IV : Why Can't?
Aku berjalan gontai sambil membawa paper bag yang menampung bahan makanan. Suasana kota Asvagarde sangatlah menyenangkan. Aneka jajanan kuliner yang tercium menggoda lidah, juga beberapa toko aksesori yang menampilkan manik yang berkilap. Aku melintasi sebuah bangunan sederhana.
I & I Herbalist.
Penasaran akan nama papan yang terpampang, sepertinya aku memiliki firasat baik. Mungkin Ittoki dan Ichinose kini sedang bekerja mulai hari ini sebagai herbalis. Seduhan teh mereka sangat enak, menyegarkan plus menyehatkan.
Krek. Pas sekali Ichinose lewat dan aku di dekatnya.
"P-pagi,"sapaku masih memegang paper bag.
Ichinose tersenyum kalem. "Hari ini grand opening toko herbal kami. Mau jadi tamu pertama kami?"
Aku menjawabnya dengan senyuman balik. "Aku mau kalau kau memberiku tawaran secara gratis,"
Aku yakin Ichinose pasti akan mengomel kalau aku berkata seperti ini, tapi memang kenyataannya aku belum menerima upah sedikitpun selain uang saku pemberian Tomochika.
Duh, kok aku sudah seperti gembel ya?
Ichinose terkekeh mengacak rambutku, "Tentu saja kau boleh menerima koleksi sampel tumbuhan herbal kami. Aku akan sangat senang kalau kau mampir ke sini,"
Waah, siapapun pasti tidak akan percaya kalau mereka adalah mantan perompak.
Ichinose mempersilakanku masuk lebih dulu dengan membukakan pintu. Aku langsung disambut oleh kehadiran Ittoki yang sedang menumbuk tumbuhan hijau.
"[Reader]-chan! Lama tidak berjumpa. Bagaimana kabarmu setelah kita terakhir kali berpencar?"
Kalian tega meninggalkanku, tapi apa boleh buat, toh aku tidak memiliki spesialisasi di bidang apapun.
"Aku baik-baik saja, seperti yang kalian lihat. Aku menjadi tameng serbaguna Mikaze-san."
Ittoki menganga. "Lah, Syo, Natsuki, dan Aijima kan sudah jadi pimpinan utama pasukan?"
Aku mengedikkan bahu.
Entahlah, aku mungkin tokoh figur tambahan.
"Tapi Mikaze pasti mengandalkanmu. Dia bukan orang yang sembarangan mentitahkan sesuatu,"Ichinose mencoba memperlurus kebingungan di antara kami.
Aku tahu Mikaze bukan orang yang jahat. Kalau dia jahat, sudah pasti batu ini tidak melekat di tubuhku. Kalau Mikaze orang yang jahat, aku mungkin sudah dibunuh, bukan hidup dengan baik seperti ini. Oleh karena itu, Mikaze menyampaikan kebaikan yang terselubung tetapi menimbulkan respek bagi kesepuluh anak buahnya.
Dan mungkin diriku juga. Tiba-tiba aku jadi ingin lebih bisa diandalkan. Mungkin ada yang bisa kulakukan selain melindunginya.
"Ittoki-san, Ichinose-san, apa aku bisa meminta jenis herbal yang bisa mengobati tubuh luka memar dan beberapa jenis luka lainnya?"
Ittoki berhenti menumbuk kemudian melirikku. "Ah, [Reader]-chan sedang latihan bersenjata ya? Aku akan racik sampel sebaik mungkin untukmu!"
"B-benarkah? Terima kasih, Ittoki-san. Tapi sebenarnya aku mungkin hanya memakai setengah dari semua sampel itu...,"
Ichinose mengernyitkan dahi. "Apa kau ingin membagikannya kepada Syo dan kawan-kawan?"
"Ah, soal itu iya juga, sih..., tapi aku juga ..., ah sudahlah kalian racik saja,"aku langsung gugup karena teringat oleh Mikaze.
