Fatwa Hati 22

Kedatangan Nabila disambut hangat oleh kedua mertuanya. Maryam terlihat sangat gembira melihat anak dan menantunya berkunjung. Karena biasanya hanya Fathan saja yang datang.

"Ayah mana, Bu?" taya Fathan setelah meletakkan koper mereka di kamar.

"Ayah tadi ditelepon sama kawannya, ada acara amal di yayasan milik Pak Farid."

Maryam menatap menantunya dengan mata berbinar.

"Ibu senang kamu datang, Nabila. Bagaimana perjalanannya?" 

"Alhamdulillah, lancar, Bu. Maaf, baru kali ini  bisa ikut Mas Fathan, saya sibuk banget, Bu," jawabnya setelah mencium punggung tangan mertuanya.

Mengulas senyum, Maryam mengangguk.

"Iya, nggak apa-apa. Ibu paham, kok. Ya, sudah, sekarang kamu istirahat. Kamar kalian sudah ibu siapin."

Fathan menatap istrinya. "Kamu istirahat aja dulu. Aku harus  langsung ke pondok. Besok kalau kamu mau, kita bisa pondok bareng."

Nabila mengernyit kemudian menggeleng.

"Aku ikut kamu ke pondok, boleh, 'kan?" 

Fathan menatapnya heran. Lagi-lagi menurutnya sikap sang istri sangat berbeda. Padahal sebelumnya, Nabila paling enggan ke pesantren, bahkan dia tidak ingin dengar apa pun yang berhubungan dengan pondok milik Ustaz Soleh itu.

"Kenapa? Nggak boleh? Kamu keberatan kalau aku ikut?"

Fathan menatap ibunya yang masih berhadapan dengan mereka berdua.

"Bukan keberatan, tapi kita baru saja sampai, dan aku khawatir kamu kecapekan, terus sakit." 

"Nggak aku nggak capek, kok. Lagian aku sudah kangen juga sama suasana pondok." Nabila melipat kedua tangannya di dada. "Nggak apa-apa, 'kan, Bu? Kalau Nabila ikut Mas Fathan?"

Maryam menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk. "Nggak apa-apa, asal kamu nggak merasa lelah, nggak apa-apa."

Nabila menoleh ke suaminya sembari mengedikkan bahu. "Tuh, Ibu bilang nggak apa-apa, kok!"

"Oke, ayo sekarang kita berangkat!"

**

Fathan tersenyum melihat Ustazah Aliyah yang menyambut hangat kedatangan Nabila. Sementara Rafidah hanya menarik singkat bibirnya lalu kembali masuk.

"Kamu sudah sejak tadi ditunggu santri, Fathan."

"Iya, Umi, Fathan ke masjid dulu."

Perempuan bergamis hitam itu mengangguk. "Kamu di sini aja, kita bisa berbagi cerita," tuturnya pada Nabila.

Sejenak Nabila menatap Fathan lalu kemudian mengangguk. 

"Fathan ke pondok dulu, Umi."

Sepeninggal Fathan, Nabila dipersilakan Aliyah untuk menikmati camilan yang sudah disediakan di meja. 

"Alhamdulillah, Umi senang sekali kamu bisa ke sini mengunjungi Umi." 

Nabila meletakkan cangkir teh hangatnya kembali ke meja. Matanya menyapu seluruh ruangan seakan tengah mengamati sesuatu.

"Saya juga senang bisa berkunjung, Umi." Dia menatap Aliyah yang juga tengah menatapnya.

"Sebenarnya beberapa waktu setelah kamu meninggalkan klinik, ada banyak yang bertanya, kenapa kamu pergi mendadak."

Nabila menarik kedua sudut bibirnya. 

"Jadi sekarang siapa yang melanjutkan klinik, Mi?"

"Dokter Kayla sama suaminya. Mereka berdua dulu alumnus sini. Yang laki-laki alumnus pondok putra sementara yang perempuan alumnus pondok putri. Yang laki-laki putra Kiyai Rofi'."

Maryam membuang napas perlahan. Dia tahu benar bagaimana menghadapi Nabila. Bukan dia tak tahu seperti apa Nabila dipandangan masyarakat sekitar pondok. 

Meski tak secara langsung, tetapi dari ungkapan beberapa warga dekat membuat Maryam bisa mengambil kesimpulan bagaimana dan seperti apa kepribadian istri menantunya itu.

"Mereka sebenarnya ingin kenal lebih dekat dengan kamu, Nabila."

"Iya, Umi, karena di Surabaya pun saya punya tanggung jawab yang besar. Lagipula ... di sini sudah bisa menemukan pengganti, 'kan?" Dia tersenyum sembari kembali meneguk minuman di depannya.

Maryam mengangguk. "Iya, alhamdulilah, semua dilancarkan. Karena klinik ini memang awalnya digagas Zahwa, dan kami berharap klinik ini tetap ada dan bisa berkembang."

Bibir Nabila membulat. Pikirannya mulai bekerja mencoba mencari tahu apakah kabar tentang Zahwa itu benar adanya.

**

Fathan mengernyit menatap santriwati yang baru saja menyelesaikan tasmi'nya. Dari nada tilawah dia seperti teringat seseorang.

