Perkenalan 4

Zahwa duduk di samping ummi dan abinya. Tak jauh dari tempatnya duduk, tiga orang abangnya bersama istri masing-masing juga terlihat duduk bersama. Hari itu keluarga Fathan datang dengan tujuan melamar putri bungsu Ustaz Soleh.

Zahwa terlihat anggun dengan gamis putih berikut cadarnya. Dia menunduk semenjak kedatangan keluarga Fathan. Tangannya diletakkan di pangkuan umminya seperti meminta diberi ketenangan.

Kesepakatan telah dibuat. Keluarga Zahwa menuturkan bahwa Zahwa menerima pinangan Fathan. Tentu saja hal tersebut membuat bahagia pria berhidung mancung itu. Kini saatnya lanjut ke tahap nadzar ( melihat) calon istri.

"Zahwa, kamu boleh buka cadarnya sebentar, Nak," bisik Aliyah. "Sebentar saja untuk Fathan."

Terlihat ragu, Zahwa menoleh ke abinya untuk meminta pertimbangan. Mengetahui keraguan sang putri, Ustaz Soleh bertutur, "Ini proses, Zahwa. Buka, Abi ada di sini."

Bukan hanya Zahwa yang terlihat gelisah, paras Fathan pun tak jauh beda, bahkan dia terlihat sangat nervous. Meski dia merasa wajah di balik cadar itu sangat indah.

Pelan Zahwa membuka kain penutup wajah dan dengan perlahan pula dia mengangkat wajahnya menatap seseorang yang duduk di seberangnya. Sejenak Fathan merasa berada di pusaran keindahan seluruh semesta. Mata bening, hidung mancung dan bibir yang merekah menyatu dalam pesona Zahwa. Dia merasa Tuhan sangat baik menganugerahkan Zahwa sebagai calon ibu dari anak-anaknya.

"Ehem, sudah, Fathan?" tanya Ustaz Soleh.

Fathan gelagapan mendengar pertanyaan itu.

"I ... iya, Ustaz. Sudah," jawabnya gugup.

Zahwa tersenyum tipis kemudian kembali memasang cadarnya. Helaan napas lega terdengar dari mereka semua.

"Baiklah, jadi kapan antum akan menikahi Zahwa?"

Fathan menoleh ke ayahnya. Pria berambut kelabu itu tersenyum.

"Alhamdulillah, kami memang sudah lama menunggu hal ini, Ustaz. Jadi kami sudah menyiapkan semuanya, tinggal pengurusan berkas saja yang belum," tutur Ahmad.

"Insyaallah besok ana akan urus segera dan ... pekan depan insyaallah ana segera menghalalkan Zahwa," timpal Fathan yakin.

Kalimat syukur terdengar di ruangan itu. Semua merasa lega satu tahapan sudah terlewati. Tanpa ada yang tahu ada air menggenang di mata Zahwa. Dia sadar sebentar lagi dirinya akan lepas dari kedua orang tuanya. Sepenuhnya dia akan menjadi milik Fathan yang kelak menjadi imamnya.

Tak ada yang diinginkan Zahwa kecuali berharap agar kelak pria yang kini tengah berbicara dengan abinya itu akan selalu bisa menyayangi dan melindunginya seperti saat bersama keluarganya.

Sepanjang jalan pulang, Fathan tak berhenti tersenyum. Pria itu berkali-kali menarik bibirnya mengingat wajah cantik sang calon istri. Hal itu disadari oleh Ahmad.

"Ayah tahu kamu sedang bahagia, tapi tetap fokus mengemudi, Fath. Ayah lihat sejak tadi senyum melulu," tegur Ahmad.

"Iya, Yah. Ini juga lagi fokus," sahutnya tertawa kecil menyadari ayahnya memperhatikan dirinya sejak tadi.

Maryam yang duduk di belakang tertawa kecil.

"Rumah yang kamu beli beberapa waktu lalu sudah selesai kamar mandinya, Fath?"

"Sudah, Bu. Alhamdulillah. Tinggal taman aja yang belum," sahut Fathan.

"Alhamdulillah, memang ya, kalau Allah sudah memberi jalan, semuanya dimudahkan," balas ibunya lagi.

Ahmad mengangguk setuju. Dia tahu bagaimana putranya menginginkan sebuah rumah dari hasil keringatnya sendiri. Meskipun sang ayah adalah pemilik peternakan terbesar di kota itu, Fathan justru menolak bantuan dari ayahnya. Baginya menikmati hasil keringat sendiri itu mendatangkan kepuasan.

Selain mengajar di pondok dan menerima tawaran sebagai kepala sekolah di sana, Fathan memiliki bisnis makanan beku yang dia kelola bersama beberapa rekannya. Bisnisnya cukup berkembang. Terakhir ada dia berencana meluaskan bisnisnya ke luar kota.

**

Kesibukan mulai terlihat di rumah keluarga Ustaz Soleh. Seluruh santri ikut turun tangan membantu kelancaran prosesi pernikahan yang sedianya akan dilaksanakan besok.

