Ch 9
Ngetik setelah selesai kerja semalam. Tapi tiba-tiba ide muncul buat chapter ini. Jadi langsung kutulis, dari pada lupa. Maaf banyak typo dan kadang bahasanya aneh karena belum sempet kucheck.
Niat update semalam, tapi Tuhan tak menghendaki dengan tiba-tiba internet error nggak bisa dipake. Akhirnya aku tidur aja.
Maaf juga kemarin marah-marah karena lagi buruk banget moodnya. Tapi tetap ya minta vote dan komen. Ini aku ngetiknya di sela-sela kerja lhoh. Masa nggak dikasih penghargaan dengan vote dan komen?
Next, bisa lama kalau masih banyak yang siders dan aku kepentok kerjaan.
Thankyou!
.
.
.
"Maaf aku belum bisa menemuimu lagi, Ge."
"Tak apa. Aku tahu kau sibuk."
Yibo menghela napas, dia merasa sangat bersalah karena hampir Seminggu ini dia mengabaikan sang kekasih manisnya. Bukan hanya kerjaan kantor, tapi ia juga sibuk mengurus Harry sendirian tanpa bantuan seorang pengasuh seperti biasanya.
Kemarin ibunya menelpon, katanya suruh Harry pindah saja ke Louyang –rumah tinggal orang tua Yibo –tapi, pria 28 tahun itu menolak karena tak ingin jauh dari sang anak. Akhirnya, sang ibu pun menyuruh dirinya untuk melakukan cek fisik pada Harry ke dokter.
Sepertinya, sang ibu memang masih teringat dengan pertemuannya 3 Minggu lalu kalau Harry kelihatan sangat kurus dan ibunya mencurigai Yibo tidak mengurus anaknya dengan baik.
Dari pada sang ibu terus-menerus cerewet, tadi sebelum Harry berangkat sekolha, Yibo sempatkan ke dokter anak untuk mengecek kondisi fisik Harry dan ia berharap bahwa anaknya tumbuh dengan baik.
Pria itu pun melihat ke arah jam dinding ruang tengahnya, jam 10 nanti katanya sang dokter akan mengirimkan hasil pemeriksaan tadi pagi. Karena Yibo akan bekerja dan Harry sudah harus berangkat sekolah, memang Yibo menyuruhnya untuk hasil pemeriksaan dikirim melalui ponsel.
"Yibo? Apa kau masih di sana?"
"A-ah, ya. Aku masih di sini."
"Yibo, kalau kau lelah, lebih baik istirahat saja dulu. Kerjaan boleh diselesaikan besok lagi." Di seberang sana, Yibo membayangkan kalau pria manis itu pasti memasang wajah khawatir dan itu membuatnya sedikit mendengkus tertawa.
"Tenang saja, Ge. Aku pasti istirahat setelah ini. Aku kerja juga buat Zhan-Ge."
"B-buat aku? Jangan sembarangan Yibo! Aku masih punya cafe yang bisa memberiku penghasilan."
Yibo pun tertawa. "Iya...iya...tapi kalau kita menikah, bukankah Zhan-Ge menjadi tanggung jawabku?"
"Diamlah. Jangan menggodaku terus-terusan."
"Iya, sayang..."
"Sudah dulu. Aku mau menutup cafeku. Malam. Jangan telat makan dan jangan sampai tidur lewat pukul 12."
"Iya, sayang..." Jawabnya lembut, "kau juga jangan terlalu malam pulangnya. Gunakan taksi. Jangan bus."
"Bye, Yibo."
Setelah itu, sambungan telepon terputus, pria itu pun menghela napas dan tersenyum miring sambil menatap layar ponselnya. Dia sungguh merindukan sang kekasih. Tapi dirinya juga mempunyai tanggung jawab yang berat juga.
Harry...
Dia jadi teringat nasihat Haikuan yang menyuruhnya untuk memberitahu tentang Harry dan kehidupan masa lalunya kepada Xiao Zhan, atau mengenalkan Xiao Zhan pada Harry.
