Fatwa Hati 7
Sejak mendapati benda yang menurutnya memiliki arti khusus bagi Fathan, Zahwa tak seperti biasa. Meski mencoba bersikap wajar di hadapan sang suami. Akan tetapi, perempuan bermata bening itu kedapatan beberapa kali melamun. Ada banyak tanya bercokol di hatinya soal kotak berukir yang berisi cincin itu. Otaknya berpikir liar tentang cincin itu beberapa hari belakangan.
Kondisi tersebut disadari oleh sang suami. Selepas makan malam, mereka berdua duduk di ruang keluarga.
"Sayang." Fathan meraih jemari sang istri. Mereka duduk di ruang tengah setelah makan malam dan Zahwa baru saja menyelesaikan hapalannya.
"Ya, Mas?" Bibir Zahwa mengembang sempurna membalas tatapan sang suami.
"Mas perhatikan beberapa hari belakangan ini kamu lebih sering diam. Ada apa?"
"Nggak ada apa-apa. Cuma ada sedikit masalah aja di klinik," elaknya menyadarkan kepala ke bahu sang suami.
"Masalah? Masalah apa?"
"Biasalah. Pasien."
"Benar nggak ada apa-apa?"
"Iya, Mas. Aman." Zahwa melebarkan bibirnya.
Fathan menarik napas dalam-dalam kemudian tersenyum.
"Kamu tahu, Sayang? Banyak hal yang membuat Mas kagum padamu." Fathan merengkuh bahu istrinya membiarkan posisi kepala Zahwa tetap seperti tadi.
"Eum ... ini nggak sedang merayu, kan?" tanyanya mendongak menatap Fathan.
"Nggak dong. Ini serius. Kamu tahu, ada banyak orang yang berpikiran bagaimana bisa menjadi kaya, tetapi kamu berpikir bagaimana bisa menjadi berguna, itu luar biasa, Sayang."
Zahwa tersenyum dengan pipi merona. Pemandangan itu sangat disukai Fathan.
"Mas." Zahwa mengangkat kepalanya dari bahu sang suami dan menatap Fathan.
"Ya, Sayang?" sahut Fathan dengan tatapan hangat.
"Eum ... aku boleh tahu nggak?" tanyanya.
"Tahu apa?"
"Tapi jangan marah ya," pintanya manja.
Fathan tersenyum kemudian menggeleng.
"Marah? Kenapa harus marah? Coba katakan apa yang ingin ditanyakan."
"Apa ... sebelum kenal aku, apa Mas pernah memiliki masa lalu yang belum selesai?"
Kening Fathan mengerut mendengar pertanyaan istrinya. Tak biasanya Zahwa bertanya hal seperti itu. Hampir dua bulan menikah, baru kali ini Zahwa menanyakan pertanyaan yang menurut Fathan di luar kebiasaan.
"Kenapa pertanyaannya seperti itu?" Fathan balik bertanya.
Menggeleng, Zahwa berkata, "Nggak kenapa-kenapa. Cuma pengin tahu aja. Karena ...."
"Karena?"
Perempuan yang mengenakan baju rumahan tanpa lengan itu menunduk. Baru saja dia hidup bersama pria di sampingnya itu. Dia merasakan benih cinta mulai tumbuh seiring dengan kelembutan dan rasa cinta sang suami padanya. Zahwa juga merasa nyaman berada di samping pria bertubuh tegap itu.
Akan tetapi,ada rasa yang diam-diam menyelinap seiring dia mengetahui isi dalam kotak yang dia temukan di laci tempo hari. Rasa cinta itu kini diiringi dengan perasaan cemburu yang diam-diam mengikat dan mengganggu pikirannya.
"Sayang? Kenapa malah diam?" Fathan merangkum wajah Zahwa dengan kedua tangannya.
"Ada yang mengganggu pikiran kamu?" tanyanya mengunci mata sang istri.
Zahwa membalas tatapan matanya mencoba mencari jawab dari rasa penasaran yang mulai memenuhi hatinya. Dia tak ingin ada hal yang disembunyikan antara dirinya dan Fathan.
"Sayang?"
"Sebelumnya aku minta maaf karena sudah lancang membuka kotak kecil yang ada di laci lemari," tuturnya sembari menunduk.
Tampak Fathan mencoba mengingat. Pelan dia melepas tangannya yang membingkai wajah sang istri.
"Maaf, Mas. Waktu itu aku hanya ingin merapikan baju Mas Fathan di lemari karena berantakan, dan nggak sengaja aku ...."
"Sstt, Mas paham. Mas nggak marah kok," potong Fathan kali ini mendekap Zahwa.
Sejenak mereka saling diam. Fathan merasa ceroboh karena membiarkan kotak itu tetap berada di sana bahkan setelah dia menikah.
Sejak lama dirinya ingin memberikan kotak itu kepada ibunya dan menceritakan semua masa lalunya kepada sang ibu. Akan tetapi, karena kesibukan hingga dia melupakan hal itu.
Mengubur kenangan adalah keinginannya setelah menikah, tetapi justru kotak yang dulu penuh arti itu kini menjadikan istrinya bertanya hal seperti ini.
"Apa FN itu inisial nama Abang dengan akhwat lain?"
Fathan mengusap bahu Zahwa kemudian mengecup puncak kepalanya lembut.
"Kamu mau tahu ceritanya?"
Zahwa mengangguk.
"Meski itu semua kini sudah tidak lagi penting?"
