III : An Useful Shield

"Yang itu pindahkan ke sini terus yang satu lagi pindah ke ruangan sana,"perintah Mikaze berdiri di tengah menunjuk barel yang menumpuk di sudut kapal.

Seperti biasa, suasana kapal sangatlah ribut. Sebenarnya aku bahkan hanya sering meratapi keramaian itu.

Aku jadi tidak berani menatapnya. Sebenarnya sejak malam itu, aku jadi tidak bisa tidak memikirkannya. Tapi artinya aku bukan menyukainya.

Tidak mungkin aku menyukai laki-laki berhati es batu itu! Bukan, mungkin saja hatinya terbuat dari baja.

"[Reader]-chan, bisakah kau membantuku memasak?"Hijirikawa membawa dua kantong berisi sayuran.

Sepertinya ada yang beda dibandingkan hari biasa, walaupun ribut, sebenarnya kapal ini jadi lebih rapi dibandingkan sebelumnya.

"A-ano, Hijirikawa-san. Sebenarnya hari ini hari apa sih?"

Hijirikawa tersenyum tipis. "Ini hari terakhir kami menjadi perompak,"

Aku ternganga. "Te-terakhir?"

Kapal yang membawa diriku yang merupakan penumpang tidak diundang ini akan berhenti berlabuh. Aku refleks merosotkan bahuku.

"Tenang saja. Kami masih akan tetap bekerja untuk Mikaze-sama. Sebab dia yang menemukan kami dan mengharapkan kami memiliki prospek karir yang lebih baik,"Ittoki yang melihat kami ikut bergabung dalam pembicaraan.

Sebenarnya Mikaze adalah orang yang seperti apa sih?

Kulirik Mikaze yang duduk santai di kursi sambil membaca koran. Bahunya yang lebar itu selalu menghadap ke arah orang-orang yang menghormatinya. Menjadi pemimpin mereka.

Dan bagaimana karya sepertiku bahkan bisa menginspirasinya?

♡ ♡ ♡ ♡ ♡

Kota Asvagarde.

Pulau yang diributkan oleh Syo itu akhirnya berada di sini. Beberapa bangunan tinggi terlihat di sekitarnya, tetapi kami tentu saja berhenti di pelabuhan.

"[Reader]-chan, setelah memutuskan untuk tinggal di sini, mau menjadi apa?"tanya Ichinose yang berada di sampingku.

Aku melihat penduduk yang ramah menyambut kami. Seperti yang diucapkan Ichinose dan Ittoki, mereka ingin menjadi herbalis. Syo, Shinomiya, dan Aijima memutuskan menjadi pengawal. Jinguji dan Hijirikawa menjadi chef.

Sisanya, Kotobuki dan Kurosaki menjadi penasihat sedangkan Camus menjadi ilmuwan.

Tapi ketika aku melangkah semakin jauh, terlihat sebuah istana yang menjulang tinggi yang menarik perhatianku. Betapa indahnya, dibandingkan menara tidak terawat yang menampung diriku enam belas tahun silam.

"Kita akan tinggal di sana. Wilayah ini adalah kekuasaanku,"ungkap Mikaze menunjuk istana itu.

Aku mengerjapkan mataku berkali-kali dan melongo.

Mikaze yang punya istana itu? Dia berarti tokoh terhormat di sini?

Semuanya pun bersemangat memencar diri. Aku berdecih kesal karena semuanya terlihat mengkhianatiku. Mentang-mentang punya mimpi, langsung saja meninggalkanku seorang diri di sini. Di kota yang bahkan tidak kukenali, peta selembar saja tidak ada digenggaman.

"Jangan panik, [Reader]-chan. Aku juga belum tahu akan menjadi apa. Tapi aku sudah pasti ingin berguna bagi Mikaze-sama,"Tomochika menepuk bahuku dengan senyum keyakinan.

Entah dia berbohong kepadaku soal tidak tahu menjadi apa, aku merasa setidaknya tidak terlalu terasingkan.

"Bukannya kau sudah punya pekerjaan?"nada dingin itu menghantuiku lagi. Aku memicing ke arahnya.

"Aku jadi penemu? Aku ini penulisnya!"jawabku geram karena aku bahkan tidak berminat membohonginya. Tidak ada untungnya jika aku menipu bos perompak ini.

Mikaze menggeleng pelan. "Bukan masalah itu. Kalau kuanalisa, sepertinya fisikmu cukup kuat dibandingkan Tomochika-san. Lebih baik kau latihan bersenjata saja,"

Laki-laki yang biasanya irit bicara itu tumben mau memikirkanku. Tapi aku tidak membenci idenya. Aku ingin jadi lebih kuat.

"Kau, jadi tameng serba gunaku saja,"tunjuknya ke arahku langsung berbalik badan.