Ya. Semudah itu memang. Harusnya.
Tapi Yibo memikirkan bagaimana reaksi Harry dan Xiao Zhan ketika mereka dipertemukan.
"Aku bisa gila karena ini..." ia pun mendorong anakan rambutnya ke belakang dengan kedua tangan lebarnya. Yibo menatap langit-langit sembari berpikir rencana apa yang akan ia lakukan agar tidak ada yang tersakiti bila kedua orang yang ia cintai saling dipertemukan.
Ding!
Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Segera saja Yibo mengambil ponsel itu dan melihat ada nomor asing yang masuk dan ia sudah menduga kalau itu hasil pemeriksaan Harry dari dokter anak.
Dengan teliti, Yibo pun membaca hasil scan-an data pemeriksaan anaknya. Sedikit was-was juga karena ia takut Harry tidak tumbuh dengan baik.
Dan setelah ia membaca di pertengahan, bibirnya melengkung sedih dan ia pun mengeluarkan napas berat.
Data yang ditunjukkan, bahwa kondisi pertumbuhan Harry sangat lambat. Tingginya tidak seperti anak umur 10 tahun pada umumnya. Beratnya pun bahkan tidak sampai 30kg untuk ukuran anak laki-laki yang akan menginjak umur 11 tahun.
Benar kata ibunya. Harry kekurangan gizi. Dirinya langsung merasa bersalah karena tidak memperhatikan tumbuh kembang putranya. Padahal ia kira Harry makan dengan cukup baik. Tapi setelah Seminggu penuh ia bersama sang anak, memang Harry sulit sekali makan.
Anaknya ini memang tidak diperbolehkan makan camilan agar napsu makannya bisa bertambah pada makanan berat. Tapi malah hasilnya seperti ini. padahal juga ia pun berusaha membiasakan Harry minum susu dengan kualitas terbaik.
Yibo pun meletakkan ponselnya dan berdiri untuk berjalan menuju kamar sang anak. Di sana, Harry sedang tidur pulas dengan selimut yang menutupi hingga dada.
Pria 28 tahu itu menekukkan kakinya dan bertumpu pada kedua lututnya untuk bisa mensejajarkan wajahnya dengan wajah sang anak yang sedang tertidur pulas. Dari pinggir ranjang sang anak, Yibo mengusap rambut puteranya.
Ia sungguh merasa bersalah, merasa gagal 7 bulan ini merawat Harry. Dirinya terlalu angkuh hingga tak menyadari anaknya telat tumbuh. Pantaslah Harry bahkan sangat kecil bila bersebelahan dengan Guocheng –sahabatnya, dan bahkan di kelasnya, anaknya ini masuk kategori kecil.
"Maafkan Papa Harry. Papa gagal merawatmu."
Kedua matanya berkaca-kaca, tangannya masih mengusap kepala sang anak. Sebelum keluar kamar, Yibo sempatkan untuk mengecup puncak kepala Harry.
"Maafkan Papa."
*****
"Aku belum menemukan baby sitter yang bagus untuk anakmu, Yibo."
Wenhan kembali lagi ke ruangannya. Yibo sendiri heran, apa yang Wenhan kerjakan di kantornya hingga ia bebas naik turun sesuka hati.
"Kalau mudah, aku tak akan membawa anakku ke kantor, Wenhan."
"Tapi aku cukup banyak referensi wanita cantik yang bisa jadi ibunya Harry."
"Aku sudah ada pacar."
Wenhan membelalakan mata sipitnya. Ia yang tadi santai di sofa empuk milik Yibo, segera berdiri dan duduk tepat di kursi seberang pria yang menjadi bos itu.
"Serius? Kenalin, dong, pacar barumu itu."
"Nggak usah. Nanti kau naksir." Ucap Yibo sarkas dengan masih memeriksa beberapa dokumen yang barusan ia terima dari karyawannya.
