bab 9 : cafe time

FAVOMPIRE.




tepat ketika dosen mengakhiri kelas, bian segera merapikan alat tulisnya dan memasukkan ke dalam totebag cokelat miliknya. sebelum keluar kelas, bian kembali memeriksa ponselnya untuk memastikan lagi tidak ada pesan masuk baru dari juan.

benar. bian akan menemui juan untuk melihat langsung dengan kedua matanya sendiri bagaimana kondisi lelaki itu setelah memakan cilok yang ia beli.


juan
gue udah di depan ruang rapat bi


ruang rapat organisasi fakultas teknik, yang kemarin menjadi tempat kumpul anggota kelompok, hari ini menjadi titik temu antara juan dan bian.

gadis itu mempercepat langkahnya kala mendapat pesan baru dari juan. harap-harap cemas menemui. dalam bayangannya, wajah juan akan terlihat sangat pucat dengan mata sayu dan bibir yang kering.

"bian!"

juan menyapa dengan lambaian tangan dan senyum cerahnya. panggilan itu membuat bian berlari kecil mendekati juan.

"kok lo udah ngampus aja, sih?!" datang-datang langsung menyemprot dengan pertanyaan galak. siapa lagi kalau bukan bian.

juan tertawa. bayangan dari kepala bian benar adanya. wajah juan yang hari-hari biasanya sudah terlihat putih agak pucat, kini semakin pucat dengan bibir keringnya. "gue gapapa. lo kenapa panik banget," jawab juan masih dengan tawa ringannya.

"oh, sama bian."

bukan hanya juan yang menoleh, tapi bian juga. kehadiran suara yang juan kenali—suara lino. "pacaran ya lo berdua?" tanyanya dengan tatapan jahil.

"lah pak ketu," ujar bian. "engga, ya, tolong. jangan buat rumor."

"terus ngapain lo berdua ketemuan?"

"gue sama bian satu kelompok kewirausahaan." juan yang menjawab.

lino mengangguk paham meski wajahnya tetap tak bisa berbohong kalau sebenarnya ia masih belum bisa mempercayai. "oh, gitu. oke lah, walaupun agak sus."

"sus?" tanya bian. lino hanya mengendikkan bahu, tak ingin membalas lagi.

"ini mau depan pintu terus?" tanya bian yang mulai merasakan pegal di kakinya. "cari tempat duduk, yuk? juan lagi sakit pasti pusing kelamaan diri."

"LAH SAKIT APA LO?" lino sontak berteriak. telapak tangannya memeriksa kening juan, memeriksa suhu lelaki itu. juan terkejut bukan main kala keningnya disentuh tanpa izin dan aba-aba. di samping itu, lino pun ikut terkejut. keningnya mengerut, lino berusaha mengendalikan wajahnya agar terlihat biasa saja.

dingin banget, gila.

"wah, iya. masih sakit lo." meskipun kalimatnya terdengar santai, kepala lino tetap ramai pertanyaan mengapa kulit temannya itu terasa sangat dingin. diam-diam lino memegang lengan tangannya, bisa saja suhu tangannya yang terasa panas makanya kulit juan menjadi terasa sangat dingin ketika ia sentuh. tapi ternyata tidak. suhu lelaki itu normal saja. bahkan lino sampai pura-pura menyenggol lengan bian, rupanya tetap terasa biasa saja, suhu pada umumnya.

ah, rempong banget lo, no, mikirin hal nggak penting kayak gini.

"ke cafe seberang kampus aja, gimana?"

lino setuju, mau tidak mau juan pun ikut mengangguk setuju. untungnya ia sudah membawa botol minum isi olahan darah sebagai bekal. jadi ada alasan untuk menolak memesan menu cafe.

di gerbang fakultas teknik bagian pintu keluar, bian melihat seorang gadis yang perawakannya mirip jihan sedang berdiri dengan kepala menunduk memainkan layar ponselnya. lalu ketika semakin dekat, benar jika gadis itu adalah jihan.

"jihaaannn!!!" teriak bian, berlari kecil mendekati jihan. "lo ngapain depan fakultas gue?"

"ih kok?" jihan menatap bian heran, memukul pelan lengan bian. "kan tadi ngajak pulang bareng?"

"lah, iya, HAHAHA." seperti tanpa dosa, bian tertawa geli ketika baru mengingat bahwa memang benar tadi malam ia yang mengajak jihan untuk pulang bersama karena kelas yang berakhir pada pukul sama. selain itu mereka ingin mampir ke suatu toko juga karena ingin membeli kebutuhan skincare yang nyaris habis. "sorry, ya, gue lupa."

"terus ini kalian bertiga mau kemana?"

"ke cafe depan. ikut, ngga?"

"ikuuut!"










——————————————————











"HAHAHAHA ANJIR JUAN!" tawa lino pecah ketika bian menceritakan insiden cilok yang berakhir membuat juan sakit. begitu juga cerita juan ketika para abangnya khawatir dan menasihatinya yang membuat perut ketiga orang di dekat juan terasa geli. 

suasana ketiganya sudah tidak canggung lagi, seperti sebuah sirkel yang sedang kumpul bersama. walau awalnya jihan masih diam saja karena bisa dibilang orang baru diantara lino dan juan, tetapi kini sudah bisa berbaur. topik apa saja mereka bicarakan, dari urusan kuliah sampai pergibahan.

"tapi seriusan lo gak separah itu, kan?" tanya bian memastikan lagi. juan mengangguk dan tersenyum tipis. "kuat gue mah. kemarin karena alergi aja kayaknya."

"alergi cilok?"

alergi makanan manusia, bian.

