bab 10 : remaining time

FAVOMPIRE.




ruang tamu yang luas dan tidak terlalu remang menjadi tempat berkumpulnya sembilan anggota keluarga neozen pada malam hari ini. pembahasan mengenai perkembangan juan dan jaydan dalam misi utama yang telah ditunggu-tunggu selama setengah abad. jonathan sebagai kakak dan yang dipercaya ayah untuk menjadi penanggungjawab segera membuka pembicaraan.

“ini udah masuk ke tiga bulan, gimana perkembangannya?” tanya jonathan menatap juan dan jaydan bergantian. “jaydan gimana?”

“udah banyak kesempatan sebenarnya,” jawab jaydan, kemudian melirik juan dengan tatapan tajam. “tapi sama juan digagalin terus.”

juan merasa bahwa ia mulai terintimidasi oleh tatapan lain. “bukan gagalin, tapi waktunya yang gak tepat.”

“butuh berapa lama lagi, juan?” tanya theo dengan nada sedikit tegas.

harsa diam-diam tertawa, sudah tau betul bahwa percakapan ini akan terjadi. kebetulan marvin di sebelahnya, harsa membisikkan sesuatu.

“fix ini bang juan naksir kak bian.”

marvin membulatkan matanya. mendekatkan mulutnya di telinga harsa, membalas bisikan dari adik bungsunya itu. “serius ini naksir beneran?”

“ya iya, masa bohong.”

yaaa ... who kno. kali aja suka main-mainan aja?”

“taruhan sama gue abis ini bang juan minta perpanjangan waktu.”

marvin tak membalas lagi, harap cemas apa yang dikatakan harsa benar akan terjadi. matanya menelisik tiap ekspresi yang berubah samar pada wajah juan. marvin paham, sangat paham betul bahwa melibatkan perasaan akan menjadi pilihan yang sulit. meski lelaki yang termasuk golongan bungsu itu belum pernah melibatkan perasaan ketika misi masih berlangsung, namun ia sangat paham bagaimana rasanya ketika dihadapkan pilihan sulit ini.

melindungi

atau,

merelakan.

“tolong kasih tambahan waktu lagi.”

walaupun awalnya marvin menyangkal, tapi ia tau bahwa apa yang dikatakan harsa memang akan terjadi. ia menoleh, mendapati harsa yang tertawa tanpa suara dengan sombongnya. lihat, vin, bener kan kata gue.

“lo gila—”

“diam, yuka,” tahan jonathan melihat yuka yang berdiri hendak menarik kerah baju juan. “kasih alasan kenapa harus?”

juan memejamkan mata, berpikir keras jawaban apa yang harus ia berikan dengan tepat agar para saudaranya mempercayai dan mau memberikan waktu tambahan. apakah ia harus jujur karena ingin memiliki kesempatan sekali lagi untuk menghabiskan waktu dengan baik bersama gadis yang ia sukai, atau harus berbohong dengan alasan yang lebih logis? misalnya mengenai waktu eksekusi yang lebih tepat, yaitu ketika liburan semester saja, di mana kampus tidak akan mengetahui jika ada mahasiswa-nya yang menghilang.

atau ... keduanya dipadukan?

apakah saudaranya akan mengerti mengenai perasaan juan? perasaan ketika seorang vampire jatuh cinta terhadap mangsanya?

tanpa juan sadari matanya mulai berkaca. merasa sangat frustasi akan takdir yang begitu jahat. kenapa juga ia harus terlahir sebagai seorang vampire? kenapa juga seorang vampire ditakdirkan memiliki perasaan cinta layaknya manusia? dan kenapa ... kenapa ini harus terjadi kepadanya?

satu-satunya anggota vampire di antara sembilan bersaudara ini diam-diam tersenyum miring. hanya dia yang memiliki kemampuan spesial mendengar isi kepala dan hati.

“tunggu liburan semester, tiga bulan lagi,” ujar juan setelah membuka matanya. yakin akan jawaban yang telah ia susun di kepala. lantas juan melanjutkan jawaban singkatnya agar tidak terjadi kesalahpahaman.

lelaki itu gelisah, padahal tadi sudah yakin akan mengatakan.“dan juga ...,”

“juga?”

