Fatwa Hati 23
Aliyah menaikkan kedua alis mendengar penuturan Nabila.
"Kalau Umi keberatan, nggak apa-apa."
Aliyah menggeleng. "Umi nggak keberatan sama sekali. Ayo, ikut Umi. Kamar Zahwa ada di sebelah musala rumah ini," tuturnya ramah.
Nabila menghela napas lega, dia mengangguk kemudian melangkah mengekor Aliyah. "Kamar ini setiap hari selalu dibersihkan, setiap dua pekan, gorden, sprai dan semuanya diganti," terangnya sesaat setelah membuka pintu.
Sejenak Nabila menoleh. "Boleh saya masuk, Umi?"
Aliyah mengangguk memberi isyarat agar istri Fathan itu masuk. Nabila menyapu setiap sudut kamar, tak ada foto pernikahan selayaknya yang ada di kamarnya. Dinding bercat putih itu hanya ada kalimat tauhid dan beberapa pigura yang membingkai piagam penghargaan Zahwa.
"Semenjak Zahwa pergi, kamar ini kosong," jelasnya.
Nabila mengangguk sembari terus mengamati kamar itu.
"Umi, kenapa nggak ada foto Zahwa? Atau foto saat Mas Fathan menikah dengan Zahwa?" Nabila membalikkan badan menatap Aliyah yang masih berdiri di depan pintu.
Aliyah menggeleng. "Zahwa sangat berhati-hati soal itu."
"Maksudnya?"
"Soal memajang foto, Zahwa memilih tidak memajangnya meski di kamar, karena dia khawatir foto-foto itu akan menjadi tempat tinggal jin."
Bibir Nabila membulat.
"Dia menyimpan semua foto di album atau di laptopnya."
Kembali bibirnya membulat kali ini sembari mengangguk. Matanya kembali menelisik semua yang ada di kamar Zahwa. Dia mencoba mencari celah untuk bisa membuktikan ucapan Yani soal Zahwa sudah kembali.
"Umi, ini apa?" Dahinya mengernyit saat melihat sarung tangan bayi yang berada di kolong meja rias. "Ini sarung tangan bayi, 'kan, Mi?" Nabila mengambil dan mengamati benda berwarna biru tersebut.
Aliyah awalnya terkejut, tetapi kemudian dia mengangguk dan tersenyum.
"Punya siapa, Mi? Umi bilang semenjak Zahwa pergi kamar ini tidak ada yang menempati, 'kan?"
"Betul, dan benda itu punya Zaki, anaknya Syamil."
Nabila menatap Aliyah.
"Kemarin mereka ke sini, dan menginap."
Mengangguk paham, Nabila menyerahkan sarung tangan bayi itu kepada Aliyah. "Kirain punya Zahwa," ujarnya sambil tersenyum tipis.
"Zahwa? Untuk apa dia menyimpan sarung tangan bayi?" Aliyah mulai merasa jika ada yang sangat ingin Nabila ketahui.
"Mungkin Zahwa dan Mas Fathan pernah membeli karena menginginkan keturunan."
Nabila kemudian duduk di depan meja rias. Matanya terus menelisik.
"Nabila, Umi pikir kamu sudah tahu seperti apa kamar Zahwa, sekarang gimana kalau kita menikmati kudapan yang sudah disediakan?"
Menarik napas dalam-dalam, Nabila mengangguk.
**
Wajah Bu Sofi berseri melihat Fathan muncul. Sigap dia menyeduh kopi hitam untuk menantu Ustaz Soleh tesebut.
"Lama sekali nggak mampir, Ustaz." Ucapnya sembari menyodorkan secangkir kopi hitam.
"Iya, Bu. Ini pas ada waktu jadi saya sempatkan mampir mencicipi kopi Bu Sofi." Fathan tersenyum lalu perlahan menyesap kopinya.
"Alhamdulillah, Ustaz masih mah mampir. Oh iya, kabar istrinya gimana, Taz? Sehat?"
"Sehat, Bu."
Mengucap syukur, perempuan berjilbab cokelat muda itu kembali bertanya, "Eum, apa ada kabar baik, Taz?"
"Kabar baik? Kabar baik soal apa?"
"Apa Bu Dokter Nabila sudah isi? Eum, maksud saya, apa Bu Dokter Nabila sudah hamil?" tanyanya sambil tertawa kecil.
Fathan menggeleng pelan menanggapi. "Sepertinya Allah belum mengizinkan kami untuk saat ini, Bu."
Bu Sofi terlihat merasa bersalah atas pertanyaan yang baru saja dia lontarkan.
"Maaf, Ustaz, saya nggak bermaksud ...."
"Nggak apa-apa, pertanyaan yang Bu Sofi utarakan tadi wajar, kok. Nggak masalah," sela Fathan kemudian kembali meneguk kopinya.
"Bu?" Fathan menyapu meja kantin dengan matanya. Dia tak melihat roti sisir kesukaan Zahwa di sana.
"Iya, Taz?"
"Ke mana roti sisir kesukaan Zahwa, Bu? Jangan bilang Ibu tidak lagi menjualnya."
Tawa Bu Sofi berderai, sambil menggeleng dia berkata, "Susah habis, Mas. Diborong tadi sama Bu Aminah."
Mata Fathan menyipit. "Bu Aminah? Bu Aminah siapa? Dia borong semua roti sisir?"
Sofi mengangguk.
"Bu Aminah, itu orang tua santri baru, Taz, jadi Bu Aminah ini yang menolong ...."
"Assalamualaikum, Bu Sofi, bisa buatkan saya kopi juga seperti Ustaz Fathan?" Ibrahim tiba-tiba muncul dan duduk di sebelah Fathan.