"Ck" Decaknya, ia lalu senderkan tubuhnya ke kursi empuk itu. "Kayak tidak tahu aku saja. Memang yang sering membantumu baikkan dengan Lizbeth siapa? Aku 'kan? Memang selama itu aku naksir mantan istrimu itu? yaaa mengesampingkan kalau Elizabeth memang sangat cantik."
Yibo enggan sekali bila ada yang membicarakan tentang mantan isterinya itu. Bagaimana tidak? Wanita itu menghianatinya dan sekarang membuang Harry begitu saja. Memang dia pernah menelpon dan menanyakan kabar anaknya? Tidak sama sekali.
"Eh, serius mantan isterimu tidak menanyakan Harry?"
Yibo pun menghentikan kegiatannya dan memandang Wenhan, "memang aku bohong? Aku malah berharap wanita itu tak mengusik hidupku lagi dengan Harry."
"Benar sekali. Kalau bisa, pacarmu ini langsung nikahi saja. Biar ada yang mengurus Harry saat kau sibuk seperti ini di kantor."
Mendengar itu, Yibo pun jadi memandang sang sahabat karena memikirkan sesuatu.
"Wenhan."
"Ya?"
"Aku berkencan dengan pemilik cafe depan gedung ini."
Diam
Wenhan masih mencerna ucapan sang sahabat dengan berkedip-kedip tak percaya.
"Aku mengencaninya. Dia sahabatku waktu kecil, dan sekarang aku kencani."
Pria yang seumuran dengan Yibo itu masih saja diam, badannya juga tak bergerak sama sekali. Yibo bahkan hampir mengira jika sang sahabat akan mati dengan cara tak elit karena terkejuut.
"Bisa kau bicara? Kau sungguh menakutkan memandangiku seperti itu, Wenhan?"
"Yibo, apa kau gila?"
Yibo sedikit tersingung karena Wenhan menyebutkan gila dengan mengencani Xiao Zhan yang ia cintai dengan sepenuh hati.
"Bagaimana bisa kau mengencani lelaki sementara jika kau menikah dengannya, otomatis akan menjadi orang tua anakmu juga. Apa kau pikir laki-laki itu mau menjadi posisi ibunya Harry?"
Yibo yang sedari tadi mengetikkan sesuatu pada keyboard laptopnya, berhenti seketika mendengar ucapan Wenhan.
Ya, memang itu sudah ada di kepalanya sejak jauh-jauh hari. Dirinya mengencani Xiao Zhan, tapi yang pertama terlintas adalah bagaimana reaksi anaknya, Harry. Dia tidak memikirkan bagaimana reaksi ibunya. Itu urusan nanti, dirinya tidak ingin pusing mendadak.
"Harry akan menerimanya. Zhan sangat menyukai anak kecil pula."
"Apa itu cukup?" Wenhan berjalan menuju meja Yibo dan memainkan pena yang ada di atas meja kerja sahabatnya, "anak butuh seorang figur ibu. Seberapa sayangnya laki-laki itu pada anakmu nanti, bukan berarti posisi ibu bisa terganti."
"Apa jika aku menikahi perempuan, orang itu akan benar-benar menyayangi Harry?"
Wenhan seperti tersedak ludahnya sendiri mendengar ini. Benar juga, sih. Apa iya ada wanita lajang yang mau menerima Yibo sekaligus Harry dengan baik? Di zaman seperti ini, tentu saja sangat sulit. Tapi...
"Memang Zhan menerimamu dan Harry? Dia sudah dikenalkan dengan Harry?"
Nah, ini yang membuat Yibo enggan berbicara tentang masalah percintaannya. Dia telah melakukan kesalahan itu –tak mempertemukan sang kekasih dengan anaknya. Tapi dia yakin, Zhan akan menerima anaknya dengan baik.
"Belum."
Pria yang sudah bersahabat dengan Yibo puluhan tahun itu, seketika ingin menjatuhkan dirinya setelah mendengar itu.