Kali ini Zahwa bergeming. Perempuan berkulit putih itu menunduk. Ada dua sisi berbeda di hatinya. Satu sisi sangat ingin tahu kisah cincin itu, dan sisi lainnya mencoba mengabaikan seperti yang diucapkan sang suami jika semuanya sudah tak lagi penting.
"Sayang?"
"Mas, aku rasa Mas benar."
"Benar soal apa?"
"Apa yang jadi masa lalu Mas bukan lagi penting untuk diceritakan, karena ...."
"Karena masa depan Mas ada padamu. Ada bersamamu," sambung Fathan mengeratkan pelukan.
"Dengar, Sayang. Jangan pernah berpikir macam-macam tentang benda itu. Besok Mas mau kasi ke Ibu. Biar Ibu yang akan ... entah disimpan atau dijual, itu terserah beliau. Menurut kamu bagaimana?"
Zahwa mengangkat wajahnya menatap Fathan.
"Terserah aja. Aku ikut apa pun keputusannya. Lagipula mungkin aku yang terlalu cepat mengambil kesimpulan."
Fathan tersenyum. Dia tahu sifat perempuan. Pencemburu salah satunya, dan itu dia temukan pada sang istri.
"Mas nggak mau kamu berpikir macam-macam, karena di sini sudah ada Zahwa Zemira yang akan selalu memenuhi hati Mas," tuturnya seraya meletakkan tangan Zahwa di dada.
Senyum perempuan itu mengembang. Bibirnya mengucap terima kasih pada sang suami.
"Sayang," bisiknya tepat di telinga Zahwa.
"Hmm?" sahutnya memejam menahan geli ketika bibir Fathan menyentuh lehernya.
"Kita ke kamar sekarang ya." Kembali dia berbisik kali ini langsung membopong Zahwa menuju kamar.
"Mas, tapi aku bisa jalan!" pekiknya pelan.
"Mas tahu, anggap ini tawar menawar karena besok pagi mungkin ada yang kesulitan untuk berjalan," kelakar Fathan seraya menutup pintu kamar dengan kakinya.
**
Nabila baru saja keluar dari swalayan setelah pulang dari tempatnya bekerja, tiba-tiba seseorang dari kejauhan memanggil.
"Kamu Nabila, kan?" tanya pria berkepala sedikit plontos menatapnya dengan mata menyipit.
Perempuan berjilbab putih itu balik menatap dengan pandangan yang sama.
"Apa kita kenal?"
Pria itu tertawa kecil kemudian berkata, "Pantas nggak kenal, aku memang sedikit bermasalah dengan rambut."
Mendengar ucapan pria itu Nabila tertawa. Sejenak dia kembali menatap lebih intens.
"Sebentar! Kamu ... Yasir?"
Alis pria itu bertaut kemudian mengangguk.
"Thank you! Akhirnya kamu ingat!"
"Apa kabar! Kamu terlihat seperti eksekutif muda! Keren!" seru Nabila menatap teman lamanya.
"Aku baik! Kamu ...."
"Baik! Kamu tinggal di kota ini?"
"Kebetulan iya."
Nabila tersenyum.
"Kita bisa ngobrol di tempat yang lebih nyaman?" tanya Yasir sedikit ragu.
"Boleh! Tapi aku nggak bisa lama sebab aku buka praktik di rumah jam enam nanti."
"Sure! Kita ngobrol sebentar. Setidaknya aku bahagia bisa ketemu teman lama!"
Yasir lalu mengedarkan pandangan, matanya menangkap kafe kecil yang berada tepat di sebelah swalayan.
"Kita ke sana?" tanyanya.
"Oke!"
Duduk berhadapan saling bertukar cerita membuat mereka terlihat sangat bahagia. Sesekali tawa mereka pecah bersama dan terkadang wajah mereka tampak serius.
"Jadi kamu belum berumah tangga?" Nabila menyesap cokelat hangat di depannya.
"Belum. Aku masih harus menyelesaikan banyak urusan. Kasihan nanti istriku kalau harus sering aku tinggal."
Senyum Nabila melebar.
"Aih, so sweet banget!" timpalnya.
Yasir tertawa kecil.
"Kamu sendiri?"
"Aku? Kenapa?"
"Apa sudah berkeluarga?"
Sambil meletakkan cangkirnya, Nabila mengedikkan bahu.
"Aku nggak mungkin duduk di sini kalau sudah bersuami, Sir. Pasti aku cepat pulang," jawabnya tersenyum miring.
Yasir diam, teringat pertemuannya dengan Fathan beberapa waktu lalu. Ada rasa iba mendengar penuturan Nabila. Meski dia tidak mengetahui apa alasan perempuan itu masih sendiri sampai saat ini, tetapi dia masih bisa mengira-ngira ada hubungannya dengan Fathan.
"Yasir? Kenapa kamu ngelamun?" Nabila melambaikan tangan di depan wajah pria itu.
Yasir tersenyum lebar lalu menggeleng.
"Tapi meskipun masih belum menikah, aku yakin kamu sudah punya seseorang spesial, kan?" selidiknya.
Nabila menaikkan alisnya kemudian tersenyum. Dia memilih tak menanggapi pertanyaan Yasir.
Tahu perempuan di depannya enggan berbicara soal pernikahan, Yasir mengalihkan pembicaraan.
"Jadi gimana? Happy jadi seorang dokter?"
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top