Sebuah Keputusan 1


Bismillah, kisah ini judul awalnya Pendar Cinta dari Nirwana. Aku ganti dg Fatwa Hati, karena kurasa lebih cocok. Semoga suka ya. Selamat membaca.

🍒🍒

Fathan menyentuh tombol like di YouTube channel yang sudah lama dia ikuti milik seorang Ustaz di ponselnya. Terngiang penjabaran Ustaz itu tentang pacaran. Bukan sekali saja dia menyimak penjelasan tentang hukum apa pun di channel yang bernama Qudwah tersebut.

Mulai dari bagaimana bersikap sebagai seorang muslim yang baik, bagaimana menempatkan diri sebagai pemuda Islam yang seharusnya dan semua yang semisal dengan agama. Semuanya disimak dengan sepenuh hati.

Belakangan ini justru Fathan sering mengulang-ulang bab tentang hubungan lawan jenis yang masih meninggalkan keraguan di hatinya. Dekat dengan perempuan dan memiliki perasaan khusus memang sudah satu tahun dia rasakan bersama Nabila ternyata bukan hal yang baik.

Sudah lama dia tahu soal keharaman hal itu, tetapi Fathan masih memiliki alasan untuk mengelak jika dia dan Nabila dikatakan berpacaran.

Dalam pemaparannya, Ustadz mengatakan secara hukum pacaran adalah haram karena bukan budaya yang berasaskan agama Islam namun dari kebiasaan Barat. Pacaran merupakan bagian dari mendekati zina yang merupakan sesuatu dilarang oleh Allah SWT.

Fathan meletakkan ponsel di meja belajar, kemudian merebahkan diri di ranjang. Ucapan Ustaz itu tidak jauh berbeda dengan nasehat ibunya beberapa waktu lalu saat tak sengaja sang ibu mengetahui dirinya tengah berboncengan dengan Nabila. Bukan itu saja, saat Nabila berulang tahun, Fathan sibuk mencarkan kado untuknya. Semua itu ibunya tahu.

"Kamu sudah lama dekat dengan Nabila?" tanya ibunya kala itu.

"Kenapa, Bu?"

"Ibu lihat cara kamu bicara dengan Nabila berbeda ketika kamu bicara dengan teman perempuan yang lain."

Fathan diam. Rumahnya memang sering dijadikan base camp teman-temannya untuk kerja kelompok atau sekadar berkumpul bersama.

"Enggak kok, Bu."

Maryam -- ibu Fathan menarik napas panjang. Dia kemudian menasihati putra semata wayangnya untuk berhati-hati dalam bergaul terlebih dengan perempuan.

"Kamu pasti nggak lupa kalau setan itu selalu membisikkan hal buruk yang dikemas dengan baik kepada manusia, kan?"

Fathan mengangguk.

"Fathan dekat dengan Nabila itu cuma untuk saling memotivasi dan mendukung, Bu."

Bu Maryam tersenyum kemudian menggeleng.

"Kamu yakin hanya itu?"

Tak menjawab, pemuda berkulit bersih itu hanya tersenyum tipis.

**

Dua pekan setelah bimbang, Fathan mencoba mengutarakan isi hatinya ke Nabila, gadis sekelas yang dikenal cerdas itu. Pagi sekali dia berangkat. Seperti biasa, motor matic hadiah dari ayahnya menemaninya berangkat sekolah. Seperti biasa juga, Nabila akan tersenyum menyambutnya di depan pintu.

Gadis lincah berkacamata yang menjabat bendahara kelas itu selalu ceria. Pembawaan riang dan kepintarannya membuat banyak teman lelaki kagum padanya.

"Kok kamu murung gitu, Fath?"

Fathan menggeleng cepat kemudian melangkah ke bangkunya. Penasaran dengan sikap Fathan yang berbeda, Nabila mengekor.

"Fathan kamu kenapa?"

"Nggak apa-apa kok!"

Mata gadis berambut sebahu itu memindai dengan kening berkerut.

"Aku nggak yakin kamu nggak apa-apa, Fath!"

"Aku tahu! Kamu belum ngerjain tugas fisika ya?" tebaknya seraya menepuk bahu Fathan.

"Fathan! Kamu jangan bohong deh! Aku tahu kamu seperti apa!" tuturnya lagi.

Lagi-lagi dia tak menanggapi. Fathan hanya menyungging senyum tipis sebelum akhirnya Nabila menjauh ke mejanya karena Pak Santoso guru Matematika tiba.

*

Dua anak manusia berlainan jenis itu duduk saling diam di kursi taman di bawah pohon akasia. Wajah keduanya terlihat serius.

"Aku nggak berani bilang kalau kita selama ini pacaran atau apa, tapi jujur itu yang kurasakan." Fathan menarik napas dalam-dalam.

"Ya mungkin kamu nggak merasa nyaman sama aku, tapi aku sebaliknya. Maaf," tuturnya lirih.