"Aku tak tahu jalan pikiranmu, Yibo."
*****
"Ah, begitu. Baiklah. Terimakasih Tuan. Nanti Harry saya yang jemput saja."
"Tidak perlu Tuan Wang, nanti biar saya dan Guocheng yang mengantarkannya saja. Bisa tahu alamat rumah Anda?"
"Antarkan saja Harry ke kantor saya." Lalu Yibo menyebutkan alamat kantornya pada pria yang ada di seberang telepon.
"Baik. Nanti pukul 8, saya akan mengantarkan Harry."
"Terimakasih. Maaf merepotkan."
Sambungan telepon pun berakhir. Tadi adalah ayah dari sahabat anaknya –Guocheng. Katanya, Harry ingin main ke rumah temannya karena Guocheng memiliki adik perempuan yang baru lahir 3 hari yang lalu. Harry bersemangat untuk melihatnya.
Karena takut dimarahi Yibo –katanya –akhirnya yang meminta izin adalah ayah sahabatnya. Yibo pun mendengkus tertawa. Padahal tak akan dimarahi pula. Justru Yibo sedikit lebih lega karena Harry bisa main dengan nyaman di rumah temannya itu.
Jadi, dia pun juga cukup lenggang dan lega untuk fokus bekerja tanpa harus diganggu sang anak yang beberapa hari ini selalu ribut main di ruangan kantornya.
"Jam 8 ya... aku bisa menemui Zhan-Ge sebelum itu berarti." Ya, benar. Jika tak ada Harry, dirinya bisa dengan bebas menemui sang pujaan hati. Nanti, jam 7, ia niatkan datang ke cafe pria manis itu.
Harry pulang pukul 8. Hanya setengah jam saja bersama sang kekasih, Yibo rasa cukup. Nanti dia bisa mengirimkan pesan pada ayah Goucheng agar Harry menunggu di lobby gedung dari pada harus ke lantai 5 sendirian.
"Akhirnya aku bisa bermesaraan dengan Zhan-Ge." Ia menyenderkan punggungnya ke kursi kerjanya dan menekuk lengannya ke belakang kepala sebagai bantal. Kini, Yibo tersenyum-senyum sendiri sambil menatap ke langit-langit ruangannya seperti orang gila.
.
.
.
.
"Tidakkah kau bertindak kurang ajar dengan membalikkan tanda buka ke tutup, tuan?"
Xiao Zhan mendengkus kesal saat sang kekasih tiba-tiba datang dengan seenaknya membalikkan tanda buka di pintu cafenya menjadi tutup. Bayangkan saja, ini masih jam tujug sore.
Masih ada waktu 4 jam untuk cafenya tutup. Apa kekasihnya ini ingin membuat dirinya miskin mendadak?
Padahal di dalam juga masih ada tiga-empat pelanggan yang sibuk dengan gadget nya masing-masing.
Pria itu pun hanya menyeringai dan membuat pria manis itu bertambah kesal, saat sang kekasih malah menariknya kembali ke dalam ruangan yang ada di balik counter pemesanan seperti hari kemarin.
"Apa, sih?!"
"Akhirnya kita berduaan lagi."
"Ha ha ha...romantis sekali berduaan di dapur –"
Ucapan Xiao Zhan terputus saat dengan kurang ajarnya, Yibo telah mencium bibirnya dengan singkat. Setelah itu, pria tampan tersebut malah memeluk Xiao Zhan dengan begitu erat diserai mencium ceruk lehernya –mengendus-ngendus aroma sang kekasih seperti anak anjing.
"Yibo, geli, tahu!"
"Tahu. Tapi aku nyamandengan begini ke Zhan-Ge."
Mau tak mau, pria manis itu pun tersenyum senang. Ia akhirnya balas memeluknya. Ya, tak apa lah seperti ini. pelanggan yang tersisa juga pasti pulang sendiri karena sudah bayar. Yibo pasti merindukannya.
