Fatwa Hati 6

Rasa canggung menyelimuti keduanya saat untuk pertama kali berada di kamar yang sama. Zahwa masih lengkap mengenakan pakaian pengantin. Dia duduk menatap cermin terlihat berusaha membuka mahkota kecil di kepalanya. Sementara Fathan telah melepas peci yang bertengger di kepalanya.

"Mau dibantu melepas itu?" tanyanya menunjuk mahkota kecil di kepala sang istri.

Pipinya merona menyadari Fathan memperhatikannya sejak tadi. Mengangguk Zahwa melebarkan bibirnya. 

Perlahan dia membuka hiasan di kepala Zahwa. Terlihat ragu keduanya saling menatap ke arah cermin pada titik yang sama.

"Apa aku nggak belum boleh menatap wajah cantik itu?" tanya Fathan saat selesai melepas hiasan kepala istrinya.

"Kenapa nggak boleh? Bukankah semua yang ada padaku sudah milik Mas?"

Bibir Fathan melengkung sempurna. Perlahan dia menyentuh bahu sang istri.

"Aku bantu buka juga boleh?"

Zahwa mengangguk, lalu memejamkan mata ketika pelan ikatan cadarnya terbuka. Tampak Fathan menahan napas ketika wajah cantik Zahwa begitu dekat dengannya.

"Aku harus memanggil apa padamu? Haruskah kupanggil humaira, seperti panggilan Rasullullah kepada Aisyah?" tuturnya pelan masih menatap ke cermin. 

Dipuji sedemikian rupa membuat rona malu semakin semburat terlihat. Tak membuka mata, Zahwa tunduk menyembunyikan wajahnya, hal itu ditanggapi tawa kecil oleh Fathan.

"Kita salat dua rakaat dulu ya, tapi ...."

"Tapi apa?" Matanya terbuka menatap sang suami.

"Ini dilepas dulu juga, kan?" tanyanya menyentuh puncak kepala Zahwa yang masih berbalut khimar panjang.

Zahwa tersenyum kemudian mengangguk, tetapi kemudian terlihat dia ragu.

"Kenapa?"

"Malu," tuturnya pelan.

Mendengar ucapan sang istri, Fathan kembali tertawa kecil.

"Yang ini mau Mas bantu bukakan juga?" 

Menggeleng Zahwa membalas tatapan suaminya.

"Boleh aku buka di kamar mandi?" tanya mengerjapkan mata.

"Boleh ikut?" goda Fathan.

Manik indah Zahwa membeliak mendengar ucapan pria di belakangnya yang masih terus menatap tanpa jeda.

"Nggak boleh!"

"Katanya tadi semua yang ada padamu milik Mas, jadi ...."

Zahwa menggeleng lalu cepat menyingkir dari dari hadapan Fathan menuju kamar mandi, tetapi tubuhnya tidak cukup kuat untuk menghindari cekal tangan suaminya. Sehingga mereka saling berhadapan tanpa jarak. 

Pelan Fatah mengusap pipi Zahwa membuat perempuan berkulit putih itu memejamkan matanya. Lalu satu kecupan hangat tersemat singkat di bibir sang istri.

"Kita salat dua rakaat dulu," bisiknya tepat di telinga Zahwa.

**

Nabila baru saja selesai menangani pasien terakhir ketika ada panggilan masuk di ponselnya.  Bibirnya terangkat miring mengetahui siapa yang mengirim pesan. Yani, sahabatnya dulu yang kuliah di tempat yang sama. Mereka berpisah karena Yani kembali ke kotanya di luar pulau. Terakhir rekannya itu memberi kabar bahwa telah menikah.

"Halo, Yani. Tumben banget!"

"Iya, Nab, eh apa kabar?"

"Baik. Sebentar, aku harap kamu membawa kabar baik ini setelah sekian lama kita nggak ketemu!"

Terdengar suara tawa Yani dari seberang.

"I'm pregnan!" serunya antusias.

Mendengar kabar kehamilan Yani membuat Nabila ikut gembira. 

"Congratulation, Yani! Aku ikut happy. Serius!"

