Granny
Lampu kecil yang tergantung di ruangan kotor nan gelap itu bergoyang saat angin berembus masuk melalui ventilasi. Di tengah ruangan tersebut, terlihat seorang gadis terbaring tak sadarkan diri. Jarinya terlihat bergerak, menandakan masih ada nyawa pada tubuh pucat tersebut. Dira perlahan terbangun dengan sakit kepala luar biasa, embusan napasnya menyebabkan debu di lantai tempatnya terbaring berterbangan, membuat gadis berambut pendek itu terbatuk-batuk. Dira memegangi kepala saat sakit yang ia rasakan bertambah berkali lipat.
"Kau sudah bangun?" Dira terkesiap oleh suara yang tak ia kenal.
Netra hitamnya mencari di antara kegelapan, sebelum bertemu sosok pemuda asing duduk bersandar pada dinding kayu menatap datar ke arahnya. Dira menyeret tubuhnya mundur perlahan, napasnya tercekat saat ia menyentuh tubuh orang lain di belakangnya, menyebabkan gadis itu menghambur ketakutan.
"Kau tidak perlu takut dengan kami." Dira kembali dikejutkan oleh suara baru yang berbicara padanya-kali ini seorang perempuan yang berdiri di sudut lain ruangan gelap tersebut. Dia memastikan kalau kedua--tidak, tiga--ketiga orang asing itu tetap terlihat, Dira tak mau mencari tau apa yang akan mereka lakukan padanya jika ia membiarkan dirinya lengah.
Dia berlari, menyambar pintu dan berusaha membukanya, tapi seketika diliputi kepanikan saat menyadari dirinya terkunci bersama tiga orang asing ini. Dira histeris, menggedor-gedor pintu sekuat tenaga sambil berteriak agar seorang membukanya.
"Keluarkan aku dari sini!"
Seorang menyambar tubuh Dira dari belakanh dan menutupi mulutnya. Dira berusaha meronta. Namun tak mampu melepaskan diri.
"Diam! Apa kau sudah gila?" Bentak laki-laki tersebut.
Tubuh Dira bergetar dikuasai ketakutan, dia ambruk dan memeluk tubuhnya ketika laki-laki tadi melepaskannya.
"Jangan biarkan dia mendengarmu!" lagi-lagi lelaki itu berbisik-membentaknya.
Dira menyadari dua orang lain yang bersamanya terlihat tegang. Dia menutup telinga dengan kedua tangan dan menutup mata rapat-rapat, berharap ini semua hanyalah mimpi buruk.
"Cukup, Rian! Apa kau tidak lihat kalau dia sangat ketakutan?" bentak wanita tadi sebelum mendekati Dira. "Hei, namaku Linda, seperti yang kubilang tadi, kau tidak perlu merasa takut pada kami." Linda membangunkan tubuh Dira dan tersenyum, walau senyumnya tampak sedikit dipaksakan. "Siapa namamu?" tanyanya lembut.
"D-Dira."
"Kamu ingat hal terakhir yang terjadi sebelum ini?" tanyanya lagi.
Dira mencoba berfikir, mengingat apa yang terjadi sebelum dia terbangun di tempat ini.
"Aku ... aku tidak ingat." Tangisnya.
"Ok--" kata-kata Linda terhenti ketika suara langkah kaki terdengar, mata gadis itu membulat sebelum menyeret Dira ke sudut ruang dan mengisyaratkan padanya untuk diam.
Pintu kayu itu terbuka, dan seorang wanita tua masuk dengan sebuah tongkat kayu berlumuran darah yang ia seret di belakangnya.
Dira hampir saja berteriak jika saja bukan karena tangan Linda yang menutupi mulutnya. Matanya bertemu dengan netra cokelat Linda yang seolah memohon padanya untuk diam. Wanita tua itu berjalan sedikit terseok, kulit keriputnya tampak berwarna abu-abu, beberapa bagian terlihat terkelupas, bahkan beberapa bagian rambut putihnya terjuntai bersama kulit kepala yang hampir lepas dari kepalanya.
Air mata Dira menetes. Makhluk apa yang ada di hadapannya ini?
Wanita itu berbalik ke arah di mana dia dan Linda berada, tubuh Dira mematung melihat mata abu-abu wanita tua itu, ia tampak buta. Wanita itu bergumam sebelum beranjak keluar, menyeret tongkat kayunya tersebut.
Dira melepaskan napas yang ia ia tidak sadar telah tertahan.
"Si-siapa itu?" tanyanya terbata.
"Itu nenek." Dira menatap Linda datar.
"Nenek siapa? Apa maksudmu? Kenapa aku ada di sini?"
"Ssttt!" Dira menatap pria yang melihat tajam padanya. "Apa kau berusaha membuat kita semua terbunuh?" Mata Dila membulat.
"Kamu gak perlu takut, kita hanya perlu mencari jalan keluar, dan kita cuma punya tiga hari untuk itu." Jelas Linda.
"Apa yang akan terjadi jika tiga hari telah habis?" tanyanya pelan.
