V : Emotions

Warning : Banyak adegan monolog bagaikan eftifi, watch out!
Episode ini bikin mual, tidak nafsu makan, dan susah tidur (bercanda).

Kira-kira kalung pemberian ini harganya berapa ya?

Sepanjang perjalanan menuju istana, aku dan Mikaze berada di dalam kereta kuda tanpa berbicara sepatah kata pun. Dia juga bahkan tidak merasa keberatan dengan situasi saling diam satu sama lain seperti ini.

Apa mereka melarangku karena status?

Aku terus merenung di dalam pemikiranku yang berbelit-belit. Entah kenapa, aku tidak bisa menemukan jawaban yang pasti kecuali menanyakan kepada orangnya langsung.

"Mikaze-sa--,"

Mikaze ternyata telah menatapku lebih dulu. Aku langsung terkejut karena dia selalu menatapku sebelum aku menoleh karena berbicara dengannya. Dia senang sekali membuat orang-orang merasakan gejala heart attack.

"Panggil aku Ai saja,"

Aku memiringkan kepalaku, bingung. "Memangnya kenapa?"

Ai menopang dagunya lalu melirik ke arah jendela mini. "Hanya saja aku ingin kau memanggilku seperti itu."

Refleks, aku jadi memainkan jari-jariku tanpa menatapnya. "Yang lain juga memanggilmu Mikaze-san. Apa tidak apa-apa kalau hanya aku saja?"

Mikaze mengangguk. "Iya. Aku hanya ingin kau yang memanggilku Ai. Keberatan?"

Aku menggeleng cepat. "Ti-tidak sama sekali!"

Sebenarnya apa alasannya memintaku memanggilnya Ai?

Ai itu kan nama kecilnya.

Dan kenapa hanya aku saja yang memanggilnya? Kenapa?

Kok aku jadi baper begini, sih?

Kalau aku sudah sangat ingin tahu, aku akan terjun dalam hipotesaku.

Tanpa sadar, Ai telah memegang beberapa helai rambutku kemudian menyelipkannya di belakang telingaku. Salah tingkah, aku langsung menyelipkan helaian rambutku sendiri.

"Sepertinya kau lebih cocok mengikat rambutmu. Berantakan,"kritiknya kembali menopang dagu.

Aku terpaku sambil memegang rambutku sendiri. Memang angin berhembus membuat helaian rambutku berdiri sehingga terlihat berantakan. Tapi kritiknya yang membuatku mengerucutkan bibir tidak bisa kubantah karena itu benar.

Hanya berdua di dalam kereta kuda yang ditemani oleh kusir yang duduk di bangku utama terasa tidak baik untuk hatiku. Selain aku jadi terlalu banyak berpikir, berada di dekatnya membuatku merasakan panik yang menjadi-jadi.

Sebenarnya, aku bahkan tidak tahu apa yang kini kurasakan. Bahkan perasaan nyaman yang menjalar di dalam batinku. Mungkin aku sepihak merasakannya. Tapi aku bahkan tidak mengerti selain menghadapi hal ini sendirian.

♡ ♡ ♡ ♡ ♡

Akhirnya, kami tiba di istana. Aku masih belum menemukan jawaban dari mereka. Mungkin belum saatnya. Atau mungkin aku memang tidak boleh mengetahuinya.

Aku meraba manik yang melekat di lenganku. Seandainya jika aku tidak memiliki batu ini, tentu saja aku tidak akan bertemu dengannya. Tapi kalau aku tidak memiliki batu ini juga, aku tidak perlu menderita seperti ini. Serba salah.

Saat aku melangkah di lorong, muncul laki-laki bersurai gondrong berwarna silver kehijauan yang agak pucat membawa buku yang dijepit di lengannya.

"Ha! Emak Camus!" Di benakku, memanggilnya sang emak meluncur dari bibirku begitu saja.

Sang emak, Camus memicing ke arahku. "Jangan panggil aku emak. Aku ini laki-laki, memiliki jabatan ternama di istana sebagai ilmuwan. Bersikaplah lebih hormat kepadaku sedikit."