Belum sempat aku menerima tawarannya seperti tadi, aku yakin yang diucapkannya adalah titah. Seratus persen, bukan, empat ribu persen/lah. Aku terpaku bahkan aku yakin Tomochika kini akan benar-benar meninggalkanku, seratus persen tanpa pengecualian.

Dasar cowok sombong! Sok berkuasa, tapi memang kenyataannya dia memiliki jabatan yang tinggi di sini.

Tomochika pun terkekeh. "Syukurlah kau tidak menganggur. Aku khawatir. Aku sudah menjadi perawat. Gomen ne, aku berbohong~"

Aku sudah tahu kau berbohong sejak awal.

Kutiup poni yang melambung ke atas karena arah tiupanku. Jalan pikirannya benar-benar aneh. Tapi aku mungkin sebentar lagi akan jadi aneh karena aku telah memilihnya.

♡ ♡ ♡ ♡ ♡

Sepertinya istana yang kulihat ini baru saja dibangun. Begitu mewah dan terawat. Aku bahkan merasa menara yang mengurungku hanya berukuran seperempat dari luas bangunan pencakar langit ini.

Semuanya memiliki pekerjaan yang bisa dibanggakan. Semuanya memiliki pekerjaan yang tentu saja sangat dikenali dan dibutuhkan. Apalah diriku, tameng tanda tanya yang benar-benar aneh dan terkesan bodoh itu.

Aku berjalan melalui lorong sepi dan bertatap pandang ke arah Mikaze yang berjalan berlawanan arah denganku. Aku langsung saja ingin membuang muka, tetapi menangkap sesuatu yang mencurigakan.

Sebuah anak panah yang terlihat mengarah ke Mikaze dari arah semak-semak. Refleks, aku berlari ke arah Mikaze sebelum anak panah itu melambung.

"Awas!"seruku mendorong Mikaze sesegera mungkin menjauhi arah anak panah itu.

Kami akhirnya terjatuh bersama dalam keadaan telentang. Anak panah itu menancap di tiang dengan tepat. Aku menarik nafas setelah tertahan saking gugupnya. Tameng. Sepertinya jabatan itu mulai mendarah daging di dalam diriku.

"Kau tidak apa-apa?"tanyaku panik segera duduk. Aku masih mencoba mencari pelaku sialan itu tetapi tidak terlihat selain sosoknya yang serba hitam menghilang dalam jubah hitamnya.

Aku mendecih sebal karena pelakunya melarikan diri.

Mikaze duduk dan menatapku dengan wajah datarnya. "Aku tidak menyangka kalau kau akan menolongku sampai mendorong tubuhku seperti ini."

Padahal kau mentitahkanku demikian.

"Aku melakukannya karena aku berhutang budi,"ungkapku dengan wajah memerah. Aku tahu bukan saatnya aku malu karena responnya yang selalu demikian. Dia yang mentitahkannya kepadaku.

"Tapi, terima kasih sudah melindungiku,"jawabnya dengan wajah kalem dan senyuman tipis.

T-tunggu. Jantungku tidak boleh berdesir hanya karena dia tersenyum! T-tapi ini kali pertama dia tersenyum kan?

Ternyata dia juga bisa berterima kasih.

"L-lebih baik kau suruh Syo untuk berada di sampingmu,"tawarku kepadanya sambil membuang rasa maluku barusan.

Aku sadar kalau hanya melindungi dengan tangan kosong hanyalah omong kosong. Apalagi jika tidak memiliki kemampuan. Seumur hidup terkurung dan menulis tidak membuatku berkembang di bagian fisik.

Mikaze mengangguk kemudian menepuk bahuku. "Untuk saat ini aku akan mengandalkannya. Tapi aku akan mengandalkanmu ketika kau mulai menguasai ilmu bela diri,"

Kulihat dirinya yang berdiri dan meninggalkanku. Kedua bahunya yang bidang itu tidak lagi terasa dingin menyambutku. Sebenarnya dia mungkin tidak jahat ataupun tega bukan? Atau aku bisa percaya kepadanya?

Keinginanku menjadi lebih kuat pun menjadi-jadi, berkobar di dalam batinku. Aku berlari menuju pos keamanan.

"S-Syo!"seruku dengan nafas terengah-engah. "Aku.. mau belajar bela diri!"

Baik Shinomiya dan Syo langsung menatapku bergantian. Sepertinya dia mengiraku bercanda. Tapi mungkin juga tidak karena aku menghampiri mereka dengan keringat bercucuran.

"Sip. Aku yang ajarkan, ya!"Syo langsung menawarkan.

"E-eh, tapi aku mau,"Shinomiya juga menawarkan.