“gue mau habisin waktu yang tersisa sekali lagi bareng bian.”















—————————————————————










bulan keempat;
bang, kiri!



“bian, mau langsung pulang?”

juan menghampiri bian yang tengah siap-siap untuk pulang. keduanya menjadi deretan orang terakhir yang masih berada di ruangan usai kumpul membahas proyek kerja utama tugas mata kuliah kewirausahaan.

bian menoleh, melihat juan membantu angkut plastik sampah bekas jajanan pinggir jalan miliknya untuk dibuang ke tong sampah depan nanti. “iya, langsung pulang,” jawabnya.

“naik apa?”

“angkot bentar terus jalan.”

kebetulan sekali juan sama sekali belum pernah mencoba naik angkutan umum yang satu itu. menjadi golongan vampire kaya raya membuat ia dan saudara lainnya enggan untuk engap-engapan di angkutan umum yang terkenal baru jalan kalau kursi penumpang sudah penuh berdempetan. selama ratusan tahun juan hanya menggunakan mobil milik keluarga atau menggunakan kekuatan lari secepat kilatnya ketika malam hari. selain itu untuk kereta, pesawat, online-car, dan sepeda sudah juan coba.

“ayo gue anter.” mirip seperti tawaran mutlak yang tidak boleh ditolak.

“gak. bolak balik, mending lo langsung pulang.”

“gue belom pernah naik angkot, elah, bi.” juan berusaha membujuk gadis itu dengan rengekan samar. “ayo dong. ya, mau, ya?”

mendengar itu jelas sangat terkejut. zaman sekarang masih ada yang belum pernah naik angkot?

pada akhirnya bian dan juan berakhir di angkot biru tua nomor dua puluh lima yang untungnya sedang tidak penuh penumpang. hanya ada dua penumpang lain yang duduknya agak berjarak dengan mereka.

“seru ya pulang bareng berdua gini.” bian diam saja mendengar juan mengatakan ini. “tiap jam pulangnya bareng, gue temenin gini mau gak, bi?”

“lo kenapa deh, aneh. gak usah, ah, kasian lo-nya jadi bolak balik.”

“gak akan ada yang marah, kan, kalo gue gini?”

“bang, kiri!”







—————————————————————








bulan kelima;
pengakuan

setelah sebulan penuh juan mengeluarkan effort lebih untuk dekat dan meluluhkan gadis itu, juan pikir perasaannya harus segera tersampaikan. maka malam ini juan berdiri dengan canggung tepat di hadapan bian yang lebih merasa canggung.

“lo ngajak gue ke sini malem-malem cuma buat diem-dieman?” tanya bian sedikit jengkel. “kelamaan entar gue masuk angin.”

juan melepas jaket yang ia pakai dan melampirkan menutupi tubuh bagian depan gadis itu.

“gue nyesel kenal sama lo.”

dan itulah yang terujar. alis bian mengkerut tidak suka. “lo apaan deh—”

“gimana ya hapus perasaan sayang gue ke elo?” tanya juan pelan, mengajukan pertanyaan yang ia harap tak perlu bian dijawab. “takut banget nyakitin lo.”

“juan.”

lelaki itu mengabaikan ketika bian menyebut namanya. juan bingung sekali berada pada situasi ini. entah siapa yang harus dikorbankan. entah siapa yang harus mengalah.

“gue cuma utarain perasaan,” ujar juan dengan cepat, senyumnya muncul. berusaha menghilangkan canggung yang menyelimuti. “gak perlu lo jawab atau bales.”

“maaf, juan. lo tau apa jawaban gue.”

juan mengangguk, mengacak pelan surai hitam bian. “iya, gue ngerti. jangan canggung, ya. harus tetep temenan.”

“iya.”

“jangan menjauh. seenggaknya sampai akhir semester nanti.”









—————————————————————





bulan keenam;
lo percaya gak?



“lo percaya gak sama makhluk selain manusia?”

bian mengangguk. “percaya lah. hewan kan termasuk makhluk.”