"Kau benar-benar sibuk, ya?"
Akhirnya, setelah beberapa saat pria itu memeluknya, kini Yibo melepaskan pelukan tersebut untuk menatap sang kekasih.
"Apa kau tidak percaya? Kita belum genap sebulan berkencan. Aku tak mungkin selingkuh darimu."
"Oh...jadi kalau sudah lama kencan denganku, kau ada niatan untuk berselingkuh?" otomatis, pria 29 tahun itu mendengkus keras dan mengembungkan pipinya.
"Ge, jangan ngambek begitu. Kau jadi semakin menggemaskan. Jadi ingin kutiduri –aw!"
Ucapan frontal Yibo, membuat wajahnya langsung merah padam. Kenapa pria ini tidak pernah menyaring kata-katanya, sih? Tidakkah ucapannya begitu memalukan?
Sebenarnya berhubungan intim sebagai sepasang kekasih tidaklah salah, Yibo pun sudah berkali-kali merencanakannya dengan meminta ijin darinya. Berulang kali. Dan itu membuatnya ingin memukul kepala sang kekasih berkali-kali.
Bisakah sabat dulu? Mereka masih tahap perkenalan. Tidak usah terburu-buru melakukan hal-hal yang lebih jauh seperti itu.
"Aku ini kekasihmu, lhoh, Ge. Kenapa sering dipukul, sih?"
"Biar otakmu bersih dan tak kotor."
"Iya...iya..." Lalu, ia pun menyeringai, "tapi boleh kan minta cium lagi?"
Yibo memang tak ada sopan-sopannya, belum juga ia menyetujui permintaannya, pria tersebut telah menciumnya.
Xio Zhan hampir saja terkena serangan jantung saat ia merasakan lidah pria itu menerobos paksa untuk masuk ke dalamnya.
Pria yang memiliki tahi lalat di bawah bibirnya itu pun, mendorong tubuh sang kekasih, tapi malah ditangkap langsung, untuk diletakkannya di pundak pria yang lebih muda darinya itu.
Sialan si Yibo ini. Bagaimana bisa dia bisa sangat ahli dalam hal seperti ini? Apa karena dia sangat merindukan waktu bersama dengannya sehingga bisa seperti ini?
"Yibo –"
Baru juga lepas, belum ada 1 detik, pria itu kembali menciumnya seakan-akan di hari besok, mereka tak bisa berciuman.
"Cukup Yibo –"
"Masih belum."
Dan mereka terus seperti itu dan tak menyadari bahwa di luar juga ada orang yang masih duduk-duduk di cafe Xiao Zhan.
Duh...
Bagaimana kalau ada pelanggan yang meminta pesanan lagi? Yibo memang tidak melihat situasi sama sekali.
"Sudah. Cukup. Apa kau tidak takut ada orang yang masuk?"
Xiao Zhan memicingkan sebelah alisnya saat pandangan Yibo mulai berubah saat menatap dirinya. Seperti tatapan....lapar?
"Tu-tunggu, Yibo –"
"Ge, apa kau tega? Menidurimu tidak boleh, berciuman tak boleh juga?"
Pada akhirnya, mereka pun kembali berciuman dengan Xiao Zhan yang ditekan ke tembok dapur kecil itu. Sungguh, dirinya sudah sesak sebenarnya. Xiao Zhan juga merasa bibirnya telah bengkak.
"Gege."
Tunggu. Apa Xiao Zhan mendengar suara anak kecil? Apa dirinya sudah mulai berhalusinasi karena sulit bernapas dengan ciuman Yibo yang bertambah dalam.
"Kalian sedang apa?"
Tidak.
Dirinya tidak berhalusinasi, memang ada suara anak kecil. Karena dirinya yang sudah sadar, Xiao Zhan pun mendorong kedua bahu Yibo dengan keras hingga ciuman mereka terlepas. Kepalanya langsung ia tolehkan ke kiri dan terkejut.