"Mari kita berharap itu tidak terjadi." Dira menatap Linda, tak memahami apa yang dia maksud.
"Peraturannya jelas, kita harus menemukan jalan keluar sebelum waktunya habis atau wanita itu akan menghabisi kita." Rian menimpali, membuat Dira membelalak. Gadis itu tampak seperti akan muntah.
"Dan pastikan dia tidak mendengarmu," tambah pemuda yang lain. "Oh, namaku Rio."
"Dan sekarang apa?" tanya Dira.
"Sekarang kita mulai bermain." Dira menatap gadis di sebelahnya seolah dia sudah kehilangan akal sehat.
---
Dira mengamati Rian yang mengintip ke luar pintu, sebelum memberi aba-aba pada mereka bertiga untuk mengikuti. Keempatnya keluar, mendapati diri mereka di lorong gelap dengan hanya bercahayakan sebuah lampu kecil yang hampir tak menyokong cahaya sama sekali. Mereka memilih arah kanan dan melalui lorong sempit yang seakan tak habis-habis.
Beberapa menit berlalu sebelum mereka mendapati beberapa pintu, mereka mendekati pintu yang berada paling dekat dan mencobanya, terkunci.
Mereka bergantian mencoba masing-masing pintu sebelum satu di sisi kanan terbuka. Mengamati keadaan, Rian mengangguk kan kepala pada ketiga rekannya. Mereka berada di sebuah ruangan cukup besar, di hadapannya terdapat sebuah tangga.
Menuruni tangga tersebut hati-hati, Dira menyadari mereka berada di tempat yang tampak seperti ball room. Matanya mengedar mencoba menebak kemana harus pergi dari sini. Tiba-tiba, sebuah jeritan parau terdengar di belakangnya. Dira menoleh, melihat 'nenek' berlari ke arahnya dengan mata tidak fokus, tongkat kayu terangkat siap diayunkan. Dira menjerit, tak memiliki tenaga untuk berlari sebelum sebuag tangan menariknya.
Rian menyeretnya melewati ruang demi ruang dengan nenek gila itu mengejar mereka. Dira histeris, dia juga menyadari dua temannya yang lain tidak ada di belakang mereka. Mereka berakhir di sebuah bilik sempit tanpa penerangan. Keduanya bersembunyi di balik tumpukan kotak kayu.
Aroma menyengat membuat Dira hampir muntah. Nenek tersebut melalui kamar tempat mereka bersembunyi dan terus melaju sambil tertawa serak.
Rian kembali menariknya, berlari ke arah berlawanan dari tempat nenek tersebut.
Suara teriakan terdengar, Dira melihat 'nenek' tersebut mengayunkan tongkat kayunya pada kepala Linda, menyebabkan darah segar berhamburan menyebabkan gadis itu tersungkur.
Dira mencoba mengejar, hendak menolong tapi Rian lebih dulu menari tangannya berlari ke arah berlawanan.
"Linda! Rian tunggu!" Nenek tersebut menghentikan pukulannya yang membabi-buta dan menoleh ke arah suara Dira, gigi-gigi hitam terlihat saat dia tertawa.
"Aku bisa melihatmu."
Mata Dira membulat, berlari bersama Rian, dia sesekali menoleh ke belakang melihat 'nenek' tersebut mengejar mereka. Bagaimana mungkin wanita setua ini bisa memiliki tenaga begitu besar?"
Mereka melewati pintu, tawa nenek tadi masih terngiang-ngiang di telinga. Sebuah pintu kayu terlihat di depan mereka, cahaya tampak dari celah-celahnya.
Keduanya saling bertatapan. Hanya beberapa meter saja dan mereka mungkin bisa keluar.
Nenek tersebut semakin dekat.
"Maaf," ucap Rian tiba-tiba.
"Apa mak-" pertanyaan Dira terputus saat Rian tiba-tiba mendorong tubuhnya kuat, menyebabkannya jatuh terduduk. Dia menatap Rian dengan mata membulat.
"Maaf, tapi hanya satu orang yang boleh keluar." Rian berlari ke arah pintu, meninggalkan Dira yang mematung di lantai.
Dira mendengar langkah kaki tertatih di belakangnya, suara kayu terseret mengikuti. Dia melihat Rian yang mencoba membuka pintu tersebut, tapi tampak tidak bisa.
Bayangan hitam muncul di belakang Dira yang masih mematung, menatap ke atas, dia melihat nenek gila itu mengangkat tongkat kayunya, suara jeritan Rian yang tak berhasil membuka pintu terdengar di telinganya.
'hanya satu orang yang bisa keluar.' kalimat Rian terngiang di telinga. Rio tidak bersama mereka.
Pukulan keras menghantam kepalanya, tubuh gadis tersebut sontak menggelepar tak terkendali, pukulan demi pukulan menghujani kepalanya, menyebabkan cairan otaknya berhamburan. Tubuhnya terkulai tak bernyawa, tawa parau wanita tua itu terdengar di antara suara tulang tengkoraknya yang hancur.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top