Nabila teringat dua tahun yang lalu, Yani mengeluh soal dirinya yang tak kunjung hamil. Menurutnya sudah banyak cara yang dilakukan, akan tetapi tetap saja tidak ada tanda-tanda ke arah sana.

"Eh, Nab, aku kan udah hamil nih, kamu kapan?"

Tersadar dari lamunan, Nabila tertawa kecil.

"Kapan apa? Hamil? Nggak usah ngaco! Nikah aja belum."

"Iya, maksudku itu, kamu nikah kapan?"

Nabila menghela napas panjang.

"Kamu kenapa udah kayak mamaku, Yan! Yang ditanyakan itu lagi, itu lagi!" Suaranya terdengar seperti keluhan.

Kembali tawa Yani terdengar.

"Ayolah, Nab. Berpikir logis dong, Nab!"

Kembali Nabila menarik napas dalam-dalam. Selain Nisa, Yani adalah teman yang juga tahu seperti apa kisah asmaranya.

"Please, Yan. Bisa kita bahas topik lain? Misalnya, bagaimana kita bisa ketemuan gitu?"

Tawa Yani pecah.

"Next time. Aku juga kangen pengen ketemu, tapi untuk saat ini sepertinya nggak bisa. Aku harus benar-benar menjaga calon baby aku, Nab."

"Iya juga sih."

"Eh, Nab, kamu ingat Zahwa adik kelas kita?"

"Zahwa? Zahwa adik kelas kita yang mana?" 

"Yang bercadar, yang dulu se-kost sama sama aku! Yang aku pernah cerita dia cantik banget itu loh!"

Sejenak Nabila diam mencoba mengingat.

"Sori, aku nggak ingat, Yan. Emang kenapa dia?"

"Di grup kost-an ada kabar dia udah menikah dengan ustaz muda gitu!"

"Aku nggak tahu, Yan. Emang kenapa?"

Tawa Yani kembali terdengar.

"Nggak kenapa-kenapa, cuma mau ngomporin kamu biar segera menikah!"

Kembali Nabila tersenyum getir. Meski Yani di seberang tidak bisa melihat ekspresi rekannya, tapi dia tahu tanggapan rekannya di sana.

"Sori, Nab. Habisnya aku gemas sama kamu. Kamu itu udah cantik, mandiri, sukses dan konon kata Nisa kamu lagi dideketin seseorang?"

"Yani, kenapa obrolan ini mulai ke mana-mana? Udah sore, waktunya aku pulang. Kita lanjutkan nanti kalau aku sudah di rumah gimana?"

"Oke, Nab. Aku tunggu ya."

**

Satu pekan di rumah keluarga Zahwa, akhirnya Fathan memboyong sang istri ke rumah pribadinya. Rumah dengan desain minimalis modern bercat putih dengan pagar hitam itu terlihat asri dengan tanaman hijau yang menghiasi halaman.

"Ini Mas sendiri yang nanam?" tanyanya saat melihat anggrek yang berbunga.

"Iya. Kenapa? Hebat, kan suamimu ini?" balasnya tersenyum dengan mata melirik ke Zahwa.

"Kita masuk sekarang," ajaknya sambil membuka pintu. 

Kembali Zahwa takjub dengan pemilihan warna dan arsitektur yang dipilih. Semuanya terlihat apik.

"Selamat datang di rumah baru. Di bawah ada dua kamar. Di atas satu," jelasnya seraya menunjuk arah kamar. "Nah itu dapur, kata Ummi kamu pintar masak?" tanyanya.

Zahwa menggeleng cepat.

"Bukan pintar, tapi bisa. Ummi kadang suka gitu," sahutnya.

"Tapi Mas yakin masakanmu enak."

"Sebaiknya jangan terlalu yakin. Ini bukan cuma untuk membuat aku bahagia, kan?"

"Nggak. Beneran!"

Zahwa tersenyum kembali mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan di rumah mereka.

"Kita ke kamar. Ada banyak hal yang harus dilakukan dengan semua barang yang kamu bawa, kan?"

"Kalau Mas, memang sudah hampir semua barang ada di sini," sambungnya lagi.