“maksud gue kayak manusia serigala, penyihir, atau vampire gitu.”

lagi dan lagi juan bertingkah aneh. tiga bulan terakhir juan mendekatinya dengan intens, bian pikir itu adalah cara juan untuk meluluhkan hatinya. tapi terkadang juan membicarakan hal-hal yang membuat bian bingung harus menanggapi seperti apa. selama kurang lebih enam bulan dekat dengan juan, bian juga belum pernah melihat laki-laki itu makan atau minum apapun—kecuali minum dari botol minum yang dibawa lelaki itu.

“antara percaya sama enggak,” jawab bian. “mungkin ada, tapi mereka punya dunianya sendiri. jauh dari manusia.”

“gimana kalo sebenernya kita saling berdampingan?”

“kita?”

eh, anju, bego banget juan. “maksud gue, manusia sama makhluk selain itu.”

“ya bisa aja, sih. selagi gak membahayakan menurut gue gak apa.”

tapi lo incaran keluarga gue, bian. gimana bisa gak membahayakan?












—————————————————————










akhir semester;
liburan telah tiba


“akhirnya liburan juga!” seru bian dengan senyum cerahnya. di sebelah ia ada jihan yang tertawa dan juan serta lino yang duduk di hadapan mereka. “kalian rencana liburan dua bulan ini bakal ngapain aja?”

“gue jelas pulang kampung,” jawab jihan. “kangen banget sama orang rumah.”

“aaaaa, jihan!!” bian memeluk jihan sebentar. keduanya akting layaknya nangis. “emang lo gak pulang ke rumah, bi?”

“pulang, cuma gak tau kapan, nunggu kabar dari mama.” jihan mengangguk mendengar jawaban bian, tatapannya beralih ke lino dan juan. “kalo kalian?”

“gue mau ada acara keluarga ke jogja selama dua minggu, sama melipir bentar jalan-jalan ke lombok.”

“itu mah bukan melipir, tolong.” lino tertawa melihat wajah greget bian.

“yah, sayang banget,” ujar juan. “tadinya gue mau undang kalian ke rumah acara party gitu.”

“kapan?!” seru jihan dan lino bersamaan.

juan mengingat-ingat kembali percakapannya dengan harsa tadi malam saat semua anggota berkumpul lagi untuk merencanakan misi utama. seperti yang juan janjikan, kalau bian akan dieksekusi ketika liburan semester telah tiba. harsa—si bungsu yang memiliki kekuatan spesial bisa melihat kejadian di masa yang akan datang mengatakan bahwa juan dapat mengajak bian di hadapan teman-teman lainnya agar tidak ada kecurigaan yang timbul. dalam penglihatan harsa, jihan dan lino akan pergi sehingga menyayangkan tidak dapat ikut ke acara pesta yang diadakan keluarga juan. seminggu setelah resmi pengumuman libur semester, mereka akan pergi.

“minggu depan,” jawab juan. “antara tanggal 15 dan 16.”

“gue dateng sendirian dong?” bian menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi sedih. juan sebenarnya berharap kalau bian tidak akan pernah berhasil terperangkap. juan sebenarnya berharap kalau bian bukanlah gadis yang dicari-cari selama ini.

“gak mau, ya?”

“acara apa kalo boleh tau? ulang tahun lo?” bukan karena ragu mau datang atau tidak sehingga menanyakan hal ini. entah mengapa bian mau-mau saja untuk datang meski jihan dan lino berhalangan hadir. gadis itu bertanya karena kalau acara ulangtahun ia bisa mempersiapkan hadiah yang layak untuk diberikan.

“bukan, acara party biasa aja menyambut liburan semester. acara rutin keluarga gue.”

bian mengangguk dengan mulut berbentuk o. “berarti gue cuma bawa diri aja?”

bawa glass bead-nya juga kalo lo siap buat dieksekusi langsung, bian.

“iya, bawa diri aja.” karena gue belum siap kehilangan lo. dresscode-nya merah, ya.”

“okei, kabarin aja jadinya kapan.”

gue sangat berharap gak pernah terjadi. maaf, bian.













to be continue.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top