"alergi tepung kata dokter."

ketiga orang itu melotot mendengarnya, namun reaksi lino yang paling berlebihan. "nggak bisa makan gorengan dong?" tanyanya. gorengan satu-satunya yang terbesit di pikiran lelaki itu. tersiksa banget pasti gak tau enaknya gorengan.

juan tersenyum samar, salah satu ujung bibirnya naik sedikit. “nggak.”

“pantes aja kulit lo kayak sehat banget gitu, putih mulus. ternyata gak pernah makan gorengan.” bian meratapi piring di depannya, ia memesan menu ringan roti goreng dari cafe yang mereka datangin. cafe sederhana langganan para mahasiswa untuk sekedar mengobrol dengan temannya atau mengerjakan tugas. selain WiFi yang terpasang, harga menu di sini sangat sesuai dengan kantong mahasiswa yang pas-pasan.

btw, lo gak mau pesen apa-apa?” tanya bian yang melihat juan hanya minum dari botol minum hitamnya.

“gak, gue masih belum boleh makan sembarangan.”

“emang gak laper?” tanya jihan. juan menggeleng.

“itu botol minum lo isinya apa, sih? air putih?” tanya lino. namun ketika menyadari ada warna merah muda yang tertinggal di bibir atas juan, lino langsung meralat pertanyaannya. “eh, bukan. bukan air putih kayaknya.”

mata juan melebar samar mendengar lino berkata seperti itu. buru-buru mengusap bibirnya dengan telapak tangan sisi atasnya. “ah, ini. jus stroberi yang udah dicampur obat-obatan herbal dari dokter.”

hampir dua jam sudah di cafe, lino pamit duluan untuk pulang karena harus pergi ke rumah neneknya. sementara juan masih menunggu dean datang untuk menjemputnya.

“abang lo udah di jalan?” tanya bian. juan mengangguk. “udah dari tadi, bi. paling bentar lagi sampe.”

“oh, okei.”

“lo seriusan nungguin gue sampe dijemput? padahal kalo mau pulang duluan, pulang aja.”

“ngeri, ah. lo harus pindah tangan dulu ke abang lo. takut tiba-tiba pingsan kalo lagi gak ada yang jaga, gimana?”

juan tertawa, gemas sekali gadis di hadapannya. “lo lucu banget.”

bian kayak; ???

“abang gue udah sampe di depan. ayo,” ujar juan setelah mendapat telepon masuk dari dean yang tak ia angkat. tidak menyadari bahwa wajah bian memerah karena perkataannya.

bian dan jihan menemani juan sampai bertemu dengan abangnya. seorang lelaki dengan setelan kemeja berdiri tepat di depan mobil hitam. juan berjalan menghampiri, bian sedikit takut jika abangnya juan akan bersikap dingin seperti abang satunya yang kemarin menghampiri dirinya di kampus.

“bian, ya?”

kaget, astaga. kok kenal.

“saya? iya, kak, hehe.”

syukur deh kalo ramah.

“pulang naik apa? sekalian aja kita anter,” tawar dean. “temennya juga,” lanjut dean melirik jihan.

juan melirik dean, berusaha membaca ekspresi wajah lelaki itu. takut jika ada rencana buruk dibalik tawaran yang diajukan. tapi biasa saja, wajah dean menunjukkan wajah ramah yang murni memang mau menawarkan kebaikan. tiba-tiba kaca mobil turun, kepala harsa menyembul dari dalam.

“kok lo ikut?!” tanya juan kaget. nadanya sedikit tinggi.

harsa menyengir. “hehe, gak suka?” wajah si bungsu memang terlihat ceria, tapi nada suaranya menyebalkan.

“gimana? mau?”

jihan menyenggol lengan bian, kode untuk menyetujuinya. lumayan tumpangan gratis, tidak perlu jalan kaki menuju kosan. tidak ada jalur angkot yang bisa masuk. bian menoleh, menatap jihan. kemudian mengangguk, menyetujui tawaran dean.

jihan - bian - juan. begini urutan duduknya. duduk berdekatan gini membuat juan harus menahan rasa hausnya berkali-kali lipat. darah istimewa bian tercium sangat manis dalam indera penciumannya. sangat manis. manis sekali. juan memejamkan matanya pura-pura hendak tidur.

bukan hanya juan, tapi dean dan harsa pun di kursi depan berusaha kuat menahannya. apalagi ruang mobil sangat terbatas, udara hanya berputar pada satu tempat. bau manis dari darah istimewa bian hanya tertutupi sedikit dari ac mobil yang dikasih pengharum rasa kopi.

harsa yang duduk di sebelah dean diam-diam melihat ke kursi belakang melalui kaca spion di kursi depan. menatapi bian dan jihan bergantian. ketika bian tak sengaja melihat ke arah kaca dan tatapan mereka tidak sengaja bertemu, harsa langsung mengalihkan pandangan ke arah lain.

sampailah mereka di depan kosan tempat di mana bian dan jihan tinggal. kedua gadis itu turun dan mengucapkan terima kasih. baru masuk ke dalam kos ketika mobil juan sudah hilang dari pandangan.

harsa bernapas lega, menghembuskannya dengan kuat, seperti sejak tadi menahannya. dean menoleh. “lo kenapa, bocil?”

“bukan cuma bian yang punya darah istimewa.”

juan yang masih memejamkan mata langsung membuka dan mencondongkan badannya ke kursi depan di mana harsa duduk. “maksud lo apa?”

“tunggu,” ujar dean terkejut. “jangan bilang ...”

“temennya bian juga, bang.”





to be continue.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top