Menikah 5
Zahwa duduk di sebelah Aliyah di ruang tengah. Besok adalah hari pernikahannya. Semua rangkaian persiapan pernikahan sudah dilakukan. Malam itu setelah salat Isya', Aliyah meminta Zahwa untuk mendengarkan petuahnya.
Mengusap puncak kepala Zahwa, Aliyah berkata, "Zahwa, meski Ummi tahu kamu sudah paham seperti apa konsep sebuah pernikahan, tapi nggak ada salahnya kalau Ummi kembali mengingatkan."
"Iya, Ummi."
"Mulai besok, kamu sepenuhnya hak suamimu, Nak. Bergaullah dengannya dengan sikap merasa cukup (qanaah) dan dengarkan baik-baik ucapannya dan taatlah padanya. Sesungguhnya dalam sikap merasa cukup ada ketenteraman hati, sedangkan dalam mendengar dan taat ada keridaan Allah."
"Jaga penciuman dan tatapan suamimu dari hal yang tidak patut dia dapati darimu. Jangan sampai matanya tertuju kepada dirimu di saat engkau dalam keadaan jelek dan jangan sampai penciumannya tertuju kepada dirimu di saat dirimu kurang wangi."
Zahwa mengangguk. Ucapan Aliyah sudah begitu melekat di kepala, karena demikian pula yang dilakukan Ummi kepada abinya.
"Perhatikan waktu tidur dan makannya. Karena panasnya lapar dapat membakar perasaan dan kurangnya tidur dapat menimbulkan marah. Jaga harta dan perhatikan kemuliaan dan keluarganya."
"Yang terakhir juga tidak kalah penting adalah, jangan pernah melawan perintahnya dan jangan bongkar rahasianya. Jika engkau melawan perintahnya, berarti kamu membuatnya marah. Jika engkau bongkar rahasianya maka engkau tidak akan aman dari tipu dayanya. Jangan kamu bergembira di hadapannya di saat dia sedang bersusah hati, dan jangan kamu bersedih di saat dia sedang bahagia."
Kembali Zahwa mengangguk.
"Zahwa, kamu tentu tahu bahwa dalam hidup tidak selalu membahagiakan, bukan?"
"Iya, Ummi."
"Demikian pula dengan sebuah pernikahan, karena sesungguhnya sedih, bahagia, kehadiran, dan kehilangan adalah sunnatullah. Kamu paham soal itu, kan?"
"Paham, Ummi."
Aliyah tersenyum lalu meraih bahu Zahwa dan memeluknya.
"Sekarang tidurlah. Kamu harus istirahat, karena besok hari baru menantimu, insyaallah."
Zahwa mengangguk sembari tersenyum. "Terima kasih untuk nasihatnya, Ummi."
**
Aroma melati dan sedap malam menguar ke seluruh ruangan. Berbagai papan karangan bunga berupa ucapan selamat berderet panjang di sekitar pondok dan kediaman Ustaz Soleh.
Tenda putih dengan hiasan bunga segar berwarna senada membuat suasana sangat sakral. Tak ada bising suara musik dan lenggak-lenggok penyanyi di acara walimatul'ursy itu. Semua berlangsung hikmat.
Masjid Umar bin Khattab menjadi saksi lantangnya suara Fathan mengucapkan ijab kabul. Ucap syukur dan salawat terdengar dari setiap undangan dan saksi yang hadir. Ustaz Soleh sendiri yang menikahkan putrinya dengan Fathan.
Sementara di dalam, Aliya memeluk Zahwa. Air mata keduanya tak bisa dibendung.
"Sstt, anak Ummi nggak boleh nangis. Ini hari bahagiamu, Zahwa," ujarnya saat mengurai pelukan.
Perlahan Aliyah menyeka pipi sang putri. Hari ini Zahwa terlihat mempesona dengan gamis putih panjang berhias renda swarovski rancangan Rafidah, istri Ibrahim abangnya. Tak lupa khimar berwarna senada berhias mahkota kecil menghias kepalanya.
"Sekarang, kita keluar. Suamimu sudah menunggu!" bisiknya dengan mata berbinar.
Melihat ekspresi umminya, Zahwa tersenyum malu.