"Syarifah!"

"Na'am, Ustaz." Syarifah kembali membalikkan badannya.

"Santri baru?"

Syarifah mengangguk sopan.

"Bacaanmu bagus! Makhorijul hurufnya benar. Pindahan dari pesantren mana?" 

"Saya dari sekolah umum, Ustaz, tapi saya belajar dari Mbak Cantik," terangnya.

Alis Fathan bertaut mendengar jawaban muridnya.

"Mbak Cantik?"

Tertawa kecil, Syarifah mengangguk. Fathan kemudian ikut mengangguk dan mempersilakan Syarifah untuk duduk. Otaknya mencoba mengingat bacaan siapa yang pernah kerap dia dengar kau sebelum mendengarkan bacaan Syarifah.

"Zahwa! Bacaan tilawah Zahwa!" gumamnya. Mendadak perasaan bahwa Zahwa masih ada kembali menari di hati dan pikirannya. 

Akan tetapi, kembali dia mencoba menyikapi dengan berpikir bahwa yang memiliki bacaan seperti itu bukan hanya Zahwa. Lagipula jika memang Zahwa ada, tidak mungkin dia tidak pulang.

"Ustaz, saya mulai baca sekarang?" Suara santriwati yang baru saja maju membuyarkan lamunannya.

"Iya, baca sekarang!"

**

Menatap putra kecilnya yang terlelap membuat bibir Zahwa melebar. Benar kata Rafidah, Naufal sangat mirip dengan Fathan. 

"Mungkin kalau aku berikan foto Naufal ke mertuamu, mereka pasti akan bertanya, 'Kamu dapat foto Fathan saat bayi dari mana.'" Ucapan Rafidah melintas di kepalanya.

Ponselnya bergetar, tak ingin putranya terbangun, gegas Zahwa menerima panggilan tersebut.

"Assalamualaikum, Zahwa."

"Waalaikumussalam, Kak Rafidah. Ada apa? Tumben, biasanya nge-chat dulu. Sepertinya penting."

"Di rumah Umi ada Nabila."

Hati Zahwa mencelos mendengar kabar itu. Jika ada Nabila, pasti di sana juga ada Fathan. Meski tahu hari ini suaminya itu akan datang, tetapi tetap saja degub dadanya terasa kencang.

"Dan suamimu berusaha selesai menyimak para santri. Dia lagi ngobrol sama Abang di teras." Suara kakak iparnya seperti sedang menyembunyikan kegembiraan yang dia sendiri tidak tahu.

"Kak, menjauh dari teras, Zahwa nggak mau mereka berdua tahu soal ini."

"Kamu tenang aja, Zahwa, Kakak di kamar, kok."

Zahwa menarik napas lega. Ada rasa rindu yang melambung di hatinya. Rindu seorang istri kepada sang suami yang demikian dalam. Rindu yang seharusnya bisa ditebus dengan pertemuan, tetapi harus terjeda demi menjaga hati seorang perempuan.

"Kamu merindukan suamimu?" Kali ini nada suaranya terdengar pelan. "Wajar, Zahwa. Wajar kalau kamu merindunya. Dia suamimu, abi dari Naufal."

"Kak." Suara Zahwa bergetar. "Apa dia sehat? Apa dia semakin gemuk atau ...."

"Dia sehat, Zahwa, meski sedikit lebih kurus."

"Apa dia masih alergi dingin, Kak?" Kali ini air mata Zahwa jatuh begitu saja tanpa biasa dia tahan.

"Kalau itu Kakak nggak tahu, Zahwa."

Sejenak obrolan telepon itu terhenti. Zahwa berusaha menahan Isak, sementara Rafidah tak kalah sedih, dia seolah bisa merasakan apa yang dirasakan Zahwa.

"Kak."

"Iya?"

"Sudah dulu, ya. Naufal bangun." Zahwa mengusap air matanya. Dia terpaksa berbohong karena tak ingin Rafidah mengambil keputusan sendiri untuk mengatakan hal yang sesungguhnya. Karena dia tahu istri dari abangnya itu paling tidak suka melihat dirinya sedih.

"Oke, kamu baik-baik saja, 'kan? Naufal sehat aja, 'kan?"

"Iya, Kak. Kami baik dan sehat. Udah dulu, ya, Kak. Assalamualaikum."

Zahwa mengakhiri percakapan. Air matanya kembali jatuh. Bagaimana mungkin dia bisa melupa jika dia dan Fathan terpisah karena sesuatu hal yang di luar kuasa manusia? Dia dan Fathan tidak punya masalah apa pun. 

Jika dirinya pernah begitu cemburu melihat cincin di lemari suaminya, tetapi hal itu sama sekali bukan menjadi masalah yang panjang. Karena Fathan dengan tegas mengatakan bahwa semuanya tentang masa lalu sudah selesai. 

**

"Umi."

"Iya, Nabila?"

"Apa saya boleh melihat kamar Zahwa?" Dia menoleh ke Aliyah saat baru saja keluar dari kamar mandi.

☕☕

Mau diup lagi nggak, nih?

Kalau yg komen banyak, aku kasi up satu bab lagi 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top