Fatwa Hati 24


Fathan membuka pintu kamar, dia melihat sang istri masih sibuk dengan ponselnya.

"Hei, kirain sudah tidur." Fathan duduk di ranjang di samping Nabila.

"Kamu lama amat ngobrolnya. Ngobrolin apa, sih?" tanyanya tanpa menoleh.

Bibir Fathan melebar, sambil mengusap kepala dia menjawab, "Kami ngobrol tentang 

banyak hal."

"Apa aku juga termasuk dalam obrolanmu dengan mereka?" selidiknya dengan mata masih fokus ke layar handphone.

Fathan mengedikkan bahu.

"Pasti salah satu obrolan kalian adalah menanyakan kapan aku hamil, betul, 'kan?" Nabila menoleh setelah meletakkan ponsel ke lemari kecil di samping ranjang. "Betul, 'kan?" ulangnya.

Fathan menggeleng. "Kamu ini kenapa, sih? Kenapa selalu over thinking, heum? Ada apa? Kamu yang kukenal dulue nggak begini. Ada apa sebenarnya?" Dia memiringkan tubuh menghadap sang istri.

"Kamu nggak tahu rasanya jadi aku, 'kan? Kamu nggak tahu rasanya bagaimana caranya supaya aku bisa segera hamil untuk meneruskan keturunan?" Nabila berujar sengit.

Menarik napas dalam-dalam, Fathan lalu mengusap tengkuknya. "Nabila, cukup! Berhenti over thinking seperti ini. Siapa bilang Ayah dan ibuku membicarakan seperti apa yang kamu simpulkan tadi. Nggak! Kami sedang membicarakan hal lain, dan nggak ada hubungannya denganmu, Nabila." Dia tampak sedang menahan kesal melihat reaksi sang istri yang menurutnya berlebihan.

"Kamu sedang mencoba menghiburku, 'kan?" Nabila melipat kedua tangannya di dada.

"Astaghfirullah, Nabila! Kamu sadar nggak? Apa yang baru saja kamu ucapkan itu sama dengan kamu berprasangka buruk pada Ayah ibuku." Kembali Fathan menarik napas dalam-dalam. "Tolong, berhenti bersikap seolah orang tuaku adalah musuhmu. Mereka itu orang tuaku, juga orang tuamu. Mereka sayang padamu, mana mungkin mereka berucap sesuatu yang membuatmu terluka."

Fathan meraih tangan istrinya, tetapi Nabila menepis.

"Aku tertekan, Mas! Sampai saat ini aku belum juga hamil."

"Apa aku pernah memintamu untuk segera hamil? Nggak, 'kan?"

"Berhenti mencari celah seolah dunia dan siapa pun itu sedang menatap dan membandingkanmu. Nabila, kamu pasti tahu soal kepasrahan, 'kan? Biarkan semua berjalan seperti yang sudah digariskan! Kamu nggak bisa memaksa semua yang terjadi harus seperti yang kamu inginkan!" imbuhnya.

"Zahwa beruntung dicintai banyak orang, dan bahkan mereka sulit melupakan, termasuk kamu, 'kan, Mas?"

Fathan mengacak rambutnya. Dia semakin merasa Nabila terlalu berlebihan menyikapi soal kehamilan dan semua yang seharusnya tidak dia permasalahkan.

"Allah itu selalu adil, Nabila. Manusia saja yang selalu tidak puas dengan apa yang diberi. Kita dulu pernah berdoa dan berharap untuk dipersatukan, bukan? Kini Dia sudah mengabulkan, dan apa yang terjadi?" Fathan menggeleng. "Apa ketentraman yang kita rasakan? Kamu selalu mengulik soal Zahwa, sementara aku ... aku harus menghadapi semua tuduhanmu tentang aku soal Zahwa. Di mana sakinah itu, Nabila? Cobalah untuk menyadari bahwa ini yang pernah kita minta, dan kita harus mengusahakan untuk menunjukkan bahwa kita bertanggung jawab untuk itu. Allah itu adil!"

"Tapi Zahwa bisa dengan cepat hamil, ya meski dia sudah nggak ada lagi sekarang! Lalu apa kamu merasa tidak nyaman saat bersamaku? Terus kenapa kamu mau menikahiku?"

Kembali Fathan beristighfar. "Kamu bilang, kamu nggak mau lagi membicarakan soal Zahwa, tapi kenapa kamu sendiri yang terus membandingkan dirimu dengan dia?"

"Coba kamu cerna dengan baik apa yang aku katakan tadi, ketentraman aku nggak dapatkan itu karena kamu selalu mengaitkan semuanya pada Zahwa. Kamu sendiri yang bilang kalau Zahwa sudah tidak ada, 'kan?" Paras Fathan tampak memerah. "Apa lagi sebenarnya yang kamu khawatirkan?"

