Fatwa Hati 25


Kedua alis Aliyah bertaut, wajahnya seakan tak percaya dengan yang didengar.

"Kamu bicara soal khulu'?"

"Iya, Umi," jawabnya mengangguk.

"Kenapa? Kenapa kamu meminta khulu'?"

"Zahwa sudah cukup bersama Naufal, biarkan Mas Fathan dengan hidup dengan Nabila, perempuan masa lalu yang memiliki arti di hatinya."

Aliyah terlihat berhati-hati menanggapi. 

"Zahwa, hal ini butuh pembicaraan yang panjang dan pemikiran yang matang. Kamu Jagan memikirkan diri sendiri, coba lihat Naufal, dia masih sangat kecil dan masih sangat membutuhkan kehadiran kedua orang tuanya yang utuh."

"Tapi Zahwa ingin menjaga Mas Fathan agar tidak menjadi berat sebelah."

Perempuan yang mengenakan gamis biru gelap itu menarik napas panjang. Dia tahu apa yang dipikirkan Zahwa. Sebagai perempuan tentu akan sangat sulit menerima kenyataan jika ternyata suaminya sudah menikah lagi. 

Akan tetapi, apa yang sudah dilakukan Fathan itu bukan karena memang benar-benar berniat untuk berta'addud. Semua yang terjadi benar-benar di luar rencana manusia.

"Umi menyerahkan semua keputusan padamu. Kamu sudah dewasa dan tahu apa yang harus dilakukan. Hanya saja, Umi tidak mau melihat Naufal tumbuh tanpa seorang Ayah yang seharusnya mendampinginya."

Zahwa mengangguk. Matanya kembali menatap sang putra. Baginya, Naufal akan tetap tumbuh dengan pendampingan seorang Ayah. Fathan akan memiliki waktu untuk membersamai putranya, tanpa harus hidup serumah dengan dirinya.

"Naufal tidak akan kehilangan kasih sayang seorang ayah, Mi. Membesarkan Naufal tetap Zahwa dan Mas Fathan, tetapi tidak dalam satu rumah yang sama," paparnya yakin.

Aliyah tak menanggapi. Ada perih terasa di hati mendengar penuturan Zahwa. Bukan karena dia marah dengan kalimat putrinya, tetapi Aliyah memikirkan bagaimana nasib cucunya jika itu benar terjadi.

"Kapan kamu akan menemui suamimu?"

"Besok masih Jumat, 'kan, Mi?"

"Iya."

"Besok Zahwa mau ketemu Abi, Mas Fathan ke pondok Sabtu, 'kan?"

Aliyah mengangguk.

"Insyaallah Sabtu Zahwa menemui Mas Fathan, Mi."

Aliyah kembali mengangguk, tetapi parasnya kali ini tampak lega.

**

Semua kesedihan hilang saat menatap binar bening mata Naufal. Zahwa tampak sangat menikmatinya setiap tahap perkembangan putranya. Termasuk hari ini, Naufal seolah ingin memberikan kejutan untuk abinya besok. Bayi tampan itu sudah bisa memiringkan badannya. Hal itu membuat Zahwa terkejut bercampur gembira.

"Umi! Lihat sini, Naufal sudah mulai memiringkan badannya!" pekiknya tak mampu menyembunyikan rasa bahagia. "Alhamdulillah!" imbuhnya mengucap syukur.

"Masyaallah, Naufal pinter anak Umi." Dia bertepuk tangan pelan dengan mata menatap hangat pada putranya. 

"Nanti kalau Nenek muncul, Naufal show on lagi, ya, Nak," ujarnya menoleh ke pintu, tetapi pintu tetap tertutup. Itu artinya Maryam tak mendengar panggilannya.

"Zahwa." Suara abinya terdengar. "Buka pintunya, Nak."

"Masuk aja, Bi. Pintunya nggak dikunci!" sahutnya tanpa mengalihkan perhatian ke Naufal.

Pintu terbuka, Zahwa tak menoleh, dia masih bercengkerama dengan sang putra.

"Naufal sayang, coba tunjukan ke Kakek kalau Naufal sudah bisa memiringkan badan, Nak. Biar Kakek tahu kalau anak Umi semakin pintar," tuturnya menatap iris bayi berkulit putih itu.

"Anak Abi juga, 'kan pastinya?" Suara seseorang yang begitu dia rindukan tiba-tiba terdengar. 

Gegas dia meraih khimar yang berada di samping, tetapi gak terlaksana karena suara Fathan mencegahnya.

"Aku suamimu dan akan tetap menjadi suamimu. Kamu nggak perlu menyembunyikan keindahanmu."

Zahwa membeku, dia tampak ragu untuk menoleh. Tangannya tetap berada pada genggaman Naufal, sementara matanya terlihat berkaca-kaca.

"Zahwa ...." Fathan mendekat mencoba menyentuh bahunya. "Zahwa ini aku, kenapa kamu bersembunyi? Kenapa kamu membiarkan aku merindu?"

Tangan Fathan berada di bahu Zahwa. Sementara Zahwa tetap pada posisinya, diam tak menoleh.

"Terima kasih sudah memberikan aku kejutan yang luar biasa." Fathan duduk di bibir ranjang, senyumnya merekah melihat sang putra yang juga tengah memperhatikan dirinya.

Tanpa memedulikan Zahwa yang masih membeku, dia menggendong Naufal dan menghujani bayi tampan itu dengan ciuman. 