"Harry?"
Mendengar itu, Yibo yang tadi menunduk dan hendak mencoba mencium kekasihnya, langsung menoleh ke arah di mana Xiao Zhan sedang menatap. Betapa terkejutnya ia melihat anak semata wayangnya berdiri mematung sambil melihat ke arahnya dan Xiao Zhan.
Oh, tidak!
Ini tidak baik sama sekali.
"Papa tadi ngapain, Gege?"
"Papa?!" Ini bukan suara Yibo, melainkan Xiao Zhan yang bingung dengan ucapan Harry tadi. Dia memandang Yibo dan memanggilnya Papa? Apakah dirinya sedang salah mendengar.
Anak itu pun berjalan mendekat ke arah 2 pria dewasa itu, tapi Yibo malah mundur, seakan-akan anaknya itu adalah seorang monster.
"Tadi aku ingin kue sebelum ke kantor Papa. Di pintu tulisannya tutup, tapi tak dikunci. Kata bibi-bibi di depan, Gege ada di dapur."
Xiao Zhan segera mengelap bibirnya yang tadi ada sisa saliva kekasihnya, lalu maju selangkah untuk berbicara dengan anak bule itu. "Ugh...Harry ke sini sama siapa?"
"Papanya temenku. Eh, ada Papa ternyata di sini. Tadi Papa dan Gege sedang ciuman, ya?"
Papa.
Siapa lagi yang Harry sebut Papa selain Yibo karena dia tahu sendiri bahwa Harry memanggilnya Gege. Ada apa ini?
Bukankah Yibo tidak memiliki kekasih ataupun isteri? Kenapa ada anak, yang adalah pelanggan setianya, anak yang membuatnya suka karena manisnya, tiba-tiba datang dan memanggil kekasihnya dengan sebutan 'Papa'.
"Papa?"
"Iya, Ge. Itu Papa aku. Apa Gege dan Papa sahabatan?"
Xiao Zhan menoleh ke belakang, melihat Yibo yang masih diam berdiri mematung seperti orang linglung. Ia butuh penjelasan. Tidak nanti, tidak besok. Ia harus dapat penjelasan itu sekarang.
Tanpa berucap pada sang kekasih, Xiao Zhan mengambil lengan Harry dan membawanya keluar. Sebelum ia membuka pintu dapur, ia berkata, "tunggu di sini."
Ternyata 5 menit kemudian sang kekasih benar-benar kembali ke dapur tanpa adanya Harry. Wajahnya sudah keruh seperti menahan marah.
Yibo yang tadinya sedang duduk di lantai, langsung berdiri saat Xiao Zhan menghampirinya.
"Ge, jangan marah dulu. Aku akan jelaskan sejujur-jujurnya."
"Kenapa tidak jujur dari awal? Dari sebelum kau mengencaniku."
Yibo menunduk, kini ia tidak tahu harus berkata apa. Mau mengatakan Harry bukan anaknya? Kejam sekali. Padahal Harry adalah anak kesayangannya yang ia besarkan dengan segenap jiwa. Tapi untuk jujur pada orang yang sedang ia cintai, sungguh berat.
"Aku memang pernah menikah."
Akhirnya Yibo bersuara, setelah mendengar napas Xiao Zhan memberat dan terlihat bibir bawahnya sedikit bergetar.
"umur 17 tahun, aku menghamili seniorku. 18 tahun umurku, Harry lahir." Lanjut Yibo. Ia masih tak tega melihat Xiao Zhan karena sekarang pria itu malah menangis dan ia tahu, setelah ini, dirinya yang akan menangis.
"Aku bercerai dengan Mamanya Harry 7 bulan lalu. Ketika pengadilan Amerika memutuskan pernikahan kami, Harry kubawa ke sini karena hak asuhnya ada padaku."
"Dan aku baru tahu ini sekarang?"