Melihat Ibrahim, sontak Sofi menepuk dahinya menyadari jika hampir saja dia salah bicara.
"Ya Allah, hampir saja aku kelepasan bicara!" gumamnya kemudian mulai meracik kopi yang dipesan Ibrahim.
"Apa kabar, Fathan?" Ibrahim menjabat tangan adik iparnya erat.
"Baik, Taz. Antum?"
"Alhamdulillah."
Keduanya sejenak saling diam.
"Ustaz."
"Ya?"
"Entah kenapa saya merasa Zahwa ada di sini."
Ibrahim memiringkan kepalanya menelisik Fathan. Dia tentu saja sepakat dengan ucapan Fathan, karena memang adiknya itu benar-benar ada dan sudah pulang, bahkan bersama dengan Naufal, putra Fathan.
"Sudah sekian lama semenjak Zahwa pergi, dan kamu masih merasa dia ada?"
Fathan bergeming, dia lalu menghirup udara perlahan. "Entah kenapa hari ini terasa dia begitu dekat."
Sofi muncul membawa secangkir kopi untuk Ibrahim.
"Eum, Bu Sofi!" panggil Fathan saat perempuan paruh baya itu hendak kembali masuk.
"Iya, Ustaz?"
"Tadi Ibu bilang soal Ibu Aminah menolong ... menolong siapa, Bu?"
Wajah perempuan bertahi lalat di dahi itu tampak pias. Matanya menatap Ibrahim sejenak lalu cepat menggeleng.
"Bukan siapa-siapa, Ustaz, Ibu Aminah itu kemarin menolong saya waktu hampir saja jatuh saat membawa belanjaan untuk mengisi kantin," paparnya sembari tersenyum gamang.
Fathan mengangguk-angguk kemudian tersenyum. "Makanya hati-hati, Bu, lain kali kalau lagi bawa banyak belanjaan gitu ajak Pak Imam," ujarnya menyebut nama suami Sofi.
Paras Sofi tampak lega, pun demikian dengan Ibrahim. Ternyata ucapan Ustaz Soleh benar, menyembunyikan Zahwa memang tidak mudah.
**
Zahwa tersenyum lebar mendengar penuturan Aminah. Menurut ibu dari Syarifah itu, dia tadi bertemu dengan Nabila dan Fathan.
"Ibu bercakap-cakap dengan mereka?"
Aminah menggeleng. "Saya hanya melihat dari jauh, Mbak. Mana berani saya bercakap-cakap. Siapa saya, Mbak," ungkapnya polos.
"Siapa Ibu? Ibu orang baik yang sudah menyelamatkan saya, Bu. Kita ini semua sama, nggak ada siapa dia siapa saya." Zahwa membuka satu bungkus roti sisir kesukaannya.
"Mbak Zahwa."
"Iya?"
"Tadi Bu Sofi bertanya banyak soal Mbak, dan ini uangnya." Dia menyerahkan satu lembar uang kertas berwarna merah.
"Loh, ini, 'kan untuk beli roti ini, Bu. Kenapa dikembalikan?"
"Bu Sofi nggak mau terima. Katanya ini sebagai ucap syukur atas kembalinya Mbak Zahwa."
Zahwa menarik napas dalam-dalam. Ingatannya kembali pada Fathan yang kala itu pernah menghadiahinya roti sisir. Ada bahagia saat mengingat kenangan bersama suaminya, akan tetapi tak bisa dipungkiri ada luka yang tak kalah hebat menggores hatinya.
"Mbak."
"Iya, Bu?" Zahwa meletakkan rotinya ke meja. "Ada apa?"
Aminah tampak ragu.
"Ada apa, Bu? Ibu mau menyampaikan sesuatu?"
"Eum ... Naufal mirip sekali dengan abinya, ya, Mbak."
Tertawa kecil, Zahwa mengangguk. "Ya karena Naufal putranya, Bu."
"Iya, Mbak, maksud saya kalau Ustaz Fathan tahu, dia pasti sangat bahagia dan sangat sayang ke Naufal."
Zahwa mengatupkan bibirnya. Jika dia mau, bahkan sejak dirinya menginjakkan kaki kembali ke pondok pun dirinya bisa saja langsung bertemu dan mempertemukan Naufal dengan abinya.
"Mbak pasti memikirkan Mbak Nabila, 'kan?"
Zahwa tak menjawab, matanya terpaku pada Naufal.
"Mbak Zahwa, biar bagaimanapun, Mbak adalah istri Ustaz Fathan, Mbak."
"Saya tahu, Bu, tapi biarkan Mas Fathan yang menemukan saya dengan caranya. Saya tidak mau muncul tiba-tiba, itu akan membuat masalah bagi baginya dan Nabila."
**
[Aku nggak melihat tanda-tanda Zahwa ada di rumah dia, Yan!] Nabila mengirim pesan untuk Yani.
Seusai makan malam, dia memilih beristirahat di kamar daripada duduk bercengkerama dengan mertuanya dan Fathan. Bagi Nabila dia ikut Fathan ke kota ini untuk menyelidiki kebenaran akan Zahwa.
Jika bukan karena itu, tentu dirinya enggan. Karena sampai detik ini pun di pesantren, dia tak bisa mencegah untuk mendengar nama Zahwa disebut.
[Mungkin aku yang salah orang, Nab.]
[Kalau memang dia udah balik, nggak mungkin seluruh keluarganya menutupi kebenaran itu, 'kan?]
[Udahlah, Nab, kamu nggak perlu sibuk mencari tahu, toh kalau memang dia benar-benar ada, kamu sudah dan tetap jadi istri Fathan, 'kan?]
☕☕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top