Merapikan rambut yang ditiup angin, Nabila memiringkan badannya menghadap Fathan.

"Kalau aku bilang bahwa aku merasakan hal serupa, apa yang akan kamu lakukan, Fath?"

Mendengar pertanyaan itu, spontan dia menoleh. Wajah Nabila bersemu merah membalas tatapan lelaki di depannya.

"Maksudnya?" tanya Fathan.

"Maksudnya aku ... aku nyaman sama kamu, Fath!" balasnya.

Menelan ludah, Fathan membuat jarak. Senang, takut dan ragu berbaur menjadi satu di hatinya.

"Kamu serius?"

Nabila mengangguk yakin.

"Kita pacaran?" tanya gadis itu dengan mata berbinar.

Penuturan Nabila membuatnya sontak menggeleng, dan hal itu membuat wajah gadis di sampingnya itu mendung seketika.

"Kenapa, Fath?"

"Aku, aku takut, Nabila."

Dahi gadis itu mengerut.

"Takut kenapa?"

"Takut siksa Allah!"

Kali ini manik mata Nabila membesar, wajahnya ikut resah seperti wajah lelaki di sampingnya.

"Kita mulai hari ini saling jauh ya," ujarnya dengan kepala menunduk, "Aku nggak mau kamu, kita berdua berdosa "

Terdiam, Nabila merasa matanya mulai mengembun.

"Maksud kamu, aku nggak boleh dekat-dekat kamu lagi?"

Fathan mengangguk tanpa menoleh.

"Kita nggak berteman lagi?"

"Kita tetap berteman, tapi nggak boleh seperti ini."

"Jadi kita ...."

"Putus! Maksudnya kita pisah baik-baik. Jika Allah menghendaki kita kembali bertemu nanti, aku harap kita berada di situasi paling baik!" potong Fathan tegas.

"Paling baik? Maksudnya?"

"Mungkin aku terlalu berkhayal, tapi aku harap Allah mempertemukan kita kelak saat aku bisa melamarmu."

Nabila menarik napas dalam-dalam. Pipinya bersemu merah.

"Aku mengerti, Fath. Aku juga takut seperti yang kamu takutkan. Aku juga tahu kalau pacaran itu nggak boleh, tapi aku juga takut kehilangan kamu," tuturnya pelan dengan mata menatap bunga akasia yang berguguran.

Ada senyum tipis terukir di bibir Fathan.

"Kita minta ke Allah aja mulai hari ini. Aku sebut kamu di doaku, dan kamu sebut aku di doamu. Setuju?"

Wajah keduanya terlihat lebih cerah. Nabila mengangguk dengan senyum menghiasi wajahnya. Demikian pula dengan Fathan. Lelaki itu mengangguk yakin dengan keputusannya. Dia yakin apa yang dikatakan Ustaz di channel YouTube itu. Bahwa Allah akan mempertemukan setiap orang dengan jodohnya dengan cara-Nya. Kita hanya meminta sementara biarkan Allah yang memilihkan untuk kita.

**

Setelah peristiwa itu, keduanya benar-benar menjadi dua orang yang asing. Fathan berusaha menghindar untuk bertemu dengan Nabila. Sementara Nabila memilih berdiam diri di perpustakaan agar hatinya bisa istikamah.

Beberapa dari teman mereka bertanya hal yang sama. Namun, keduanya kompak bilang bahwa tidak terjadi apa-apa di antara mereka.

"Nab, kamu yakin nggak kenapa-kenapa?" Riana teman yang biasa jajan di kantin bersamanya tak jemu bertanya.

"Aku nggak apa-apa kok. Heran deh, kenapa sih? Aku sama Fathan itu cuma berteman biasa, jadi wajar, kan kalau kami kadang dekat kadang jauh?"

Riana mengerucutkan bibirnya sambil menggeleng.

"Nggak sih! Nggak wajar, Nab!"

"Riana! Kami itu sama seperti kamu sama Yuda, Dion, Fendi ...."

Masih dengan ekspresi tak percaya, Riana menaikkan alisnya.

"Iya in aja deh! Semoga kalian beneran nggak ada apa-apa."

Nabila mengangguk kemudian tersenyum tipis.

Lain Nabila lain Fathan. Dia lebih suka berdiskusi dengan Ustaz Soleh guru agamanya. Fathan memilih menyambangi masjid sekolah untuk bertanya soal apa pun kepada gurunya itu. Termasuk wacana untuk belajar agama lebih dalam di pondok pesantren milik Ustaz Soleh.

🍒🍒

Hai, haii ... ada yang sudah pernah baca kisah ini belum? Ini aku posting di KBM App dan mengkrak, wkwk. Genre religi, semoga ada yang suka yaa. Karena ada beberapa pembaca KBM App yg penasaran dan minta kisah ini dilanjutkan.

Bismillah, semoga naskah ini bisa selesai sampai tamat.

Yuk, boleh komen2 yukk ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top