"Maaf." Dengan berani, Yibo pun maju untuk mendekati sang kekasih yang kini masih mengeluarkan air mata, "aku hanya belum siap untuk menceritakan ini."
"Katanya kau akan jujur padaku. Tapi apa? Kau bahkan sudah terbukti bohong sebelum hubungan kita terjalin selama sebulan."
"Ge..."
"Aku ini apa, Yibo? Aku siapamu? Jika mencintaiku, tak ada kebohongan. Apa kau mengerti?"
Pria itu tak menjawab, ia kembali menunduk dan menyesali semuanya. Ya, harusnya ia jujur dari awal. Tapi dia takut jika Xiao Zhan tak menerima statusnya.
"Aku takut, kau tak menerima statusku jika aku menceritakannya dari awal –"
"apa itu mengubahmu menjadi pria single tak memiliki anak?"
"Maaf." Ia mendorong anakan rambutnya dengan frustasi dan kedua matanya kini memerah,"maaf, Ge, tolong maafkan aku."
"Kau tidak mencoba jujur padaku, Yibo. Itu yang membuatku kecewa."
"Ge..."
Xiao Zhan langsung melipat kedua tangannya, saat Yibo hendak meraihnya. Ia sedang marah padanya, untuk disentuh sedikit saja, Ziao Zhan merasa kesal.
"Ge, kita masih bersama, kan?"
Bukannya menjawab, pria manis itu malah mengusap matanya yang berair. Kepalanya tak ia hadapkan pada Yibo dan tak ingin menatap wajah dari orang yang membohonginya.
"Aku ingin sendiri dulu. Silakan pulang. Harry sedang makan kue di depan."
"Ge –"
"Silakan keluar."
Entah kenapa, Yibo tidak berani lagi untuk mengatakan apapun. Ia pun menurut, keluar dari dapur dan kedua matanya langsung mencari anaknya.
Di sana, Harry sedang makan sendirian. Ia sebenarnya sedikit marah dengan sang anak. Padahal tadi ayahnya Guocheng bilang, ia mengatakan kepada Harry untuk menunggu di lobby. Kenapa bisa ada di sini?
Dan kenapa Harry dan Xiao Zhan bisa saling kenal?
"Harry, pulang." Ucapnya dingin pada sang anak yang masih menyantap kue-kuenya.
"Nanti."
"Sekarang!"
"Nantiiii!"
Tidak ingin menunggu lagi, Yibo pun memaksa anaknya dengan cara menggendong tubuh sang anak pada dekapannya.
Ia pun merogoh kantong celananya dan meninggalkan beberapa lembar uang di atas meja. Sementara tangan sebelahnya lagi, masih mendekap anaknya yang kini meronta.
"Harry mau makan kue. Tidak mau pulang!"
Yibo tak menanggapinya, ia terus berjalan keluar cafe sembari membawa anaknya yang kini menangis karena Yibo menegurnya dengan keras hingga dua pengunjung tersisa, memandang mereka dengan tatapan aneh.
Dari balik pintu dapur, ternyata Xiao Zhan melihat Yibo dan Harry. Ia masih tidak percaya dengan semua ini.
Ternyata anak yang selalu datang ke cafenya adalah anak dari kekasihnya. Takdir sungguh kejam. Sudah sedekat itu, kenapa baru tahu dengan cara semenyakitkan ini?
Ia tidak marah dengan fakta bahwa Yibo memiliki anak. Ia hanya marah, kesal dan merasa tak dihargai oleh Yibo karena selama ini tak jujur.
"Sekarang, aku harus bagaimana, Yibo?"
.
.
Tbc
Akhirnya telur kedua pecah. Jadi, gimana selanjutnya? Apa YiZhan putus terus udah end gitu aja? Author juga nggak tahu.
Vote dan komen dulu, dong!
Akhir kata,
Arigatchu~ :*
Btw, di sini ada yang punya grup chat kumpulan YiZhan Shipper gitu?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top