Mengangguk Zahwa menarik kopernya, tetapi cepat Fathan mencegah.

"Biar Mas yang bawa. Kamu bawa hati Mas aja!" tuturnya menatap lembut pada sang istri.

"Ih! Genit!" cetus Zahwa seraya mencubit lengan suaminya.

"Genit sama istri itu berpahala, Sayang," balas Fathan yang dengan cepat mengecup pipi sang istri.

Tak memberi jeda protes, Fathan mengajak Zahwa menuju kamar. Kamar yang cukup luas dengan jendela kaca dan pintu geser kaca yang menghubungkan ke taman kecil di samping kamar memberi kesan nyaman jika berada di sana.

"Taman itu, Mas juga yang buat?" tanyanya menunjuk taman kecil  yang berada di luar kamar. 

"Ide dari Mas, kalau yang buat tukang."

Tawa Zahwa pecah mendengar jawaban Fathan. Dia membalikkan badan dan kembali menyematkan cubitan kali ini di pipi sang suami.

"Mas Fathan!"

"Kenapa? Kan bener. Kalau Mas yang buat. Bisa-bisa satu bulan nggak ngajar," ujarnya sembari meraih bahu Zahwa dan mendekap erat.

"Sayang."

"Iya?"

"Aku berharap kamu bisa bahagia dengan apa pun kondisinya. Maaf jika aku tempat tinggal ini jauh dari rumah Abi, maaf kalau kamar kita kurang besar bila dibandingkan dengan kamar ...."

"Ssst." Zahwa menempelkan jari di bibir sang suami seraya menggeleng.

"Aku bahagia dengan apa pun kondisinya. Aku bahagia Mas sudah memberikan tempat tinggal yang layak."

Fathan tersenyum lalu kembali memeluk sang istri.

**

Seusai sarapan, Fathan sudah siap kembali mengajar. Sementara Zahwa masih terlihat belum bersiap-siap. 

"Sayang kamu yakin hari ini berangkat siang?"

"Iya. Dokter May sudah bersedia mengganti shift di klinik hari ini," jawabnya seraya merapikan rambut sepunggung yang tergerai. "Aku mau merapikan lemari Mas. Berantakan banget!"

Fathan tersenyum geli menyadari lemarinya yang memang sama sekali jauh dari kata rapi.

"Kalau begitu, Mas jemput nanti ya."

"Mas nggak repot?" tanyanya. "Tadi Mas bilang mau ketemu sama rekanan yang mau bikin kerjasama produk."

"Nggak, itu bisa diatur. Ada Mahmud juga yang bisa menemui mereka dulu."

Zahwa mengangguk paham. 

"Baik-baik di rumah ya, Sayang. Ingat, jangan terlalu capek."

"Iya, Mas," balasnya seraya mencium punggung tangan sang suami.

Mengecup bibir kemudian kening Zahwa, Fathan melangkah menuju pintu untuk berangkat mengajar.

**

Zahwa menggeleng dengan tawa kecil melihat isi lemari suaminya. Hal yang tak jauh beda dengan keluhan kakak-kakak iparnya soal lemari. Terbesit di pikirannya apa semua pria memang enggan meski sekadar merapikan baju mereka?

Sambil menggeleng dia mengeluarkan satu per satu baju Fathan. Tak banyak, tetapi menurutnya akan menghabiskan waktu hingga shif-nya tiba.

Setelah dirasa semua sudah berada di luar. Dia kemudian membuka laci yang ada di dalam lemari itu. Ada beberapa berkas dan kotak kayu kecil yang berukir di dalamnya. 

Kening Zahwa berkerut menatap kotak itu. Pelan dia mengambil, lalu mengamati detail ukiran di sana. Ada dua inisial terbaca olehnya, FN.

"FN? Siapa FN?" gumamnya. 

Rasa penasaran menggelegak membuatnya membuka kotak itu.

Kali ini matanya menyipit. Ada cincin emas polos di dalamnya, dan lagi-lagi di bagian dalam benda  itu terdapat gravir inisial yang sama, FN.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top