Aku mengangguk dengan seringai bodoh. Toh, aku memang tidak peduli. Anggaplah saja aku sedang mengajaknya berkelahi.

"Sepertinya Mikaze-sama berhasil memberimu kalung itu,"ungkapnya menunjuk dari jauh ke arah tengkukku yang kini berhiaskan tali yang menghiasi bandul safir.

Aku terkekeh miris. "Makasih ya, emak Camus. Aku berjanji akan berlatih untuk membalas hutang budiku. Aku akan berlatih lebih rajiiiin lagi,"

Aku sengaja menekan vokal 'i' sambil menatapnya sinis. Gara-gara dia, aku termakan harapan palsu, mengira Ai beli sendiri, kenyataannya dia malah disuruh.

Camus membuang muka diikuti decihan. "Aku peringatkan satu hal kepadamu. Jangan pernah sekalipun meninggalkan Mikaze-sama dengan melarikan diri. Dalam kondisi seperti apapun suka dan duka, bagaimanapun situasi yang terjadi."ungkap Camus menegurku dalam beberapa kalimat tanpa jeda.

Sebelas dua belas, Camus seperti pastor yang membacakan sumpah pernikahan. Dari imagenya, dia sangat cocok melakukannya.

Tapi tanpa dibilang juga, aku tidak berminat untuk melarikan diri.

"Kalian berbicara tentang apa?"

Suara yang selalu hadir di belakangku lebih mirip bisikan hantu yang bisa terdengar oleh siapapun. Yap, Mikaze Ai.

"M-Mikaze-san?"

"Panggil aku Ai," Mikaze menegaskan hal yang telah dibahas di dalam kereta kuda sambil melipat tangan.

Ah, aku lupa. Belum terbiasa.

"Camus, aku ada urusan dengannya. Lanjutkan saja penelitianmu," Mikaze mendorong pelan bahuku dari belakang, sehingga kami berjalan beriringan.

Saat aku menoleh, Camus yang memicing mengangkat jari telunjuk dan tengah yang ditekuk ke arah matanya kemudian beralih menunjuk ke arah mataku.


Yang kukhawatirkan kini bukanlah tatapan Camus, melainkan Ai yang kini masih menggenggam tanganku. Aku terus menatap Ai hingga dia menatapku balik. Dilepaskannya genggaman jemarinya kepadaku perlahan.

Sekilas, Ai langsung melihat jemarinya dengan tatapan datar kemudian menolehku bergantian.

"Kenapa tadi aku menyentuhmu ya?"

Aku melongo dengan tatapan bodoh. "Harusnya aku yang bilang begitu, apaan sih...,"

Siapapun yang tahu alasan dia bertanya seperti itu, bantulah aku.

"Ya sudah. Aku tanyakan sama Camus atau Reiji alasannya,"

Siapapun yang tahu kenapa dia sangat kepo dan aneh, bantulah aku.

"Tapi aku tidak merasa buruk saat menyentuhmu. Aneh. Aku malah nyaman," Ai menoleh ke arahku di tengah langkah kami yang kini telah terhenti. Dan kalau tidak salah kulihat, Ai ..., tersenyum?

Kata terakhir di atas itu mungkin menurut penglihatanku, karena aku bisa melihat kedua sudutnya sedikit terangkat sekitar nol koma lima milimeter.

Dan dia tidak tahu, kalau ucapannya berhasil menyihir diriku yang diserang panas dingin. Aku merinding. Aku benci mengakuinya, tapi aku deg-degan.

Jujur, cara Ai menyentuhku dan Jinguji sangatlah berbeda. Sensasi dingin yang menjalar itu menenangkan dalam artian baik.

Hanya saja mana bisa aku bilang seenaknya kalau aku mau disentuh-sentuh?

Tapi Ai menyentuhku masih di anggota tubuhku yang masih normal, setidaknya masih wajar.

Duh noraknya sih aku tersentuh. Apaan. Senyum tipis, baper. Nyaman dikit, baper.