Sementara di luar, setelah membacakan sighat taklik, Fathan merapikan sikap duduknya. Terlihat parasnya tak setegang tadi. Namun, kini matanya yang terlihat berkaca-kaca saat mendengar Ustaz Ibrahim Abang Zahwa berbisik mengatakan bahwa adiknya tengah berjalan menghampiri.
"Kamu telah memiliki apa yang jadi kesayangan kami, Fathan. Kami harap kamu juga akan selalu menyayanginya," bisiknya lagi.
Fathan mengangguk lalu menoleh menyambut istrinya dengan senyum dan tatapan hangat. Aroma semerbak bunga menyapa indra penciumannya saat perempuan yang kini resmi menjadi istrinya itu mulai mendekat.
Zahwa kemudian duduk di sampingnya, masih menyembunyikan wajah di balik cadarnya. Mereka berdua lalu menandatangani buku nikah. Setelah selesai, tiba saatnya penyerahan mahar yang diabadikan lewat mata kamera.
Fathan meraih tangan sang istri membantunya untuk berdiri. Sejenak Zahwa terlihat berpikir, tetapi akhirnya sadar bahwa pria tegap di sampingnya itu sudah sah memilikinya hari ini.
Keduanya mengikuti instruksi fotografer agar mendapatkan pose yang menawan. Keduanya masih terlihat sangat canggung. Terlebih Zahwa, berkali-kali sang fotografer dan keluarganya mengingatkan bahwa dia sudah halal jika harus bersentuhan dengan Fathan.
Mengetahui sang istri masih malu-malu, Fathan berbisik, " Ternyata Mas merasa baru saja menikahi bidadari yang sangat pemalu."
Mendengar bisikan sang suami saat keduanya hendak kembali berfoto, tanpa sadar Zahwa mengeratkan genggamannya. Menyadari hal itu, Fathan mengulum senyum dan kembali mengikuti instruksi fotografer.
Acara terus berlangsung. Para tamu perempuan dan laki-laki dipisah. Hal ini dilakukan untuk menghindari ikhtilat. Pun demikian dengan sang pengantin. Mereka berdua duduk di kursi pelaminan yang berbeda.
"Zahwa! Selamat ya. Aku speechless banget waktu dapat undangan! Nggak ada kabar apa pun sebelumnya, eh udah nikah aja!" ucap Salwa rekan sejawatnya.
"Makasih, Sal. Emang ini juga serba speechless kok!" balas Zahwa tersenyum.
"Eh iya! Ganteng nggak suamimu? Aku penasaran!" bisiknya dengan wajah jenaka.
Zahwa tertawa di balik cadarnya. Salwa memang selalu begitu. Teman se-kostnya dulu itu memang pintar menghidupkan suasana. Dia dan Salwa kuliah di universitas yang sama. Hanya saja, Salwa mengambil mata kuliah psikologi berbeda dengan dirinya.
"Kalau ganteng emang kenapa?" tanya Zahwa.
"Ya nggak apa-apa. Nggak mungkin aku tebar pesona ke dia, karena aku yakin diri ini bukan level suamimu," kelakar Salwa seraya merapikan rambutnya.
"Udah ah! Makan sana, Sal! Aku yakin kamu lapar, iya, kan?"
Mengerucutkan bibir, Salwa mengangguk.
"Oke, aku makan dulu ya."
Zahwa menarik napas kemudian mengangguk.
**
"Seperti apa sih dia? Sampai kamu masih begitu berharap bertemu dan ...."
"Dia istimewa, Nis," jawab Nabila dengan mata menerawang.
Sore itu selepas tugas, Nisa dan Nabila sepakat beristirahat dulu di kafe tak jauh dari rumah sakit tempat Nabila bekerja. Mereka bersahabat sejak lama.
Nisa adalah seorang perempuan yang bekerja sebagai costumer servis di bank swasta. Kebetulan lokasi kerjanya tak jauh dari tempat Nabila praktik.
"Kamu ini aneh, Nabila. Menunggu dan berharap bertemu seseorang yang sudah demikian lama tanpa komunikasi sepertinya akan sia-sia."
Nabila tersenyum meraih gelas serupa piala berisi minuman segar lalu perlahan menyesapnya.
"Entah, Nis, tapi aku merasa harus memastikan seperti apa keadaan dia sekarang, karena aku sudah janji untuk menunggunya," balasnya setelah kembali meletakkan gelas di meja.
Perempuan di depan Nabila itu menggeleng.
