nama Reiji sepertinya terdengar familiar di telingaku. Belum lagi dia penasihat istana.

"Kamu keponakan Reiji si penasihat?"Tomochika bertanya, mengira ada Reiji-yang-lain.

Dengan tatapan angkuh, gadis itu melipat tangan. "Tuh tahu. Aku ini tidak berminat berbicara dengan rakyat jelata kayak kalian. Aku ini ter--"

"Rina-chan! Jangan berkata judes seperti itu dong,"Reiji langsung berderap di antara aku dan gadis yang dipanggilnya.

Menyadari eksistensi kami di dekat keponakannya, Reiji yang terbalut jas putih dan celana warna sejenis tampak lebih gagah. Ditambah fedora putih yang melekat di kepalanya, dia menyunggingkan senyum.

"Dia keponakanku, Oto Rina, anak kakakku."Reiji menepuk bahu Rina. Rina mendesis.

"Paman, seharusnya kau datang lebih cepat untuk mempertemukanku dengan Mikaze-kun!"rengek Rina mengguncang bahu Reiji.

Seperti yang bisa kusimpulkan, Rina sepertinya memang hidup di kalangan atas yang cukup manja. Reiji mencoba membujuk keponakan yang sepertinya terus memberontak tanpa adanya konklusi yang berarti selain meminta Ai kemari.

T-tunggu, kenapa Rina-chan mencari Ai?

Kudengar langkah kaki yang berdecit licin karena gesekan lantai porselen yang mengkilat itu mendekati kami. Tepatnya dalam posisi membelakangiku, aku kembali merasakan hawa dingin yang menjalari sekujur tubuhku.

Segala gejala ini hanya dialami ketika aku berada di dekat Ai.

"Ah, Mikaze-sama! Bagaimana misinya?"Tomochika menoleh ke arah belakang.

Reiji dan Rina juga menyusul mendekati Ai yang kuyakini berdiri tidak jauh dari tempatku berdiri. Entah kenapa, menolehnya saja terasa berat. Kepalaku seolah-olah membatu, tidak mampu kutoleh saking kakunya. Aku gugup, bukan, aku hanya malu, apapun emosinya, aku merasakan semuanya bercampur aduk

"[Reader]-chan?"Reiji mencolek bahuku. "Kau kenapa?"

Tubuhku bergetar dalam diam. Padahal aku menantikan momen ini. Aku ingin bicara dengannya. Aku harus mengembalikan pita rambut dan kompas darinya.

"A-aku merasa perutku mual. Aku akan menyusul ke sini sekali lagi."ungkapku berjalan sambil berakting sakit dengan mengelus perut.

"Mikaze-sama, kau merindukanku kan? Jadi lamaranku gimana? Mau kan menikah denganku?"

Suara gadis mungil itu memenuhi benakku. Gadis itu dengan percaya diri melamar dengan Ai dengan cara agresif dan aku yang mengucap suka merasa terlalu tabu untuk kuungkapkan karena malu.

Tidak. Aku tidak suka kepadanya. Aku hanya kagum. Iya. Fix!

Kupaksakan berjalan karena memang tujuanku meninggalkan lorong tetapi akhirnya aku berjalan sepelan mungkin untuk mendengar tanggapan respon mereka.

"Aku tidak berminat terikat kepada siapapun."

Jawaban yang dingin itu sudah pasti milik Ai. Dan menjawab dugaan yang membuncah di benakku. Rasanya aku jadi lega karena memutuskan untuk berjuang dalam perasaan kagum.

"Tapi Mikaze-sama memangnya tidak nyaman sama siapapun? Semua orang yang bersamamu ini kan mau bersamamu karena loyalitas,"Rina memonyongkan bibirnya sebal. "Tapi Rina yang paling cintaaaa sama Mikaze-sama,"

Demi Dewa Neptunus, cara Rina menekankan kata cintanya memang kelewat frontal. Aku menyudahi sesi nguping yang disengaja itu dengan berjalan normal.

Namun yang ada, aku merasa pergelangan tanganku tertahan oleh kekangan jemari besar yang dingin dan maskulin itu. Milik Ai.

"Kalau nyaman, mungkin aku memilih dia,"ucapnya mengangkat tanganku yang kini saling terkait dengan jemarinya.

Refleks, aku menoleh dengan tatapan kaget.

Apa? Aku? Dia nyaman denganku? Apa selama kepergiannya dia terkena sianida? Atau dia mabuk?

Aku masih berakting sambil mengelus perut di tangan kiriku, terkekeh garing. "La-lama tidak berjumpa, ya, hahaha!"