"Anak Abi ... maafin Abi, ya, Sayang. Maafin Abi yang tidak pernah berhasil menemukan Umi dan Naufal," tuturnya dengan suara bergetar. Tampak Fathan pun diliputi rasa emosional. Kerinduannya pada Zahwa dan perasaan gembira karena melihat putranya begitu sehat dan sangat menggemaskan.

"Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan, Zahwa. Kumohon kamu bersedia mendengarkan," tuturnya setelah puas mencium Naufal.

"Kenapa kamu tidak langsung menghubungiku saat sudah sadar?" Suara Fathan lembut menyapa telinganya. 

"Aku ... aku nggak ingat nomor teleponmu, Mas," jawabnya lirih sembari meraih tangan sang suami dan mencium punggung tangannya.

Fathan mengusap puncak kepala Zahwa sembari tersenyum. Ada paras lega dan bahagia tergambar di sana.

"Lalu kenapa kamu tidak segera mengabari jika kamu sudah bersama Abi dan Umi?"

Tenggorokan Zahwa seolah kering, dia tak mampu menjawab pertanyaan suaminya.

"Kenapa? Apa kamu membenciku?"

Mata beningnya kembali berkaca-kaca. Bagaimana mungkin dia membenci Fathan jika dalam hatinya dipenuhi oleh rasa indah pada ayah dari putranya itu?

"Naufal ... kamu memberinya nama yang bagus!" Fathan kembali menatap Naufal yang terlihat sedang tersenyum membalas tatapannya.

"Maafkan aku, Mas ," gumam Zahwa lirih. "Aku nggak membencimu, tapi ini caraku untuk menjaga rumah tangga kalian," imbuhnya. 

Fathan menarik napas dalam-dalam. Dia meletakkan Naufal kembali ke ranjang kemudian meraih jemari Zahwa.

"Abi sudah menceritakan semuanya, 'kan?" Dia berusaha menatap wajah sang istri yang sejak tadi tunduk.

Zahwa mengangguk, tetapi menolak mengangkat wajah meski Fathan mencoba menyentuh dagunya.

"Sekarang kamu harus mendengarkan ceritaku, tapi mungkin agak panjang, jadi ada baiknya Naufal tidur dulu."

Zahwa menggeleng. "Naufal baru saja bangun. Mas cerita aja, nggak apa-apa."

Fathan mengusap tengkuknya. Biar bagaimanapun, Zahwa tetap seorang perempuan yang terkadang memang ingin selalu dipahami. Fathan hanya tak ingin saat dia bercerita, Naufal menangis dan akhirnya harus tertunda.

"Oke, aku ... aku tidak bahagia." Terdengar dia menghela napas dalam-dalam. "Kupikir dengan menjalankan amanat almarhum ibunya, aku bisa menemukan apa yang aku cari semenjak kepergianmu, tapi itu semua tidak kudapat."

Zahwa mengatupkan bibirnya. 

"Aku tidak sedang membela diri atau mencari pembenaran, tapi itu yang terjadi sebenarnya."

"Dia selalu takut mendengar cerita orang-orang tentang kamu, dia selalu khawatir aku ...."

"Masih mengingatku?" potong Zahwa kali ini perlahan mengangkat wajahnya.

Melihat paras sang istri yang begitu dirindukan, Fathan sontak meraih tubuh Zahwa dan membawanya ke dalam dekapan. Kali ini giliran Zahwa yang mendapatkan ciuman bertubi-tubi darinya.

"Aku sangat rindu, Zahwa. Kesedihanku yang dilihat orang lain itu sebenarnya jauh lebih dalam dari yang mereka tahu. Aku benar-benar patah," tuturnya mengeratkan pelukan. "Selama itu kamu tidak ingat apa pun, selama itu pula aku benar-benar tak bisa menerima berita jika kamu telah hilang."

"Aku bahagia kamu kembali, dan lebih bahagia lagi karena kamu membawa Naufal," imbuhnya.

Zahwa mengurai pelukan. "Aku juga bahagia Mas baik dan sehat, tapi aku nggak mau berharap banyak. Sebaiknya kita tidak perlu berlebihan bersukacita."

"Kenapa?"

"Nabila, Mas. Ternyata ... dia perempuan yang sudah Mas siapkan cincinnya waktu itu, ya?" Zahwa tak sanggup menyembunyikan cemburunya meski dirinya berusaha menekan rasa itu.

Fathan memejamkan mata. Tangannya kembali meraih jemari sang istri.

"Aku akan bicara dengan dia, aku akan ...."

"Akan apa? Aku sudah memiliki Naufal, Mas. Mas bisa tetap membersamai dia. Dia hanya butuh orang yang bisa mengerti dan memahami itu yang kutangkap dari ceritamu."

"Maksud kamu?"

Bibir Zahwa bergetar, dadanya terasa sesak, napasnya sedikit tersengal.

"Apa maksud dari ucapanmu barusan?" Fathan kembali bertanya.

Zahwa membisu, sementara Naufal menggerak-gerakkan kedua tangan dan kakinya.

"Jangan bilang kamu ingin berpisah. Jangan bilang kamu mau ...." Fathan menggeleng cepat. "Nggak, Zahwa! Wallahi aku nggak akan melakukan itu, nggak! Aku nggak akan membiarkan kita kembali terpisah."

☕☕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top