Fatwa Hati 9

Zahwa melipat mukenanya lalu meletakkan di rak biasanya. Satu pekan ini dirinya nyaris tak tidur karena harus turun mambantu korban banjir bandang di desa yang cukup jauh dari tempatnya tinggal. 

Mengantongi izin dari sang suami, Zahwa ringan melangkah membaktikan diri ke masyarakat. Baginya masyarakat bawah banyak sekali belum tersentuh pembangunan yang digembar-gemborkan oleh sebagian pemimpin. Dulu dia pernah bercita-cita menjadi seorang politikus, tetapi setelah kembali berpikir akhirnya dia memilih menjadi seorang dokter.

"Dokter Zahwa, ditunggu yang lainnya untuk makan malam," tutur seorang warga yang mendatanginya di kamar.

"Oh iya, Bu. Saya menyusul nanti."

Mengangguk hormat, perempuan berkebaya lusuh itu meninggalkannya. Ponselnya bergetar. Bibir Zahwa tertarik ke samping saat membaca pengirim pesan.

[Apa kabar, Sayang?]

[Baik. Mas sudah makan malam?]

[Sudah. Barusan bareng Abi]

Bibir Zahwa berucap syukur.

Saat baru saja dia hendak mengetikkan sesuatu, panggilan video muncul. Kali ini bibirnya semakin melebar.

Wajah sang suami muncul menyapa dengan gembira. Pria yang mendukung aktivitasnya itu benar-benar sangat menyayanginya. Meski berjauhan, Fathan tak pernah lupa menghubunginya setiap waktu. Zahwa juga tak pernah absen bercerita soal kegiatan di tempat bencana saat ini.

"Kok kurusan?" tanya Fathan dengan kening berkerut.

"Ih, masa sih?"

"Iya, ini pasti karena jauh dari Mas, kan? Jadi nggak selera makan?" ledeknya.

"Emang Mas nggak gitu? Mas nggak ngaruh gitu nggak ada aku di sana?" Zahwa mencebik manja.

Senyum Fathan terbit. Perempuan bermata indah itu selalu bersikap manja padanya. Tentu saja hal itu membuat dirinya semakin sayang.

"Kalau cemberut makin cantik deh!" rayunya.

"Sayang, Mas pasti rindu dong. Marasa banget rumah ini sepi nggak ada kamu."

Kali ini bibir Zahwa melebar.

"Sekitar satu pekan lagi Zahwa pulang. Mas nggak apa-apa, kan?"

"Nggak apa-apa, Sayang. Mas tahu misi apa yang kamu emban. Mas dukung dan sangat paham. Asal ...."

"Asal apa?"

"Asal nanti kalau sudah di rumah, kerinduan ini terbalaskan," tuturnya seraya menaik turunkan alis menggoda Zahwa.

Melihat ekspresi sang suami, dia tak sanggup menyembunyikan rasa malu sehingga rona merah terlihat semburat di pipi.

"Mas bilang besok ke Surabaya? Jadi?"

"Iya. Mas berangkat pagi."

"Hati-hati ya, Bang. Eum ... Mas sendirian?"

"Iya. Nanti di sana langsung ketemu Yasir terus meninjau lokasi untuk join usaha seperti yang Mas pernah cerita ke kamu."

Zahwa mengangguk paham. 

"Lalu soal reuni yang Mas bilang itu, jadi?"

Fathan mengangguk. Dia sebenarnya enggan untuk mengikuti acara tersebut, tetapi karena bertepatan dengan perjalanan bisnisnya, mau tidak mau dia hadir. 

"Kalau kamu nggak setuju Mas hadir, Mas bisa langsung pulang setelah deal masalah kerjaan."

Zahwa menggeleng. Dia tak ingin membuat Fathan kehilangan teman-teman masa sekolah. Walau bagaimanapun, dia paham dengan bertemu teman lama bisa meluaskan link bisnis yang tengah digeluti sang suami. 

Meski sadar ada resiko yang tentu bisa saja membuat dirinya cemburu. Soal cincin itu kembali menari-nari di kepalanya.

"Sayang? Kenapa malah ngelamun? Mas nggak ikut reuni kok. Mas langsung pulang setelah selesai. Sudah jangan ngelamun begitu."

Merasa suaminya tahu apa yang dia pikir, Zahwa mengulum senyum kemudian menggeleng.

"Nggak apa-apa. Semua keputusan ada di Mas. Aku percaya ke Mas."

Fathan tersenyum kemudian mengangguk. 

"Ya sudah, sekarang kamu istirahat ya. Besok pasti masih banyak tugas menunggu."