Ai menatapku lekat-lekat dalam sorotan manik toska yang segera kusahut dengan membuang muka. Entah kenapa, aku hanya sanggup menatapnya sebatas bahu bidangnya itu.

"Ada yang harus kita bicarakan."

Tidak terima, Rina langsung berjalan sambil menghentakkan kaki dan berdiri di antara kami dengan wajah cemberut. "Mikaze-sama tega! Kenapa malah memilih cewek udik kayak gini?"

"Rinaa,"Reiji menarik Rina dengan menarik tangannya, tetapi justru Rina menggigitinya.

"Ittai."ringis Reiji mengusap tangannya yang terdapat bekas gigitan Rina.

Ai memejamkan matanya sekilas kemudian menarik pergelangan tanganku menuju dekapannya. Tangan kirinya memegang pinggangku, tepatnya itu satu dari bagian sensitifku.

"Hei! Jangan sembara--waaa!"seruku ingin menjotosnya tapi gagal karena Ai membopong tubuhku.

"Mikaze-sama keren,"puji Tomochika mengatupkan jemarinya dengan mata berbinar. Dia sama sekali tidak membantuku, apalagi menghampiriku.

Aku tidak dapat lagi melihat ekspresi Ai saat itu karena berada di belakang tubuhnya. Melewati lorong yang kini menyepi, menjauhi aula tempat seharusnya pesta berlangsung.

♡ ♡ ♡

"Apa kau masih marah?"tanya Ai masih membopong tubuhku.

Aku masih terdiam, bingung mau memulai dari mana. Entah dibawa ke mana diriku, tahu-tahu kami telah berdiri di sebuah balkon.

"Aku kecewa."karena bingung mau memulai dari mana, aku memulainya dari menyatakan emosiku. Angin malam yang berhembus kini lebih kencang dan mengusik kehangatan tubuhku, membuatku kerap menggosok lenganku berkali-kali.

Aku berbalik badan. Kesunyian selalu mendominasi di antara kami. Kadang aku merasakan kenyamanan di balik situasi seperti itu, tetapi kini aku sulit menemukan kenyamanan itu dalam kondisi berdebat dengannya.

Tahu-tahu lengannya melingkar di sekitar leherku. Aku memejamkan mataku, merasakan panik yang menjalar. Aku ingin mengerti dirinya.

"A-Ai?"

"Erios melakukan ini agar Allena merasa hangat."

Erios..., adalah nama tokoh utama novel milikku. Dan tentu saja sikapnya sangat berbeda jauh dengan Ai.

Ai masih mengingat karya tulisku.

Di tengah sinar rembulan di antara kami, Ai memasangkan jas putihnya di bahuku.

"[Reader], aku membebaskanmu."

Aku terpaku.

Aku ..., dibebaskan?

Aku ..., akan dikeluarkan?

"Ma-maksudmu?"

Ai memandang langit malam yang gelap nan kelam itu. "Kau bebas jadi apapun yang kau mau. Mulai hari ini, kau bukan tameng serba gunaku lagi."

Baru saja aku ingin bicara banyak hal setelah seminggu berakhir tanpa dirinya.

"Aku sadar kalau aku sebenarnya sudah tidak membutuhkanmu."

Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat hingga buku jariku memutih. Aku memang tidak begitu tahu siapa dirinya, tetapi aku tidak menerima keputusan sepihak seperti ini. Tidak, sampai aku telah menyelesaikan misi samar-samar itu, aku tidak akan angkat kaki dari sini.

Kutarik lengan maskulin miliknya dengan tangan kiriku, sedangkan tangan kananku memegang pipinya.

Aku mempertemukan bibir kami yang akhirnya bersentuhan. Dan tentu saja aku melakukannya dengan singkat.

Sekali saja, aku ingin dia berekspresi. Sekali saja, aku ingin sampai kepadanya dengan perasaanku.

"Aku tidak akan meninggalkanmu karena aku menyukaimu! Bodoh!"

Aku berbalik badan berjalan lebih dulu. Aku tidak mau meninggalkannya. Di tengah asa keegoisan dan komitmen, disitulah perasaanku ternyata telah tumbuh kepadanya.

Dan yang kulakukan tidak dapat kusangkal sebagai kekaguman yang kulakukan untuk membohongi diriku sendiri.

To be Continued ...

A/N :
Ini part yang paling drama deh ;v;)
Mulai part 8, episodenya mulai ada actionnya dan sejumlah misteri mulai terungkap. Kira-kira bagaimana nasib Ai dan Reader ya?

Icip-icip spoiler, apa endingnya bagusan angst saja kali ya? Soalnya selalu bikin happy ending sih/eh.

See ya on the next part~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top