"Ini yang aku heran ke kamu. Kamu nungguin tanpa tahu dia melakukan hal yang sama atau nggak, atau paling tidak kamu seharusnya tahu apa dia selama ini berusaha mencarimu?" Suara Nisa sedikit tinggi.
"Nisa, kecilkan suaramu!" tegur Nabila.
Tertawa kecil, Nisa berkata, "Sori, aku kebawa emosi, Nab. Lagian kamu aneh banget tahu!"
Sejenak keduanya saling diam menikmati spaghetti makanan favorit mereka.
"Lalu apa kabar Leo, Nab? Dia sepertinya serius sama kamu!" Nisa menatap wajah sahabatnya.
Nabila mengedikkan bahu kemudian menggeleng.
"Aku nggak tahu, Nis," jawabnya lalu meletakkan sumpit ke piringnya. "Aku belum tahu seperti apa nantinya. Untuk Leo, orang tuaku sudah tahu sih, tapi ...."
"Tapi?"
"Aku belum bisa, setidaknya untuk saat ini."
Nisa menarik napas dalam-dalam kemudian menggeleng.
"Seharusnya kamu berhenti memikirkan dan berharap bertemu pria itu. Kamu ini berharap kepada yang tidak pasti sementara yang pasti kamu abaikan. Itu yang aku rasa semua orang akan heran!"
Nabila kembali menyuapkan makanan ke mulutnya.
"Kamu tahu kenapa, Nis? Dari dia aku kenal bagaimana seharusnya berhijrah. dari dia aku tahu bagaimana seharusnya aku bersikap, dari dia aku juga bisa paham apa yang sebaiknya aku lakukan dan yang tidak," paparnya kembali meletakkan sumpit dan mendorong piringnya menjauh, "Sulit, Nis. Sulit menemukan pria seperti dia saat ini, bahkan ...."
"Bahkan Leo nggak bisa menggantikan posisi pria itu, kan?"
Nabila tak menjawab dia hanya menatap Nisa sejenak lalu meneguk minumannya.
"Kadang memang cinta itu membuat bodoh ya, Nab? Dan itu terjadi padamu. Kamu bahkan nggak bisa berpikir realistis sama sekali!"
Perempuan berkulit sawo matang itu masih bergeming, membiarkan Nisa berkali-kali menyindirnya. Bagi Nabila, janji adalah hal yang harus dia pegang meski sampai detik ini belum ada keterangan soal Fathan. Namun, hatinya yakin pria masa putih abu-abu itu tak pernah mengingkari kata-katanya.
"Mungkin aku terlihat bodoh dan terlalu bucin atau apalah istilahnya, Nis, tapi ada yang harus kuluruskan untuk hal itu. Ada rasa yang masih ada, ada janji yang belum tunai."
"Oke, tapi bagaimana kalau Fathan-mu itu sudah menikah?" tanya Nisa dengan tatapan menyelidik, "Bagaimana kalau ternyata dia telah mengkhianati janji itu? Apa yang akan kamu lakukan, Nabila?"
Menarik napas dalam-dalam, dia membalas tatapan Nisa. Menggeleng perlahan dia berujar, "Aku nggak tahu, mungkin aku akan belajar ikhlas atau mungkin ...."
"Atau mungkin apa? Jangan bilang kamu mau merusak hubungan dia dengan pasangannya!" potong Nisa.
Nabila tersenyum tipis kemudian menggeleng.
"Aku dibesarkan oleh dua orang istimewa, Nis. Papa dan mamaku tidak pernah mengajarkan aku untuk merebut sesuatu yang bukan hakku," timpalnya.
Nisa menghela napas lega.
"Syukurlah, aku lega mendengar kata-katamu. Sebab kalau sampai kamu jadi pelakor, aku ada dibarisan pertama untuk mencegahnya!"
Nabila tertawa kecil.
"Sudah hampir senja. Kita pulang?"
"Oke! Suamiku juga udah dalam perjalanan pulang dari kantornya. Nanti malam aku harus ketemu mertua."
"Ada apa dengan mertuamu?" tanya Nabila.
"Nggak ada, biasalah! Paling juga kangen sama cucunya. Vito siapa lagi," jelas Nisa menyebutkan nama anak pertamanya.
**
Pasti pada nyalahin Fathan, yakan? Wkwkw
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top