Ittoki pun membungkus tanaman herbal itu ke dalam bungkusan plastik bening dengan label khusus. Dia menatapku lekat-lekat.
"Jangan berikan ini kepada Mikaze-san, ya,"
Terkejut, aku bertanya balik, "Ke-kenapa?"
Ichinose menghela nafas. "Lebih baik, jangan. Maaf, kami belum bisa memberitahu alasannya."
Aku mengernyitkan dahi ketika mendengar alasan buntu dari keduanya. Memangnya ada yang salah dengan tanaman mereka. Tapi tentu saja tidak mungkin kalau alasannya karena beracun. Aku terus berpikir sedalam-dalamnya sambil berjalan, tetapi tidak kunjung menemukan pencerahan.
Akhirnya, aku memilih tidak merespon apa-apa daripada menuntut lebih. Tapi setidaknya aku harus berterima kasih kepada mereka.
♡ ♡ ♡ ♡ ♡
Tepat aku membuka pintu I & I Herbalist, laki-laki bersurai jingga itu seolah menyambutku.
Jinguji Ren!
"Hai, cantik. Lama tidak berjumpa denganmu,"
Apa Jinguji tahu alasannya? Tapi Jinguji bukan herbalis. Aku tidak yakin dia akan memberitahuku jika aku menanyakannya.
"U-um,"jawabku mengangguk.
Disentuhnya pinggangku, membuatku langsung tersadar dari lamunanku. Aku memicing ke arahnya. Aku tidak suka laki-laki yang sembarangan menyentuhku.
"Jangan segalak itu menatapku. Aku baru saja berbelanja bahan makanan. Mau ikut ke kafe bersamaku? Letaknya searah dari sini,"
Aku mendesah. "Maaf, Jinguji-san. Aku pulang dulu,"
Jinguji menarik pergelangan tanganku. "Aku tahu kau sedang merenungkan sesuatu. Aku minta maaf karena aku menyentuh tanpa seizinmu walaupun wanita lain biasanya tidak masalah dengan itu, tapi aku mengaku aku salah. Tapi ikut denganku, ya."
Mungkin aku yang terlalu tersinggung atau apa, tetapi Jinguji telah mengakui kesalahannya. Toh, ada Hijirikawa di sana dan aku bisa berbincang-bincang bersama mereka. Sebelum pukul satu siang, aku masih punya waktu setengah jam lagi. Sebelum Mikaze benar-benar mencariku.
♡ ♡ ♡ ♡ ♡
"Enaknyaaa,"pujiku sambil mencicipi croissant yang sangat lezat di indra pengecapku. Hijirikawa tersenyum kemudian duduk di hadapanku.
"Apa kau sedang mengalami masalah? Tadi Ren mengatakannya kepadaku,"
Aku menatap ke arah Jinguji yang sedang melayani tamu. Aku menopang daguku. "Hijirikawa-san, tadi aku ke toko herbal Ittoki dan Ichinose. Saat aku memutuskan untuk memberikan tanaman ini kepada Mikaze, mereka tidak mengizinkannya,"
Raut wajah Hijirikawa yang tenang menjadi sedikit aneh. Ada sesuatu yang sepertinya dia ketahui. Dia menarik nafas dalam-dalam.
"Maaf aku tidak tahu juga alasannya,"
Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkan Mikaze?
Ya sudahlah kalau mereka tidak bisa membahas hal ini kepadaku.
Aku menghela nafas. Setiap orang punya masalahnya masing-masing. Aku sadar kalau aku juga baru bergabung dengan mereka, jadi aku mungkin belum sepantasnya tahu apa-apa.
Syok, aku melihat ke arah jam dinding. Aku tidak sadar menghabiskan waktu hampir dua jam hanya dengan berbincang dengan Jinguji dan Hijirikawa.
Aku terlambat kembali ke sana!
Sepertinya waktu luangmu cukup panjang," lagi-lagi intonasi tinggi itu membuatku bergidik. Dia sudah pasti marah kepadaku. Takut-takut aku ingin menolehnya.