Siapapun tidak masalah, selama mereka ikhlas.

"Kita hompimpah saja,"ajak Syo yang langsung dituruti Shinomiya.

Batu di tangan Syo dan gunting di tangan Shinomiya. "Yaaah,"Shinomiya menatap jemarinya kecewa. Tentu saja Syo langsung kegirangan.

"Mohon bantuannya,"ungkapku setelah tahu hasil keputusan yang memerlukan takdir Tuhan itu membungkukan badan. Syo menyeringai.

"Dengan senang hati aku membantumu, nona!"

♡ ♡ ♡ ♡ ♡

Keesokan harinya, aku menceritakan kejadian yang dialami olehku dan Mikaze barusan -- tancapan panah yang disengaja di lorong istana. Syo langsung panik, menyiapkan pertahanan lebih di dekat area tempat kejadian peristiwa dan beberapa area yang diduga berpotensi terjadi penyerangan.

Kini, Syo berbaik hati meluangkan waktunya untukku berlatih dalam bersenjata.

"Hiattt,"aku menggunakan pisau pendek itu, menebas udara.

"Masih banyak celah! Ulang,"Syo mengajarku, mengkritik gerakanku.

Aku berlatih di sebuah lapangan luas yang mendominasi berwarna hijau rumput. Aku mengelap peluh keringatku sambil mengayuhkan pedang mini yang kudapatkan dari Syo.

"Oh, bos Mikaze! Selamat siang,"Syo membungkukkan tubuh karena melihatnya berlalu di lorong.

Aku berbalik ke arah Syo, menatap Mikaze yang berjalan membaca buku tebal -- yang jelas bukan karanganku tetapi sepertinya bacaan kelas berat. Aku tersenyum tulus. Akan kubuktikan dengan usahaku. Perjuanganku mulai saat ini. Perbedaan saat aku terkurung dan tidak.

Bahwa aku bisa merasuk, bukan, menyelami jiwanya yang mengambang entah di mana.

"Mikaze-san, aku menantangmu! Aku ingin kau melirikku!"aku spontan berkata serta mengacungkan pedang ke arah Mikaze yang masih menatapku datar sedangkan Syo terkejut memukul punggungku.

"Hei, kenapa kau berbicara seperti itu! Tidak sopan tahu,"Syo membisik ke arahku. Aku menggosok punggungku yang terasa perih kemudian menatap Syo tajam.

"Kau tahu yang namanya sakit? Ketika dipukul karena melakukan yang benar tahu, sakitnya tuh di sini!"ringisku memegang punggungku yang malang dan tidak berdosa.

"Apaaaa--"Syo pun tidak terima. Well, dia sangat menghormati Mikaze. Aku hanyalah status anak-buah-garis-miring-muridnya.

Mikaze kemudian menghampiriku, masih dengan wajah datarnya yang kuanggap demikian. Tapi dia terkekeh diikuti dengusan sambil menutup buku tebalnya.

YA TUHAN, DIA BISA TERTAWA JUGA RUPANYA, ASTAGANAGA! D-Dia sedang menyindirku kan?

"Melirikku? Dalam artian apa?"

Wajahku tidak bisa tidak memanas karena Mikaze bertanya kembali. Aku menggigit bibirku sambil menahan malu.

"Aku.., melirikmu..., dalam artian......,"

Aku bahkan tidak tahu kelanjutan akan kata-kataku sendiri! Ya ampun.

Homina homina homina homina ~~~

Katakan [Reader], katakan!

Tidak ada kata yang muncul di benakku setelahnya. Memalukan.

"Aku sedang bercanda, abaikan saja,"aku langsung sok kalem mengangkat bendera putih sebagai tanda bahwa aku menyerah, mencoba berlalu di antara mereka. Mukaku entah harus kutaruh di mana lagi.

Aku tahu Mikaze masih melirikku, apalagi kini jemarinya mengikat pergelangan tanganku.

"Ada sesuatu yang kau sembunyikan kan?"tatapnya lurus ke arahku, mencari-cari arah sirat di balik perkataanku.

"E-eto?"

"Cepatlah jawab atau kita tidak latihan?"Syo geram dengan diriku yang plin plan mau menjawab atau tidak.

Pekerjaan apapun yang sedang kuemban karena melarikan diri ini justru berbeda daripada yang kuharapkan. Bintang jatuh mengabulkannya dengan cara yang berbeda. Sebab itulah, hidupku justru dipertemukan olehnya.

Karena hidup sebenarnya tidak sesimpel itu.

To Be Continued...

A/N :
Ai OOC di sini gak papa ya/ditendang. Kalau ada yang nggak setuju, maafkan daku :")
Mungkin awal Februari aku akan hiatus untuk seminggu.

See ya on the next part!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top