"Iya, Mas."

"Besok Mas telepon lagi. Love you, Sayang."

"Love you, Ustaz Fathan," ucapnya disertai dengan senyum manis.

**

Nabila tampak excited. Dengan mengenakan tunik panjang dipadu dengan celana denim dan jilbab senada dia bersiap pergi ke acara yang dinanti.

"Sepertinya kamu bahagia banget!" sapa ibunya.

Seraya merapikan jilbab, dia bercerita acara yang akan dia hadiri hari ini.

"Ibu ingat Fathan, kan, Bu?"

Tia-- ibunya mengangguk. Seingatnya, setelah bersama Fathan, Nabila tak pernah lagi dekat dengan pria mana pun. Pergaulannya juga begitu dia jaga meski tak jarang beberapa teman pria datang mencoba mendekat.

 Sang ibu yang telah lama tahu bagaimana kisah asmara putrinya ikut tersenyum melihat ekspresi sang putri.

"Nabila udah nggak sabar pengin ketemu, karena selama ini Nabila nggak berani memulai obrolan meski kami berada dalam satu grup," paparnya.

"Ibu tahu? Dia pasti senang kalau tahu Nabila sampai pada pencapaian ini, Bu. Dan ...."

"Dan?"

"Nabila bangga dia bisa meraih semua yang dia inginkan saat sekolah dulu," jelasnya dengan mata menerawang. "Kata Yasir, dia menjadi salah satu ustaz muda yang disegani di kota tempat tinggalnya sekarang."

Tia melangkah mendekat kemudian duduk di samping putrinya yang tengah memakai sepatu.

"Tapi Nabila, kamu yakin dia masih ingat semua tentang kalian?" tanyanya menatap sang putri.

Nabila membalas tatapan ibunya kemudian tersenyum tipis.

"Nabila yakin dia masih ingat. Kami punya janji yang nggak terucap dulu."

Tia menarik napas dalam-dalam. Perempuan paruh baya itu mulai berpikir tentang penantian Nabila pada Fathan meski putrinya itu tak pernah mengungkapkan.

"Nabila."

"Iya, Bu?"

"Jujur ke Ibu, apa dia pria yang kamu tunggu untuk memberi kepastian?"

Putrinya bergeming. Tampak Nabila menarik napas dalam-dalam.

"Nabila cuma ... cuma menunggu dan ingin tahu seberapa besar perasaan yang kami punya, Bu," jawabnya lirih.

"Meski seandainya nanti apa yang kamu harap itu tak seperti kenyataan?" timpal sang ibu.

"Maksud Ibu?"

Tia menghela napas panjang kemudian berkata, "Nabila anak Ibu, Ibu tahu betul bagaimana perasaan yang kamu simpan untuk Fathan. Ibu juga tahu apa alasan kenapa kamu memilih sendiri hingga saat ini. Ini semua karena satu janji yang tak pernah terucap seperti yang kamu bilang itu, kan?"

Nabila bergeming. Apa yang diucapkan ibunya memang tak salah, berharap itu yang selama ini dia lakukan meski terkadang keyakinannya merapuh.

"Nabila, Ibu tidak melarang keinginanmu, tetapi Ibu hanya mengingatkan bahwa terkadang harap itu tak sesuai kenyataan. Mungkin sebagian orang bisa mencapai harapannya dan berbahagia dengan penantian mereka, tetapi ada yang harus menelan kecewa karena penantian tak seperti yang mereka angankan," papar ibunya panjang lebar seraya mengusap bahu sang putri.

Menghela napas dia tersenyum.

"Nabila tahu, Bu. Ibu nggak perlu khawatir soal itu."

"Meski Ibu ingin apa yang kamu harapkan itu benar terwujud, tapi ada baiknya jangan terlalu banyak berharap terlebih kamu sama sekali tidak pernah berkomunikasi apa pun dengan dia."

"Iya, Bu. Nabila paham."

Tia menarik napas lega. Perempuan yang melahirkan Nabila itu berharap putrinya tidak terlalu berharap, meski dirinya ingin sang putri tidak kecewa.

"Ya sudah, Bu. Nabila berangkat dulu ya. Eum ... Ibu mau Nabila bawakan apa?"

Tia menggeleng seraya tersenyum.

"Ibu nggak pengin apa-apa. Ibu cuma pengin kamu bahagia, Nak."

Memeluk sang ibu, dia berbisik, "Nabila udah sangat bahagia saat ini, Bu. Bagi Nabila, apa pun yang terjadi, cukup Ibu ada di samping Nabila, Nabila sudah sangat bahagia."

🍒🍒








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top