Jemariku digenggam olehnya. Baik Jinguji dan Hijirikawa hanya terpaku saling menatap satu sama lain ketika aku mulai didera kepanikan.
"Kami dihubungi bos Mikaze,"keduanya kompak menjawab kebingunganku.
Brak.
Pintu kafe ditutupi oleh laki-laki bertubuh tinggi itu dari luar. Sepertinya dia benar-benar marah, dilihat dari hentakan pintu yang berbunyi cukup memekakkan telinga.
"G-gomen ne, Mika--" aku berhenti berkata-kata ketika Mikaze mendekat ke arahku, mengalungkan tangannya ke tengkukku.
Entah tubuhku mengalami efek merinding atau apa, jemari Ai yang melekat di tengkukku terasa dingin seperti diguyur es batu. Aku menatapnya bingung, tetapi dia sedang serius menatapku datar.
Mikaze pun mundur beberapa langkah. "Sudah, aku telah memberimu penanda tamengku,"
Aku menunduk ke arah manik berbentuk lingkaran berwarna biru safir yang telah terjaring sebuah tali yang melingkari leherku.
Aku mengamati batu yang cantik dan berkilau itu.
Cantik. Aku bahkan lebih menyukai bandul ini daripada manik yang melekat di tubuhku.
"Ke-kenapa kau memberiku?" tanyaku bingung. Mikaze menunjuk bandul itu.
"Camus bilang, gadis suka akesoris. Jadi aku belikan satu untukmu,"
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali dan melongo, "Karena Camus hanya bilang begitu dan kau membelinya?"
Dengan kalem, Mikaze mengangguk. "Lagipula aku rasa itu bisa jadi benda jaminan jika kau mencoba kabur."
Alih-alih penanda tameng yang tadi sempat membuat hatiku berbunga-bunga, kini ia dengan santai mengatakan benda jaminan. Kurang ajar.
"Camus juga bilang kalau aku memberimu benda seperti ini, kau akan senang dan lebih rajin berlatih,"
Aku mencibir sebal. Sekarang mantan bos perompak satu ini lebih terkesan seperti anak-polos-yang-disuruh-melaksanakan-saran-ala-emaknya. Dan catat, Camus adalah sang emak yang tidak menutup kemungkinan.
"Aku tidak akan kabur. Bahkan jika kau memaksa. Dan aku bukannya malas, aku sudah bilang aku sedang jalan-jalan," aku menggembungkan pipiku.
Enak saja kiranya, membuat gadis manis sepertiku melayang di langit ke tujuh kemudian menjatuhkannya ke dalam palung lautan dalam.
"Masuk,"Mikaze tahu-tahu telah melangkah masuk ke dalam kereta kuda.
Aku mencoba menjejakkan kakiku, tetapi tidak sampai. Mikaze menoleh ke arahku kemudian mengulurkan tangannya. Sempat enggan, jemarinya masih setia terulur diikuti tatapannya yang selalu datar kepadaku.
Aku menggenggam jemarinya yang lagi-lagi terasa beku di indra perasaku. Tapi efek dingin itu membuat hatiku terasa sejuk, tentunya bukan dalam artian buruk.
Kudengar luapan udara yang membumbung di angkasa, burung-burung yang terbang melata di tengah gumpalan awan, juga daun yang berguguran yang tersenggol oleh angin yang berhembus.
Dia, dengan kehadirannya yang disanjung oleh sekitarnya.
Dia, yang kini mendominasi benakku, juga mungkin alam bawah sadarku.
Karena aku hanyalah seorang gadis dengan batu aneh di lengan, aku memutuskan tidak ingin pasrah dan bertemu dengannya. Menemui banyak hal dan mengalami beragam emosi. Menemui dunia di luar ruangan gelap yang sunyi dan menusuk tulang.
Masih terlintas kebingungan yang kurasakan, alasan aku tidak bisa tidak menolongnya di luar batasanku.
Kalau mereka tidak bisa memberitahuku, aku yang akan mencari tahu seorang diri.
To be Continued...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top