"K-kalau kau menyentuh seenaknya, jangan kira aku tidak bisa tidak memukulmu," aku melangkah, membentuk jarak beberapa meter dari tempatku berdiri.

Ai mengelus dagunya. "Bukankah kau ingin membuktikan bahwa kau penulisnya?"

Aku menunjukkan empat siku-siku di dahi. "T-tapi bukan begini caranya, menyentuhku dan malah bertanya kepadaku alasannya,"

Dikiranya penulis dan psikiater itu sama.

Ai memejamkan matanya untuk beberapa detik kemudian menatapku. "Aku ingin kita bicara di luar topik ini,"

Dan well, dia membuatku merasa seperti orang gila karena membentaknya tidak akan pernah bisa membuatnya berekspresi.

"Apa?"tanyaku sinis.

Ai mengeluarkan sebuah kompas dan pita rambut berwarna putih -- tentu saja kedua benda itu mahal, juga berkelas. Aku sangat yakin kalau itu bukan benda yang seharusnya bisa dipakai oleh orang sepertiku -- kini adalah rakyat jelata.

"Aku mau menitipkan benda ini kepadamu selama aku pergi. Tepatnya kau harus menggunakannya."

Di tengah daun berguguran yang berhembuskan angin, aku menerima benda itu darinya. Aku terdiam menatapnya tanpa langsung merespon.

Ai akan segera pergi.

Baru saja aku bertemu. Baru saja aku berselisih pendapat dengannya.

Dan dia akan pergi.

"Apa ini karena aku sering memarahimu?" Aku tahu pertanyaan yang kuutarakan terdengar bodoh, hanya saja kalau memang iya, aku tidak menyesal menanyakan hal ini.

Ai menggeleng. "Tidak mungkin karena itu. Aku punya segudang urusan yang harus kuselesaikan di luar sana. Termasuk ini," jawabnya meraih lenganku, tepatnya manik berkilau itu masih bersedia berada.

Aku meneguk ludah susah payah sambil membayangkan persepsi di benakku. "Kalau aku tidak memiliki manik di lenganku ini, apa kau masih akan menerimaku seperti ini?"

Karena benda ini, aku dilihat sebagai aset yang cukup bernilai.

Aku ..., ingin dia tidak melirikku karena benda ini.

Aku ingin kami masih bisa dekat, walaupun bukan karena keuntungan satu sama lain. Karena nyaman yang telah terjalin di antara kami.

Ai melipat tangannya kemudian membuang muka, entah melirik apa. "Kenapa aku harus menerima seseorang yang tidak memiliki keunggulan? Lagipula kau memang mempunyai manik itu dan aku menerimamu,"

Mendengar jawaban itu membuat tubuhku membatu. Sepertinya bisa saja terkikis dan terbawa angin entah ke mana.

Aku menggigit bibir bawahku keras-keras. Jawaban itu tidak kusangka sangat menusuk. Aku selalu ingin punya impian selain melarikan diri dari menara itu -- diterima dan dihargai meskipun jika aku tidak memiliki manik di lengan dengan beragam pihak yang mengincarku.

Ternyata aku terlalu bermimpi.

Aku mendorong tubuhnya. Ternyata aku hanya dilirik sebagai alat. Tidak lebih dari itu. Hati yang mengembang itu retak, terkikis, kemudian menghilang karena luka. Kukepal tanganku yang bebas tidak menggenggam apa-apa terkecuali udara yang berhembus sampai buku jariku memutih.

Kutahan tangisku yang akan pecah. Aku tidak akan menitikkannya walaupun kepulan rasa perih itu menjalar di sudut hatiku.

"Ternyata begitu."

Seandainya kalau memang dengan mudah luka itu menghilang, aku akan dengan mudah melupakannya. Aku segera melangkah mendahului Ai sejauh-jauhnya. Aku tidak peduli meskipun aku yakin Ai tidak akan mengejarku. Seharusnya aku sudah sadar kalau aku sudah termakan oleh harapan.

Mungkin kepada orang yang salah.

To be Continued ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top