Tenda-tenda telah didirikan. Warna putih menjadi pilihan. Demikian pula dengan hidangan. Di dapur para tetangga dan warga tanpa diminta ikut berbaur menyiapkan aneka makanan lezat yang nantinya akan dihidangkan di acara walimatul'ursy dr. Zahwa Zemira.

Di sebuah kamar, Zahwa baru saja menyelesaikan salat dhuha. Membuka mushaf dan mulai bertilawah.

Sementara di luar kamar, Aliyah mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu. Perempuan bergamis rumahan berwarna cokelat itu tersenyum tipis.

Ada bahagia membuncah sekaligus sedih yang menyapa. Bahagia putrinya akan segera merenda hidup, sedih mengingat rumah mereka akan semakin sepi karena sudah barang tentu Fathan akan memboyong Zahwa ke kediamannya.

Sementara di tempat lain, Fathan melipat sajadahnya setelah suara Ahmad memanggil namanya dari luar kamar.

"Ada Yasir di depan."

"Yasir, Yah?"

Ahmad mengangguk.

"Iya, Yasir temanmu SMA. Anaknya Pak Harun teman Ayah waktu kita masih tinggal di Surabaya. Masa kamu lupa?"

Keningnya berkerut mencoba mengingat.

"Yasir yang ... ah iya, Yah! Fathan ingat!"

Cepat dia keluar menemui teman lamanya. Wajah pria berbaju koko itu cerah saat melihat Yasir tengah berdiri dengan merentangkan kedua tangannya. Sejenak mereka berpelukan kemudian duduk di kursi jati berukir yang ada di teras.

"Masyaallah, Ustaz Fathan! Luar biasa! Seperti ini yang kamu inginkan sejak dulu, kan?"

Fathan tertawa kecil kemudian mengangguk dan mengucap syukur.

"Kok kamu bisa tahu alamat rumahku?" tanyanya heran.

Dengan wajah lucu, Yasir berkata, "Hemm, siapa yang nggak kenal Ustaz muda yang akan menikah dengan putri ulama' kondang di kota ini?"

Mata Fathan menyipit. Dia tak menyangka kabar pernikahan dirinya demikian santer terdengar.

"Itu berlebihan, Yasir!"

"Ya nggak berlebihan, Fath. Siapa yang nggak kenal dr. Zahwa Zemira yang ...." Pria bertubuh sedikit pendek dari Fathan itu menggantung kalimatnya.

"Yang apa, Sir?" tanyanya antusias.

Yasir terkekeh geli melihat wajah Fathan.

"Kalau aku teruskan kamu cemburu, Fath."

"Serius, Sir. Yang apa?" desaknya.

"Yang konon menurut banyak orang, dia sangat cantik baik lahir maupun batinnya. Kamu orang yang beruntung mendapatkan perempuan seperti dia, Bro!"

Fathan menghela napas mendengar penjelasan Yasir.

"Kenapa? Kamu pikir aku mau bicara apa, Fath?"

"Ya nggak kenapa-kenapa. Kamu bikin penasaran aja!"

Yasir tersenyum lebar.

"Jadi apa yang membawamu ke sini? Kamu nggak berniat semata untuk mengucapkan selamat, kan?"

Pria di sampingnya itu kembali tertawa.

"Nggak sih, aku kebetulan lagi di kota ini. Ada urusan kerjaan."

Dari arah pintu keluar Maryam membawa nampan berisi minuman dan camilan.

"Ibu kenapa Ibu yang repot? Bik Sari mana?"

"Udah nggak apa-apa. Bik Sari lagi sibuk di dapur masak!" jawabnya kemudian meletakkan isi nampan di meja.

Yasir bangkit menyalami ibu Fathan dan mencium punggung tangannya.

"Apa kabarnya, Yasir? Ayahmu sehat?"

"Alhamdulillah baik, Bu. Ayah juga sehat."

Mengucap syukur lalu dia pamit kembali ke dalam setelah mempersilakan Yasir menikmati minumannya.

"Dulu kukira kamu beneran jadi sama Nabila, Fath. Kamu pasti nggak lupa, kan?" Yasir membuka pembicaraan setelah menyesap teh hangat di depannya.

Mendengar nama Nabila disebut, Fathan tersenyum tipis kemudian menggeleng.

"Masa lalu, Sir. Aku berharap dia juga menemukan pendamping yang baik untuknya."

"Kamu tahu dia di mana sekarang?"

Fathan menggeleng lagi.

"Sejak lulus aku nggak pernah lagi bertemu atau berhubung. Karena ya itu komitmen kami. Untuk kebaikan kami berdua."

Yasir mengangguk paham.

"Terakhir aku dengar dari Kayla, dia kuliah kedokteran, tapi ya cuma sebatas itu aja. Selebihnya aku nggak tahu," paparnya kembali meraih cangkir teh yang isinya sisa setengah.

Mendengar penjelasan Yasir, Fathan kembali tersenyum.

"Ya ... aku pikir sebaiknya kamu nggak perlu membahas dia, Sir. Kamu paham maksudku, kan?"

Bibir Yasir mengembang sempurna kemudian mengangguk paham.

"Na'am, Ustaz. Fahimtu!"

Keduanya lalu tertawa dan melanjutkan obrolan mereka mengenang masa putih abu-abu.

🍒🍒

Suka?








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top