"Karena aku merasa separuh dari dirimu masih mengingatnya, Mas!" Suara Nabila meninggi. "Aku merasa dia selalu menjadi bayang-bayangmu!"

Fathan memijit pelipisnya, pelan dia bergeser dan bangkit dari ranjang. "Istirahatlah, aku mau menghirup udara segar di luar."

Nabila bergeming, sementara Fathan tanpa menoleh, kembali menutup pintu kamar dari luar. Akan tetapi, tanpa sepengetahuannya, Maryam yang berniat mengambil minum di dapur, mendengar keributan anak dan menantunya. Terdengar tak begitu jelas memang, tetapi dia tahu apa yang menjadi topik pertengkaran keduanya.

Perempuan paruh baya itu menarik napas dalam-dalam kemudian kembali ke kamar. Maryam tak ingin Fathan tahu jika pertengkaran itu telah diketahuinya.

**

Aliyah tertawa kecil mendengar Naufal susah mulai mengeluarkan suara-suara khas bayi. Berkali-kali dia mengusap gemas pipi dan hidung mancung cucunya.  

"Dia tampan sekali, Zahwa. Masyaallah!" 

Senyum Zahwa terbit. Sambil mengedikkan bahu, dia berkata, "Umi sudah berulangkali mengatakan hal yang sama."

Aliyah tertawa kecil. Dia membiarkan jari telunjuknya dipegang erat oleh Naufal.

"Zahwa."

"Iya, Mi?"

"Sampai kapan kamu mau bersembunyi dari suamimu?"

Zahwa membuang napas perlahan. Sudah hampir dua bulan dia berada dalam persembunyian. Selama itu pula dirinya belum sanggup bertemu Fathan.

"Entahlah, Umi. Zahwa masih belum bisa menemuinya."

Aliyah mengangguk paham. Putri bungsunya itu memang selalu tak ingin orang lain terluka, dia selalu berusaha membuat orang lain bahagia meski dirinya harus merasakan sakit.

"Kamu nggak bisa seperti ini, Nak. Kamu egois namanya."

"Tapi, Mi, akan lebih egois lagi kalau Zahwa muncul dan Nabila ...."

"Jika itu yang jadi pertimbangan, Umi paham, tapi ini untuk Naufal, Zahwa. Dia berhak kenal abinya, demikian pula sebaiknya." Aliyah menatap lekat putrinya. "Fathan pasti akan bertindak bijak dalam hal ini."

Zahwa memilih diam, demikian pula dengan Aliyah. Hanya terdengar celoteh suara Naufal di kamar luas bernuansa hitam putih itu.

"Setidaknya kita semua tidak terlalu lama membohongi suamimu." Aliyah kembali bersuara. "Karena semakin lama kita berbohong, maka semakin besar pula kebohongan yang kita sembunyikan."

Zahwa masih diam. Jemarinya bertaut dengan mata menatap Naufal.

"Kemarin Bu Sofi cerita kalau Fathan heran dengan roti sisir kesukaanmu yang selalu habis diborong Aminah."

Zahwa mengangkat kepala menatap uminya. "Lalu Syarifah yang berulangkali ditanya soal bacaannya yang mirip dengan bacaanmu," papar Aliyah lagi. 

"Dan terakhir abimu." 

"Abi kenapa, Umi?"

"Abimu tidak sengaja mengirim foto Naufal ke Fathan. Padahal niatnya ingin mengirimkan ke Syamil."

"Apa, Mi? Abi salah kirim?"

Aliyah mengangguk. "Fathan heran melihat foto itu karena menurutnya, bayi itu begitu mirip dengan dirinya."

"Lalu apa yang Abi katakan ke Mas Fathan?"

Aliyah mengusap lembut kepala cucunya. "Abi cerita kalau dia bernama Naufal."

"Lalu, Mi?"

"Sudah begitu saja. Abi tidak melanjutkan pembicaraan karena ada Kiyai Rofi' datang berkunjung."

Zahwa menghela napas lega. Meski begitu, dia yakin cerita soal Naufal tidak berhenti di situ, Zahwa yakin jika Fathan akan menanyakan lagi ke abinya. 

"Kamu nggak mau abimu berbohong di depan Fathan, 'kan?"

Zahwa menggeleng. "Baik, Mi, Zahwa akan menghubungi Mas Fathan segera."

Aliyah tersenyum. 

"Tapi, Mi."

"Apa?"

"Apa boleh Zahwa meminta khulu' dari Mas Fathan, Mi?"

☕☕

Terima kasih untuk semua dukungan dan apresiasi teman-teman.

Dobel update done, yaaa. Love you all. 🫶

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top